Makrifat Sunan Kalijaga
GURU SUCI TANAH JAWI (Bagian 01)
Sunan Kalijaga mendapat gelar agung sebagai guru suci Tanah Jawi. Kocap kacarita, Raden Mas Sahid putra kanjeng Adipati Tuban, sudah menjadi alim ulama yang cerdik dan pandai. Bahkan beliau sudah dapat merasakan mati di dalam hidup. Tingkatan pendakian tauhid yang sangat tinggi, dan patut diacungi jempol. Namun beliau belum puas dengan apa yang sudah didapat. Dia mempunyai himatulaliyyah atau cita-cita yang tinggi yaitu bertujuan ingin memperoleh petunjuk diri seseorang yang sudah menemukan hakikat kehidupan, yang nantinya dapat mengantarkanya agar mendapat petunjuk yang di pegang para Nabi Wali atau Imam Hidayah.
Tekadnya semakin membaja, menyebabkan beliau melakukan perjalanan hidup yang tidak mempedulikan dampak atau akibat apapun yang akan terjadi, nafsunya menuntut ilmu semakin membara tak perduli samudra api menghadang. Bukankah Rasulullah pernah bersabda, “Tuntutlah ilmu biarpun harus menyeberang samudra api!”.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid hatinya bimbang dan pikirannya bingung. Siapa yang tidak bingung! Segala ilmu yang diketahui dan dipahami diamalkan dengan penuh pengabdian kepada Allah, namun beliu merasa selalu tergoda oleh nafsunya, dan merasa tidak mampu mengatasinya. Berbagai usaha ditempuh agar akhir hidupnya nanti, mampu mengatasi nafsunya, jangan sampai terlanjur terlantur, hanya puas makan dan tidur. Namun tetap saja dirinya merasa hatinya kalah perang dengan nafsunya. Akhirnya beliu pasrah kepada Allah tempat berserah diri.
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid memohon kepada Allah Tuhan Yang Terpilih, semoga dibukakan oleh Tuhan Pembuat Nyawa, agar istiqomah hatinya, selaras dengan kehendak hatinya, jalan menuju sembah dan puji. Dan tiada putus-putusnya dia berdoa, biarpun terselip kekhawatiran dosa dan kekhilafan yang pernah dilakukannya semasa muda, mungkin tak termaafkan oleh Gusti Allah. Sekian lama beliu berdoa, namun tak ada tanda-tanda terkabulnya doa. Akhirnya beliu mawas diri. Mengapa petunjuk yang ditunggu-tunggu belum juga datang? Apakah caranya beribadah dan bersyukur yang salah? Apakah yang dilakukan selama ini acak-acakan tanpa dasar ilmu yaqin?
Ling lang ling lung, akhirnya Raden Mas Sahid diam tak mau berdoa lagi. Beliu menyendiri dan menjauhi urusan duniawi (uzlah). Buak dari laku ini, dirasanya masih saja ada gejolak batin, saling bertengkar dua sura dalam batinnya sendiri, bisikan Malaikat dan bisikan Syaitan. Pertentangan suaranya tidak lantang sebagaimana layaknya orang bertengkar, tetapi pertengkaran hebat itu tidak kunjung berhenti! Bukankah bisikan baik dan buruk saling merebut kemenangan? Apa sih yang diperebutkan? Padahal tidak ada yang diperebutkan! Perang batin ini, kalau diibaratkan seperti perebutan Kerajaan Ngastina oleh Kurawa dan Pandawa yang masih termasuk keluarga sendiri atau darah daging sendiri!
Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid menyadari laku uzlah yang dijalankannya tak menghasilkan petunjuk yang diharapkan. Akhirnya tanpa malu-malu, karena didesak oleh hasrat mengetahui petunjuk, beliu berusaha bertapa berlapar-lapar, kalau ada teman datang, ikut makan dengan rakusnya, kalau temannya pergi tidak makan seumur hidupnya, sebab tidak ada yang dimakan. Ling lang ling lung, menuruti kesenangan memperindah diri, selalu meminta upah. Ling lang ling lung, Raden Mas Sahid meminta upah dari laku bertapa berlapar-lapar ternyata tiada hasil. Beliu akhirnya menyadari kebodohannya dan tersenyum sendiri. Mengapa sampai teganya Dia menagih tak henti-hentinya kepada Allah, padahal tanpa piutang? Gusti Allah yang ditagih wajar kalau diam saja, memang kenyataanya tidak berhutang! Biarpun yang menagih datang dan pergi, semua itu tidak ada bedanya, dan Allah Yang Maha Karya berhak tidak melunasi karena tidak pernah berhutang kepada Raden Mas Sahid. Akhirnya beliu memutuskan diri untuk berguru dengan Kanjeng Sunan Bonang, barangkali dengan itu, beliu dapat petunjuk iman hidayah.
Mulailah Raden Mas Sahid berguru kepada seseorang yang tinggi ilmunya yang bersunyi diri di Desa Bonang yang bergelar Kanjeng Sunan Bonang. Beliu mohon kepada Kanjeng Sunan Bonang untuk ditunjukkan hakikat kehidupan. Syekh Malaya disaat mulai berguru kepada Kanjeng Sunan Bonang diperintah bertapa menunggu pohon gurda dan dilarang meninggalkan tempat.
Ling lang ling lung, Syekh Malaya dapat dikatakan orang hebat, karena keinginanya yang kuat serta tekad batinnya, tak dapat dibandingkan dengan yang lainnya. Maklumlah beliu berdarah luhur, putra Kanjeng Adipati Tuban Wilwatikta II bernama Raden Mas Sahid, waktu tua bergelar Sunan Kalijaga. Rupanya sudah terlebih dahulu mendapat anugrah Kasih Sayang Gusti Allah Pencipta Nyawa yang sudah menjadi kemulian Tuhan Yang terpilih, timbul dari kasih Sayang Allah. Syekh Malaya berguru menuntut ilmu sudah cukup lama, namun merasa belum dapat manfaat yang nyata, rasanya Cuma penderitaan yang didapat, sebab disuruh memperbanyak bertapa, oleh Kanjeng Sunan Bonang, diperintah “menunggui pohon gurda” yang berada ditengah hutan belantara dan tidak boleh meninggalkan tempat, sudah dilaksanakan selama setahun.
Laku tapa yang kedua, disuruh “ngaluwat” yaitu ditanam di tengah hutan di dalam goa Sorowiti Panceng Tuban. Setelah setahun mulut gua yang mulanya ditutup dengan batu-batu, kemudia dibongkar oleh Kanjeng Sunan Bonang. Kemudian laku tapa yang ketiga, yaitu “tarak brata di tepi sungai” selama setahun, dan tidak boleh tidur ataupun makan, lalu ditinggal ke Mekah oleh Kanjeng Sunan Bonang.
Nyatanya sudah genap setahun, Syekh Malaya ditengok, ditemui masih tarak brata saja, Kanjeng Sunan bonang bersabda, “wahai siswaku sudahilah tarak bratamu, kamu mulai sekarang sudah menjadi Wali dan bergelar Sunan Kalijaga. Kamu diangkat sebagai wali Sembilan penutup maksudnya melengkapi Wali Sanga atau Wali Sembilan yang saat itu jumlah kurang satu wali. Tugasmu ikut menyiarkan agama Islam dan perbaikilah ketidakaturan yang ada. Agama itu tata krama, kesopanan untuk Kemuliaan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Kau harus berpegang pada syariat Islam, serta segala ketentuan iman hidayah. Hidayah itu dari Gusti Allah Yang Maha Agung, yang sangat besar kanugrahan-Nya menumbuhkan kekuatan luar biasa dan keberanian, serta meliputi segala kebutuhan perang, yang demian itu tidak lain adalah anugrah yang besar, paling utama dari segala yang utama (keutamaan). Keutamaan ibarat bayi, siapapun ingn memelihara, yang mencukupi bayi, menguasai pula terhadap dirimu, tapi kamu tak punya hak menentukan, karena kau ini juga yang menentukan Gusti Allah Yang Maha Agung, karena itu mantapkanlah hatimu dalam pasrah diri pada-Nya”.
MERASAKAN HIDAYAH IMAN (Bagian 02)
Kanjeng Sunan Bonang menjawab lembut, “Syekh Malaya benar ucapanmu, pada saat bertapa kau bertemu denganku, yang dimaksud berserah diri ialah selalu ingat perilaku atau pekerjaan, seperti ketika awal mula diciptakan, bukankah itu sama halnya seperti asap? Itu tadi seperti hidayah wening atau petunjuk yang jernih, serupa dengan iman hidayah, apakah itu nampak dengan sebenarnya? Namun ketahuilah semua tidak dapat diduga sebelum mempunyai kepandaian untuk meraihnya, kejelasan tentang hidayah, hanya keterangan yang saya percayai, karena keterangan itu berasal dari sabda Gusti Allah”.
Berkata Kanjeng Sunan Kalijaga, “ Kanjeng Rama Guru yang bijaksana, hamba mohon dijelaskan, apakah maksudnya, ada nama tanpa sifat, ada sifat tanpa nama? Saya mohon petunjuk, tinggal itu yang saya tanyakan yang terakhir kali ini saja”. Kanjeng Sunan Bonang bersabda lemah lembut, “Kalau kamu ingin keterangan yang jelas tuntas, matikanlah dirimu sendiri, belajarlah kamu tentang mati, selagi kau masih hidup. Caranya bersepi dirilah kamu ke hutan rimba, dan jangan sampai ketahuan manusia”.
Sudah habis segala penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sunan Bonang segera meninggalkan tempat, dari hadapan Sunan Kalijaga, timur laut arah langkah yang dituju. Kira-kira baru beberapa langkah berlalu, Syekh Malaya ikut meninggalkan tempat itu, masuk kehutan belantara.
Raden Mas Sahid menjalankan laku kidang, berbaur dengan kidang menjangan, segala gerak laku kidang ditirunya, kecuali bila ingin tidur, ia mengikuti cara tidur berbalik, tidak seperti tidurnya kidang. Kalau pergi mencari makan mengikuti seperti caranya anak kidang. Bila ada manusia yang mengetahui, para kidang berlari tunggal langgang, Sunan Kalijaga juga ikut berlari kencang jangan sampai ketahuan manusia. Larinya dengan merangkak, seperti larinya kidang, pontang panting jangan sampai ketinggalan, mengikuti sepak terjang kidang.
Nyata sudah cukup setahun, Syekh Malaya menjalani laku kidang, bahkan melebihi yang telah ditetapkan, ketika itu Kanjeng Sunan Bonang, bermaksud sholat ke Mekah, dalam sekejap mata sudah sampai, setelah sholat segera datang kembali. Kanjeng Sunan Bonang menuju hutan untuk memberi tahu Syekh Malaya bahwa laku kidangnya telah selesai. Sesampai di dalam hutan ia melihat kidang sama berlari, sedang anaknya sempoyongan mengikuti. Sunan Bonang ingat dalam hati, kalau Wali Syekh Malaya berlaku seperti anak kidang, segera ia mendekati gerombolan kidang, barangkali di sana ditemukan Syekh Malaya.
Syekh Malaya yang kebutulan sedang berlaku meniru kidang tahu akan didekati gurunya. Beliu ingat pesan gurunya, bahwa dirinya tidak boleh diketahui manusia, gurunya juga manusia maka ia harus menghidari jangan sampai didekati manusia biarpun oleh gurunya, larinya tunggang langgang, tanpa memperhitungkan jurang tebing, ditubruk tidak tertangkap, dijaring dan diberi jerat, kalau kena jerat dapat lolos, kalau kena jaring dapat melompat.
Marahlah sang guru Kanjeng Sunan Bonang, bersumpah dalam hatinya, “Wali wadat pun aku tak peduli, memanaskan hati kau kidang, bagiku memegang angin yang lebih lembut saja tidak penar lolos, yang kasar akan lebih mudah ditangkap mustahil akan gagal! Kalau tidak berhasil sekali ini, lebih baik aku tidak usah menjadi manusia, lebih pantas kalau jadi binatang saja!”.
Kanjeng Sunan Bonang bergerak dengan penuh amarah. Beliu berusaha menciptakan nasi tiga kepal atau genggam. Dalam sekejap tangannya telah siap nasi 3 genggam, segera ia mundur ancang-ancang siap mengejar Kidang Syekh Malaya untuk melemparkanya. Kanjeng Sunan Bonang segera menerobos ke dalam hutan yang lebih lebat dan sulit dilewati, setelah benar-benar menemukan yang sedang laku kidang, tengah berlari. Segera dilemparnya dengan nasi satu kepal, tepat mengenai punggungnya.
Syekh Malaya agak lambat larinya terkena lemparan nasi sekepal. Lalu lemparan yang kedua, mengenai lambungnya, jatuh terduduk Syekh Malaya kemudian dilempar lagi, nasi satu kepal, Syekh Malaya ingat dan sadar kemudia berbakti pada Kanjeng Sunan Bonang.
Syekh Malaya berlutut hormat mencium kaki Kanjeng Sunan Bonang. Berkata sang guru Kangjeng Sunan Bonang “Anakku ketahuilah olehmu, bila kau ingin mendapat kepandaian, yang bersifat hidayatullah, naiklah haji, menuju Mekah dengan hati tulus suci dan ikhlas. Ambillah air zam-zam ke Mekah, itu adalah air yang suci, serta sekaligus mengaharapkan berkah syafaat, Kanjeng Nabi Muhammad yang menjadi suri tauladan manusia”. Syekh Malaya berbakti, mencium kaki gurunya dan mohon diri untuk melaksanakan tugas yaitu segera menuju Mekah. Kanjeng Sunan Bonang lebih dahulu melangkahkan kaki menuju desa Bonang Tuban yang sepi.
NAIK HAJI KE MEKAH (Bagian 03)
Syekh Malaya menerobos hutan, naik gunung, turun jurang, tetebingan di dakinya memutar, melintasi jurang dan tanjakan. Tanpa terasa perjalanannya telah sampai di tepi pantai. Hatinya bingung, kesulitan menempuh jalan selanjutnya karena terhalang oleh samudera luas, sejauh memandang tampak air semata. Dia diam tercenung lama sekali di tepi samudera memutar otak mencari jalan yang sebaiknya ditempuh.
Kocap kacarita tersebutlah seorang manusia, yang bernama Sang Mahyuningrat, mengetahui kedatangan seorang yang tengah bingung yaitu Syekh Malaya. Sang Mahyuningrat tahu segala perjalanan yang dialami oleh Syekh Malaya dengan sejuta keprihatinan karena ingin meraih iman hidayah. Berbagai cara telah ditempuh, juga melalui penghayatan kejiwaan dan berusaha mengungkap berbagai rahasia yang tersembunyi, namun mustahil dapat menemukan hidayah, kecuali kalau mendapatkan kanugrahan Allah yang haq.
Syekh Malaya ternyata sudah terjun merenangi samudra luas, dan tidak mempedulikan nasib jiwanya sendiri. Semakin lama Syekh Malaya sudah hampir sampai tengah samudra, mengikuti jalan untuk mencapai hakikat yang tertinggi dari Allah, tidak sampai lama, sampailah di tengah samudra. Beliu kehabisan tenaga untuk merenangi samudra menuju Mekah. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada ia berusaha mempertahankan diri jangan sampai tenggelam di dasar laut. Yang tampak kini. Syekh Malaya timbul-tenggelam di permukaan laut berjuang menyelamatkan nyawanya.
Ternyata disaat Syekh Malaya dalam keadaan yang kritis itu berjuang antara hidup dan mati, tiba-tiba penglihatannya melihat seseorang yang sedang berjalan di atas air dengan tenangnya, yang tidak dari mana datangnya. Seketika itu pula, tahu-tahu Syekh Malaya sudah dapat duduk tenang diatas air.
Orang yang mendekati Syekh Malaya tidak lain adalah Kanjeng nabi Khidir yang menyapa Syekh Malaya dengan lemah lembut, “Syekh Malaya apakah tujuanmu mendatangi tempat ini? Apakah yang kau harapkan? Ketahuilah di sini tidak ada apa-apa! Tidak ada yang ditemubuktikan, apalagi untuk dimakan dan berpakaian pun tidak ada. Yang ada hanyalah daun kering yang tertiup yang jatuh di depanku, itu yang saya makan, kalau tidak ada tentu tidak makan. Senangkah kamu melihat kenyataan semua itu?”.
Sunan Kalijaga heran mengetahui penjelasan ini. Kanjeng Nabi Khidir berkata lagi kepada Sunan Kalijaga, “Cucuku, di sini ini banyak bahayanya, kalau tidak mati-matian berani bertaruh nyawa, tentu tidak mungkin sampai di sini. Di tempat ini segalanya tidak ada yang dapat diharapkan hasilnya. Mengandalkan pikiranmu saja belum apa-apa, biarpun kamu tidak takut mati. Kutegaskan sekali lagi, di sini kau tidak mungkin mendapat apa yang kau maksudkan!”.
Syekh Malaya bingung tidak tahu apa yang harus diperbuat, dia menjawab pertanyaan Kanjeng Nabi Khidir, bahwa dia tidak mengetahui akan langkah yang sebaiknya perlu ditempuh setelah ini. Tidak tahu apa yang akan dilakukannya kemudian! “Syekh Malaya pasrah diri kepada Kanjeng Nabi Khidir , katanya terasa memilukan”. Sang guru Kanjeng Nabi Khidir menebak, “Apakah kamu juga sangat mengharapkan hidayatullah Allah?”.
Akhirnya Kanjeng Nabi Khidir menjelaskan, “ikutilah petunjukku sekarang ini!” “Kamu telah berusaha menjalankan petunjuk gurumu kanjeng Sunan Bonang yang menyuruhmu menuju kota Mekah, dengan keperluan naik haji. Maka ketahuilah olehmu, makna tugas itu yaitu : sungguh sulit menjalankan lika-liku kehidupan ini”. “Jangan pergi kalau belum tahu yang kau tuju dan jangan makan kalau belum tahu rasanya yang dimakan, jangan berpakaian kalau belum tahu kegunaan berpakaian. Lebih jelasnya tanyalah sesama manusia sekaligus dengan persamaannya, kalau sudah jelas amalkanlah!”.
“Demikianlah seharusnya hidup itu, ibarat ada orang dari gunung, akan membeli emas, oleh tukang emas biarpun diberi kuningan tetap dianggap emas mulia. Demikianlah pula dengan orang berbakti, bila belum yakin benar, pada siapakah yang harus disembah?” Syekh Malaya ketika mendengar itu, spontan duduk berlutut mohon belas kasihan, setelah mendapati kenyataan Kanjeng Nabi Khidir betul-betul serba tahu yang tersimpan di hatinya. Dengan duduk bersila dia berkata, “Yang kami dengar akan kami laksanakan apa pun jadinya nanti. “Syekh Malaya meminta kasih sayang, memohon keterangan yang jelas’, siapakah nama tuan? Mengapa di sini sendirian? Sang Mahyuningrat menjawab, “sesungguhnya saya ini Kanjeng Nabi Khidir”.
Syekh Malaya berkata, “saya menghaturkan hormat sedalam-dalamnya kepada tuan junjunganku dan mohon petunjuk serta perlu dikasihani, saya juga tidak tahu benar tidaknya pengabdianku ini. Tidak lebih bedanya dengan hewan di hutan, itupun masih tidak seberapa, bila mau menyelidiki kesucian diriku ini. Dapat dikatakan lebih bodoh dan dungu serta tercela ibarat keris tanpa kerangka dan ibarat bacaan tanpa isi tersirat”.
Maka berkata dengan manisnya Sang Kanjeng Nabi Khidir kepada Sunan Kalijaga. “Jika kamu berkehendak naik haji ke Mekah, kamu harus tahu tujuan yang sebenarnya menuju ke Mekah itu. Ketahuilah mekah itu hanya tapak tilas saja! Yaitu bekas tempat tinggal Nabi Ibrahim zaman dahulu. Beliulah yang membangun Ka’bah Masjidil Haram serta yang menghiasi Ka’bah itu dengan benda yang berupa batu hitam (Hajar Aswad) yang tergantung didinding Ka’bah tanpa digantungkan. Apakah Ka’bah itu yang hendak kamu sembah? Kalau itu yang menjadi niatmu, berarti kamu sama halnya menyembah berhala atau bangunan yang dibuat dari batu. Perbuatanmu itu tidak jauh berbeda dengan yang diperbuat oleh orang kafir, karena hanya sekedar menduga-duga saja wujud Allah yang disembah, dengan senantiasa menghadap kepada berhalanya. Oleh karenanya itu, biarpun kamu sudah naik haji, bila belum tahu tujuanya yang sebenernya dari ibadah haji tentu kamu akan rugi besar. Maka dari itu, ketahuilah bahwa Ka’bah yang sedang kau tuju itu, bukannya yang terbuat dari tanah atau kayu apalagi batu, tetapi Ka’bah yang hendak kau kunjungi itu sebenarnya Ka’bahtullah (Ka’bah Allah). Demikian itu sesunggunya iman hidayah yang harus kamu yakinkan dalam hati”.
Kanjeng Nabi Khidir memerintah, “Syekh Malaya segeralah kemari secepatnya! Masuk ke dalam tubuhku!” Syekh Malaya terhenyak hatinya tak dapat dicegah lagi, keluarlah tawanya, bahkan sampai mengeluarkan air mata seraya berkata halu. “Melalui jalan manakah harus masuk ke dalam tubuhmu, padahal saya tinggi besar melebihi tubuhmu, kira-kira cukupkah? Melalui jalan manakah usaha saya untuk masuk? Padahal nampak olehku buntu semua?
Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan lemah lembut. “Besarmana kamu dengan bumi, semua ini beserta isinya, hutan rimba dan samudera serta gunung tidak bakal penuh bila dimasukkan kedalam tubuhku, jangan khawatir bila tak cukup masuklah di dalam tubuhku ini. Syekh Malaya setelah mendengarnya semakin takut sekali dan bersedia melaksanakan tugas memasuki badan Kanjeng Nabi Khidir, namun bingung tak tahu cara melaksanakannya. Menolehlah Kanjeng Nabi Khidir, ini jalan di telingaku ini”.
MUTIARA ILMU SYARIAT (Bagian 04)
Syekh Malaya masuk dengan segera melalui telinga Kanjeng Nabi Khidir. Sesampainya di dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat samudera luas tiada bertepi sejauh mata memandang, semakin diamati semakin jauh tampaknya. Kanjeng Nabi Khidir bertanya keras-keras, “hai apa yang kamu lihat?”
Syekh Malaya segera menjawab, “Angkasa Raya yang kuamati, kosong melompong jauh tidak kelihatan apa-apa, kemana kakiku melangkah, tidak tahu arah utara selatan barat timur pun tidak kami kenal lagi, bawah dan atas serta muka belakan, tidak mampu saya bedakan. Bahkan semakin membingungkanku”.
Kanjeng Nabi Khidir berkata lemah-lembut, “usahakan jangan sampai bingung hatimu”. Tiba-tiba Syekh Malaya melihat suasana terang benderang. Dihadapannya nampak Kanjeng Nabi Khidir, Syekh Malaya melihat Kanjeng Nabi Khidir malayang di udara kelihatan memancarkan cahaya gemerlapan. Saat itu Syekh Malaya melihat arah utara selatan, barat dan timur sudah kelihatan jelas, atas serta bawah juga sudah terlihat dan mampu menjaring matahari, tenang rasanya sebab melihat Kanjeng Nabi Khidir, rasanya berada di alam yang lain dari yang lain.
Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut, “jangan berjalan hanya sekedar berjalan, lihatlah dengan sungguh-sungguh apa yang terlihat olehmu”. Syekh Malaya menjawad, “Ada warna empat macam yang nampak padaku semua itu sudah tidak kelihatan lagi, hanya empat macam yang kuingat yaitu hitam merah kuning dan putih”.
Berkata Kanjeng Nabi Khidir, “yang pertama kau lihat cahaya mencorong tapi tidak tahu namanya ketahuilah itu adalah pancamaya, yang sebenarnya ada di dalam dirimu sendiri yang mengatur dirimu. Pancamaya yang indah itu disebut mukasyafah, bila mana kamu mampu membimbing dirimu ke dalam sifat terpuji, yaitu sifat yang asli. Maka dari itu jangan asal bertindak, selidikilah semua bentuk jangan sampai tertipu nafsu. Usahakan semaksimal mungkin agar hatimu menduduki sifat asli, perhatikan terus hatimu itu, supaya tetap dalam jati diri!” Tentramlah hati Syekh Malaya, setelah mengerti itu semua dan baru mantap rasa hatinya serta gembira.
Kanjeng Nabi Khidir melanjutkan penjelasannya, “adapun yang kuning, merah, hitam serta putih itu adalah penghalanya. Sebab isinya dunia ini sudah lengkap, yaitu terbagi kedalam tiga golongan, semuanya adalah penghalang tingkah laku, kalau mampu menjauhi itu pasti dapat berkumpul dengan ghaib, itu yang menghalangi meningkatkan citra diri. Hati yang tiga macam yaitu hitam, merah dan kuning, semua itu menghalangi pikiran dan kehendak tiada putus-putusnya. Maksudnya akan menghalangi menyatunya hamba dengan Tuhan yang membuat nyawa lagi mulia. Jika tidak tercampur oleh tiga hal itu, tentu terjadi hilangnya jiwa, maksudnya orang akan mencapai tingkatan Maqom Fana dan akan masuk Maqom Baqo atau abadi. Maksudnya senantiasa berdekatan rapat dengan Sang Pencipta. Namun yang perlu diperhatikan dan diingat dengan seksama, bahwa penghalang yang ada dalam dihati, mempunyai kelebihan yang perlu kamu ketahui dan sekaligus sumber inti kekuatannya. Yang hitam lebih perkasa, pekerjaanya marah, mudah sakit hati, angkara murka secara membabi buta. Itulah hati yang menghalangi, menutup kepada kebajikan.
Sedangkan yang berwarna merah, ikut menunjukkan nafsu yang tidak baik, segala keinginan nafsu keluar dari si merah, mudah emosi dalam mencapai tujuan, hingga menutup kepada hati yang sudah jernih tenang menuju akhir hidup yang baik (khusnul khatimah). Adapun yang berwarna kuning, kemampuannya menghalangi segala hal, pikiran yang baik maupun pekerjaan yang baik. Hati kuninglah yang menghalangi timbulnya pikiran yang baik hanya membuat kerusakan, menelantarkan ke jurang kehancuran. Sedangkan yang putih itulah yang sebenarnya, membuat hati tenang serta suci tanpa ini itu, pahlawan dalam kedamaian”.
Kanjeng Nabi Khidir memberi kesempatan bagi Syekh Malaya untuk merenungkan penjelasannya tadi. Selanjutnya beliu berkata, “hanya itulah yang dapat dirasakan manusia akan kesaksiannya. Sesungguhnya yang terwujud adanya, hanya menerima anugrah semata-mata dan hanya itulah yang dapat dilaksanakan. Kalau kamu tetap berusaha agar abadi berkumpulnya diri dekat Tuhan, maka senantiasalah menghadapi tiga musuh yang sangat kejam, besar dan tinggi hati (bohong). Ketiga musuhmu saling kerjasama, padahal si putih tanpa teman, hanya sendirian saja, makanya sering dapat dikalahkan. Kalau sekiranya dapat mengatasi akan segala kesukaran yang timbul dari tiga penghala itu, maka terjadilah persatuan erat wujud, tanpa berpedoman itu semua tidak akan terjadi persatuan erat antara manusia dan Penciptanya”. Syekh Malaya sudah memahaminya, dengan semangat mulai berusaha disertai tekad membaja demi mendapatkan pedoman akhir kehidupan, demi kesempurnaan dekatnya dengan Allah SWT.
Kanjeng Nabi Khidir kembali melanjutkan wejanganya, “Setelah hilang empat macam warna ada hal lain lagi nyala satu delapan warnanya”. Syekh Malaya berkata, “Apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah namanya, nyala satu delapan warnanya, apakah yang dimaksud sebenarnya? Nyalanya semakin jelas nyata, ada yang tampak berubah-ubah warna menyambar-nyambar, ada yang seperti permata yang berkilau tajam sinarnya”.
Sang Kanjeng Nabi Khidir berpesan, “Nah, itulah sesungguhnya tunggal. Pada dirmu sendiri sudah tercakup makna di dalamnya, rahasianya terdapat pada dirimu juga, serta seluruh isi bumi tergambar pada tubuhmu dan juga seluruh alam semesta. Dunia kecil tidak jauh berbeda. Ringkasnya, utara, barat, selatan, timur, atas serta bawah. Juga warna hitam, merah, kuning dan putih itulah isi kehidupan dunia. Didunia kecil dan alam semesta, dapat dikatakan semua isinya. Kalau ditimbang dengan yang ada dalam dirimu dalam dirimu ini, kalau hilang warna yang ada, dunia kelihatan kosong kesulitannya tidak ada, dikumpulkan kepada wujud rupa yang satu, tidak lelaki tidak pula perempuan. Sama pula dengan bentuk yang ada ini, yang bila dilihat berubah-ubah putih. Camkanlah dengan cermat semua itu”. Syekh Malaya mengamati, “yang seperti cahaya berganti-ganti kuning, cahayanya terang benderang memancar, melingkar mirip pelangi, apakah itu yang dimaksudkan wujud dari Dzat yang dicari dan didambakan? Yang merupakan hakikat wujud sejati?”
Kanjeng Nabi Khidir menjawab dengan lemah lembut, “itu bukan yang kau dambakan, yang dapat menguasai segala keaadaan. Yang kamu dambakan tidak dapat kamu lihat, tiada bentuk apalagi berwarna, tidak berwujud garis, tidak dapat ditangkap mata, juga tidak bertempat tinggal hanya dapat dirasakan oleh orang yang awas mata hatinya, hanya berupa pengambaran-pengambaran (simbol) yang memenuhi jagad raya, dipegang tidak dapat. Bila itu yang kamu lihat, yang nampak seperti berubah-ubah putih, yang terang benderang sinarnya, memancarkan sinar yang menyala-nyala. Sang Permana itulah sebutannya.
Hidupnya ada pada dirimu. Permana itu menyatu pada dirmu sendiri, tetapi tidak merasakan suka dan duka, tempat tinggalnya pada ragamu. Tidak ikut suka dan duka, juga tidak ikut sakit dan menderita jika Sang Permana meninggalkan tempatnya, raga menjadi tak berdaya dan pastilah lemahlah seluruh badanmu, sebab itulah letak kekuatannya, ikut merasakan kehidupan, yang mengerti rahasia di dunia. Dan itulah yang sedang mengenai pada dirimu, seperti diibaratkan pula pada hewan, yang tumbuh di sekitar raga.
Hidupnya karena adanya Permana, dihidupi oleh nyawa yang mempunyai kelebihan, mengusai seluruh badan. Permana itu bila mati ikut menggung, namun bila telah hilang nyawanya kemudian yang hidup hanya sukma atau nyawa yang ada. Kehilangan itulah yang didapatkan, kehidupan nyawalah yang sesungguhnya, yang sudah berlalu diibaratkan seperti rasanya pohon yang tidak berbuah, sang Permana yang mengetahui dengan sadar, sesungguhnya satu asal.
Menjawablah Syekh Malaya, “Kalau begitu manakah warna bentuk sebenarnya?” kanjeng Nabi Khidir berkata, “Hal itu tidak dapat kamu pahami di dalam keadaan nyata semata-mata, tidak semudah itu untuk mendapatkannya”, Syekh Malaya menyela pembicaraan< “Saya mohon pelajaran lagi, sampai saya paham betul, sampai putus. Saya menyerahkan hidup dan mati, demi mengharapkan tujuan yang pasti, jangan sampai tanpa hasil”.
Kanjeng Nabi Khidir berkata lembut dan manis yang isinya bercampur perlambang dan sindiran, “Misalnya ada orang membicarakan sesuatu hal, lotnya seharusnya baik, nyatanya lotnya justru merupakan bumbunya yang bercampur dengan rahasia yang terasa sebagai jiwa suci. Nubuwah yang penuh rahasia itu sebenarnya rahasia ini. Yaitu ketika masih berada di sifat jamal ialah jauhar awal. Bila sudah keluar menjadi jauhar akhir yang sudah dewasa, yang awal itulah rahasia sejati. Si jauhar akhir itu ternyata dalam satu wujud, satu mati dan satu hidup dengan jauhar, ketika dalam kesatuan satu wujud, satu raksa, satu hidup menyatu dalam keadaan sehidup-semati. Segala ulah jauhar akhir selamanya bersikap pasrah, sedangkan jauhar batin ini ialah yang dipuji dan disembah hanyalah Allah yang sejati. Tidak ada sama sekali rasa sakit karena sebenarnya kamu ini nukad ghaib. Nukad ghaib ialah ketika di masa awal atau kuna, ia tidak hidup juga tidak mati. Sebenarnya yang dikatakan nukad itu, tidak lain ghaib jugalah namanya itu. Setelah datangnya nukad itu, yang sudah hidup sejak dulu, dicipta menjadi Alif. Alif itu sendiri jisim latif. Dan keberadaanmu yang sebenarnya itulah yang disebut atau dinamakan neqdu”.
Sambil menghela nafas Kanjeng Nabi Khidir berkata pelan, “Sekarang jauhar sejati, yaitu namamu itu semasa hidup ialah syahadat jati. Dalam hidup dan kehidupanmu disebut juga darah hidup. Darah hidup itu sendiri ialah yang dinamakan Rasulullah rasa sejati. Syahadat jati adalah darah, tempat segala Dzat atau makhluk merasakan rasa yang sebenarnya tentang hidup dan kehidupan. Yang sama dengan satuan Jibril-Muhammad-Allah. Sedangkan keempatnya adalah yang disebut darah hidup. Jelasnya coba perhatikan orang mati! Apa darahnya? Darah itu kini hilang, hilangnya bersama atau menyatu dengan sukma. Sukma atau ruh hilang dan kembali pada Alif itu disebut Ruh Idhafi. Pengertian jisim Latif ialah Jisim Angling yang sudah ada terdahulu kala yaitu Alif yang disebut Angling. Padahal alif itu tanpa mata, tidak berkata-kata dan tidak mendengar, tanpa perilaku dan tidak melihat. Dan itulah Alif, yang artinya, menjadi Alif itu karena dijabarkan atau dikembangkang. Bukankah ruh Idhafi itu bagian Dzatullah”?.
Setelah mengajarkan semua pelajaran sampai selesai, tentang Ruh Idhafi yang menjadi inti pembahasannya. Kanjeng Nabi Khidir berkata, “Adapun wujud sesungguhnya alif itu, asal muasalnya berasal dari jauhar alif itu. Yang dinamakan Kalam Karsa. Timbullah hasrat kehendak Allah untuk menjadikan terwujudnya dirimu. Dengan adanya wujud dirimu menunjukkan akan adanya Allah dengan sesungguhnya. Allah tidak mungkin ada dua apalagi tiga. Siapa yang mengetahui asal muasal kejadian dirinya, saya berani memastikan bahwa orang itu tidak akan membanggakan dirinya sendiri! Adapu sifat jamal (sifat yang bagus) itu ialah, sifat yang selalu berusaha menyebutkan bahwa pada dasarnya adanya dirinya itu, karena adanya yang mewujudkan keberadannya”.
Kanjeng Nabi Khidir menandaskan penjelsannya, “Demikianlah yang difirmankan Allah kepada Nabi Muhammad yang menjadi kekasih-Nya, bunyi firman-Nya sebagai berikut : kalau tidak ada dirimu, Saya (Allah) tidak akan dikenal atau disebut. Hanya dengan sebab adanya kamulah yang menyebut akan keberadaan-Ku. Sehingga kelihatan seolah-olah satu dengan dirimu. Adanya Aku (Allah), menjadikan ada dirimu. Wujudmu menunjukkan adanya wujud Dzat-Ku.
Dan untuk menjelaskan jati dirmu, tidakkah kau sadari, bahwa hampir ada persamaan Asma-Ku yang baik (Asmaul Husna) dengan sebutan manusia yang baik itu semua kau maksudkan untuk memudahkan pengambaran perwujudan tentang Diri-Ku. Padahal kau tahu, Aku berada dengan dirimu, yang tak mungkin dapat disamakan satu sama lain. Dan kamu pasti mengalami dan tidak mungkin dapat melukiskan atau menyebutkan Asma-Ku dengan setepat-tepatnya. Namamu yang baik dapat menyerupai nama-Ku yang baik (Asmaul Husna)”. Selanjutnya Kanjeng Nabi Khidir bertanya, “Apakah kamu sudah dapat meraih sebutan nama yang baik itu? Baik di dunia maupun di akhirat? Kamu ini merupakan penerus atau pewaris Muhammad Rasulullah, sekaligus Nabi Allah. Ya Illahi, ya Allah ya Tuhanku……”.
Kanjeng Nabi Khidir mengakhiri pembacaan Firman Allah SWT, kemudian melanjutkan memberi penjelasan pada Sunan Kalijaga, “Tanda-tanda adanya Allah itu, ada pada dirimu sendiri harap direnungkan dan diingat betul. Asal mula Alif itu akan menjadikan dirimu bersusah-payah selagi hidup, Budi Jati sebutannya. Yang tidak terasa, menimbulkan budi atau usaha untuk mengatasi lika-liku kehidupan. Bagi orang yang senang membicarakan dan memuji dirinya sendiri, akan dapat melemahkan semangat usahanya, antara tidak dan ya, penuh dengan kebimbangan. Sedang yang dimaksudkan dengan jauhar budi (mutiara budi) ialah, bila sudah mengetahui maksud dan budi iman yaitu menjalankan segala tingkah laku dengan didasari keimanan kepada Allah. Alif tercipka karena sudah menjadi ketentuan yang sudah digariskan. Sesungguhnya Alif itu, tetap kelihatan apa adanya dan tidak dapat berubah. Itulah yang disebur Alif. Adapun bila terjadi perubahan, itulah yang disebut Alif Adi, yang menyesuaikan diri dengan keadaanmu Mutiara awal kehidupan (jauhar awal) dimaksudkan dengan kehidupan tempo dulu yang betul-betul terjadisebagaimana tinja junub dan jinabat. Jauhar awal ibarat bebauan atau aroma akan tiba saatnya, tidak boleh tidak akan kita laksanakan dan rasakan di dalam kehidupan kita didunia. Jelasnya, kehidupan yang telah digariskan sebelumnya oleh jauhar itu, telah memuat garis hidup dan mati kita. Segalanya telah ditentukan di dalam jauhar awal.
Dari keterangan tentang jauhar awal tadi, tentu akan menimbulkan pertanyaan, diantaranya, mengapa kamu wajib shalat di dalam dunia ini? Penjelasannya demikian : Asal mula diwajibkan menjalankan shalat itu ialah disesuaikan dengan ketentuan di zaman azali, kegaiban yang kau rasakan, bukankah juga berdiri tegak, bersidakep mencipkatakan keheningan hati, bersidekep menyatukan konsentrasi, menyatukan segala gerakmu? Ucapanmu juga kau satukan, akhirnya kau rukuk tunduk kepada yang menciptakanmu. Merasa sedih karena malu, sehingga menimbulkan keluar air matamu yang jernih, sehingga tenanglah segala kehidupan ruhmu. Rahasia iman dapat kau resapi. Setelah merasakan semua itu, mengapa harus sujud ke bumi? Pangkal mula dikerjakan sujud bermula adanya cahaya yang memberi pertanda pentingnya sujud. Yaitu merasa berhadapan dengan wujud Allah, biarpun tidak dapat melihat Allah sesungguhnya, dan yakin bahwa Allah melihat segala gerak kita (pelajaran tentang ikhsan). Dengan adanya agama Islam yang dimaksudkan, agar makhluk yang ada di bumi dan di langit termasuk dirimu itu, beribadah sujud kepada Allah dengan hati yang ikhlas sampai kepala diletakkan di muka bumi, sehingga bumi dengan segala keindahannya tidak tampak dihadapanmu, hatimu hanya ingat Allah semata-mata. Ya demikianlah seharusnya perasaanmu, senantiasa merasa sujud dimuka bumi ini. Mengapa pula menjalankan duduk diam seakan-akan menunggu sesuatu? Melambungkan pengosongan diri dengan harapan ketemu Allah. Padahal sebenarnya itu tidak dapat mempertemukan dengan Allah. Allah yang kau sembah itu betul-betul ada. Dan hanya Allah-lah tempat kamu mengabdikan diri dengan sesungguhnya.
Dan janganlah sekali-kali dirimu menganggap sebagai Allah. Dan dirimu jangan pula menganggap sebagai Nabi Muhammad. Untuk menemukan rahasia (rahsa) yang sebenarnya herus jeli, sebab antara rahasia yang satu berbeda dengan rahasia yang lain. Dari Allah-lah Nabi Muhammad mengetahui segala rahasia yang tersembunyi. Nabi Muhammad sebagai makhluk yang dimuliakan Allah. Beliu sering menjalankan puasa. Dan akan dimuliakan makhluk-Nya, kalau mau mengeluarkan shodagoh. Dimuliakan makhluk-Nya bagi yang dapat naik haji. Dan makhluk-Nya akan dimuliakan, kalau melakukan ibadah shalat”.
MUTIARA ILMU MAKRIFAT (Bagian 05)
Kanjeng Nabi Khidir berhenti sejenak, lalu berkata “matahari berbeda dengan bulan, perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya. Sudahkah hidayah iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang terlihat, ya ru’yat (melihat dengan mata telanjang) sebagai saksi adanya yang terlihat dengan nyata.
Maka dari itu kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang Asli, asli dari Allah. Sesungguhnya Allah itu, allah yang hidup. Segala afalnya (perbuatanya) adalah berasal dari Allah. Itulah yang dimaksud dengan ru’yati. Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat (kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia. Jauhar awal khairat (mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu secara tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah. Dinamakan Insan Kamil kalau mengetahui keberadaan Allah itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuked ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan kehidupan nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan disebut badan Muhammad, yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan tersenyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini. Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti Allah SWT. Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal masuk neraka jahanam.
Adapun yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah. Yang dimaksud dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa menerangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas diri atau introspeksi mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir kematian nanti. Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan. Ruh Idhafi sudah ada sebelum tercipta. Syirik itu dapat terjadi, tergantung saat menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning. keenamnya jauhar awal. Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga agar nampak menarik. Mutiara akan tampak indah menawan. Bermula dari ibarat ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan menyesuaikan, yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak. Ruh serba psrah kepada Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal itu pula, yang menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak perlu mengunakan air wudhu, untuk membersihkan khadas tidak disyaratkan. Itulah shalat batin yang sebenarnya, diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran. Demikianlah tadi cara shalat Daim. Perbuatan itu termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan perwujudan syukur kepada Allah. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu yang menutupi atau mempersulit mengetahui keberadaan Allah Yang Terpilih. Adanya itu menujukkan adanya Allah, yang mustahil kalau tidak berwujud sebelumnya.
Kehidupan itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya. Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu. Adapun Muhammad badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama Allah. Bukakah hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah? Dapat pula disebut utusan Allah. Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh mukmin identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu. Disebut iman maksum, kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu pengetahuanmu? Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang tidak tahu adanya sesuatu di masa yang telah lewat. Kelak, karena tidak mengetahui ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir badannya. Namun bagi yang telah mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan dipahami lebih seksama baru dikerjakan, Allah itu tidak berjumlah tiga. Yang menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad. Bukankah sebenarnya orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip. Di antaranya bingung karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran mendekatkan pada kufur kafir. Fakhir dekat dengan kafir. Sebabnya karena kafir itu, buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka. Fakhir tidak akan mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud pendekatan ini, tidak menyembah dan memuji, karena kekafirannya. Seperti itulah kalau fakhir terhadap Dzatullah. Dan sesungguhnya Gusti Allah, mematikan kefakhiran manusia, kepastiannya ada di tangan Allah semata-mata. Adapun wujud Dzatullah itu, tidak ada satu makhluk pun yang mengetahui kecuali Allah sendiri. Ruh Idhafi menimbulkan iman. Ruh Idhafi berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang disebut iman tauhid. Meyakini adanya Allah juga adanya Muhammad sebagai Rasulullah. Tauhid hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan Yang Terpilih. Menyatu dengan Gusti Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus menyatu bahwa Gusti Allah itu ada dalam dirimu. Ruh Idhafi ada di dalam dirimu. Makrifat itu sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat, hidup tunggal didalam hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan Pilihan. Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi padamu, jangan takut menghadapi sakaratil maut. Jangan ikut-ikutan takut menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan sekarat.
Ruh Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya bahwa keberadaanmu itu, terjadi karena Allah itu hidup dan menghidupi dirimu, dan menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif (huruf alif) harus dimintakan penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun harus berani susah payah mendalaminya. Terlebih lagi pengetahuan tentang kafir dan syirik! Sesungguhnya semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang menjelaskan syariat itu berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Gusti Allah. Sebagai sarana pengabdian hamba kepada Gusti Allah. Yang menjalankan shalat sesungguhnya raga. Raga yang shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri orang yang menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka tidak akan menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang tersurat, shalat itu adalah perbuatan dan kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya Allah-lah yang berkehendak atas hambanya. Itulah hakikat dari Tuhan penciptanya. Ruh Idhafi berada di tangan orang mukmin. Semua ruh berada di tangan-Nya. Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi. Ruh Idhafi adalah sifat jamal (sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan pada diri utusan Allah (Rasulullah). Syarat jisim lathif (jasad halus itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati.
Cahayanya berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisayaratkan sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkat adanya sifat jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi isyarat hilangnya diri ini. Setelah semua menemui kematian di dunia, maka akan berganti hidup di akherat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti terjadi. Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir. Ya, itulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka dikembalikan kepada yang meninipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus seperti sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai sarana untuk makrifat? Titipan yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata karena menyesali sewaktu masih hidup. Seperti teringat semasa kehidupan itu berasal dari Nur. Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, saya merasa kehilangan.
Mati atau hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara keseluruhannya? Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratuspun dapat dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang bersember dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada allah sudah dalam keaadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan”.
Syekh Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya senang hatinya sehingga beliu belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu. “Kalau begitu hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang bebas dari sengsara derita, tiada selera makan tidur, tidak merasa ngantuk dan lapar, tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat”. Kanjeng Nabi Khidir memperingatkan, “yang demikian tidak boleh kalau tanpa kematian”.
Kanjeng Nabi Khidir semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. Kata Kanjeng nabi Khidir, “kalau begitu yang awas sajalah terhadap hambatan upaya. Jangan sampai kau kembali. Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah kalau sudah kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu sebagai rahasia Allah. Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia, kalau tanpa seizin-Nya! Sekiranya akan ada yang mempersolakan, memperbincangkan masalah ini! Jangan sampai terlanjur! Jangan sampai membanggakan diri! Jangan peduli terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar! Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu! Hidup tanpa ada yang menghidupi kecuali Allah saja. Tiada antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh, bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan! Kemudian tidak pernah memberitahunakan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak perputaran bawana. Bukankah berita sebenarnya sudah ada padamu? Cara mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adpun telingannya, matanya yang diberikan oleh allah. Ada padamu itu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar, pasti ada asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati. Demikian pun dengan Hyang Sukma, sekiranya kita mengetahui wajah hamba Tuhan dan sukma yang kita kehendaki ada, diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena datanglah segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagad. Bentuk wayang adalah sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya tanpa kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan. Yang berhak menentukan semuanya, tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam bentuknya. Karena sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika berhias.
Yang berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang bernama manusia sesungguhnya, terbentuk di dalam kaca. Lebih besar lagi pengetahuan tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena lebih lembut seperti lembut nya air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini? Artinya lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari, karena menentukan segalanya. Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya. Dapat mengenai yang kasar dan yang kecil. Mencakup semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar serba lebih. Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan pada ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya. Pahamilah liku-liku solah tingkah kehidupan manusia! Ajaran itu sebagai ibarat benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.
Misal kacang dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah pada saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Tapi bila kau bijaksana, melihatmu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah penglihatanmu sukma dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan kembali kepada yang Empunya suara! Justru kau hanya mengakui saja sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya mengatas namai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga Sukma. Yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti. Bicarakanlah manurut pendapatmu! Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih merasakan sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila sudah menyatu dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa yang kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya semakin cermat dan teliti atas berbagai masalah.
Masalah itu satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak boleh lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal. Semuanya tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan dengan baik, berguna dimana saja! Artinya mati di dalam hidup. Atau sama dengan hidup di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud. Raga sukma, sukma muksa. Jelasnya mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan senang hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang kepadamu. Seperti bulan yang diterangi cahaya temaram. Bukankah turunnya wahyu meninggalkan kotoran? Bersih bening, hilang kotorannya”.
Kemudian Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang dituju, semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan, kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”. Habislah sudah wejangan Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di dalam hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat petunjuk yang cukup. Rasa batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap. Keseluruh jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Misalnya bunga yang masih lama kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya semerbak mewangi. Karena sudah mendapat san Pancaretna, kemudian Sunan Kalijaga disuruh keluar dari raga Kanjeng Nabi Khidir kembali ke alamnya semula”.
Lalu Kanjeng Nabi Khidir berkata, “He, Malaya. Kau sudah diterima Hyang Sukma. Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Artinya godaan hati ialah rasa qonaah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diserapkan kedalam jiwa, dirawat seperti emas. Dihiasi dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan kemauan berbagai tingkah laku manusia. Perhaluslah budi pekertimu atau akhlak ini! Warna hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru keliru. Lagi pula secara penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat kepala sebagai sarungmu. Kemudian terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat mendalami mati ketika berada di dalam rongga ragaku.
Tampak oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai hambatan yang menghadang agar gagal usaha atau ikhtiar atau cita-citanya. Dan yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus tetap diwaspadai. Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya sifatnya. Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat. Untuk alat pembebas sifat berbangga diri. Yang selalu didambakan siang dan malam. Bukankah aku banyak sekali melekat atau mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah dalam penafsiran. Dan penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar. Tak tahunya malah mematikan pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam penerapannya. Ada pemuka agama yang ibaratnya menjadi murung. Ia hanya sekedar mencari tempat bertengger saja. Yaitu pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya. Untuk kemuliaan hidup baru. Ada orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang kaya. Akhirnya di masyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan sepele. Jadinya tersesat-sesat. Ada pula yang justru memiliki jalan terpaksa.
Menumpuk kekayaan harta dan istri banyak. Ada pula yang memilih jalan menguasai putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi orang per orang. Semuanya ingin mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki jalan mereka. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka disebut pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih berkeinginan pribadi atau berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat dan martabat. Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama. Yang demikian itu menurut anggapannya dan perasaannya mendapatkan kebahagiaan, kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan, terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat, tanpa mengahasilkan jerih payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti mengalami kegagalan total. Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan. Apa kebiasaan ketika hidup didunia. Ketika menghadapi datangnya maut, disitulah biasanya tidak kuat menerima ajal. Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia yang tersangkal lagi. Pokoknya masih lekat sekali pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya amencari kemuliaan. Tidak boleh lagi merasa terlekat kepada anak-istri. Pada saat-saat menghadap ajatnya. Bila salah menjawab pertanyaannya bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau matinya tanpa pertanggungjawaban. Bila kau sudah merasa hatimu benar. Akan hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu keterdiamannya tidak membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan pembicaraan orang lain yang ditujukan kepadanya. Yaitu bagaimana hilang dan mati bersama raganya ialah diidamkannya. Sehingga mempertinggi semedinya, untuk mengejar keberhasilan. Tapi sayang tanpa petunjuk Allah, apalagi hanya semedi semata. Tidak disertai dukungan ilmu.
MENCAPAI DERAJAT INSAN KAMIL (Tamat)
Dahulunya belum mendapatkan pelajaran. Sampai tobatnya tidak merasa enak kalau menyanggah. Lalu ikut-ikutan mendengarkan. Dengan menamakan rohaniwan yang terbesar. Dianggapnya sudah pasti pendapatnya benar. Pendapatnya atau ilmunya adalah wahyunya itu anugrah yang khusus diberikan pribadi. Akhirnya sahabatnya diaku sebagai anak. Ditekan-tekankan tuntutan besar berupa ikatan batin. Oleh guru bila sudah akan mejang atau menyampaikan ajaran, duduk merasa sering berdekatan. Sehingga sahabat dikuasai oleh guru, dan sang guru menjadi sahabat batin. Luansnya tanggapan bahwa segalanya merupakan merupakan wahyu Allah. Kebaikannya, keduannya antara guru dan sahabat saling memahami. Kalau seorang diantara mereka dianggap sebagai orang yang berilmu. Harus ditaati segala apapun yang diucapkan itu. Misalnya berjalan juga harus disembah biasanya bertempat di pucuk-pucuk gunung.
Pengaruh ajarannya sangat mengundang perhatian menemui perguruannya. Bila ada yang berguru atau menghadap, nasihatnya macam-macam dan banyak sekali. Seperti gong besar yang dipukul. Bukankah ajarannya yang dibeber tidak bermutu atau berbobot. Akibatnya rugilah mereka yang berguru? Janganlah seperti itu orang hidup. Anggaplah ragamu sebagai wayang. Digerakkan ditempatnya. Terangnya blencong itu ibarat panggung kehidupanmu. Lampunya bulan purnama, layar ibarat alam jagad raya yang sepi kosong. Yang selalu menunggu-nunggu buah pikir atau kreasi manusia. Batang pisang ibarat bumi tempat bermukim manusia. Hidupnya ditunjang oleh yang nanggap. Penanggapnya ada di dalam rumah, istana. Tidak diganggu oleh siapun. Boleh berbuat menurut kehendaknya. Hyang Permana dalangnya. Wayang pelakunya. Adakalanya digerakkan ke utara oleh sutradara. Bila semuanya digerakkan berjalan. Semua ada di tangan dalang. Dialognya menyampaikan pesan juga. Bila bercakap lisannya itu menyampaikan berbagai nasihat, menurut kehendaknya. Penonton dibuat terpesona, diarahkan melekat pada dalang. Adapun yang nanggap itu selamanya tidak akan tahu. Karena ia tanpa bentuk dan ia berada di dalam puri atau rumah atau istana. Ia tanpa warna itulah dia Hyang Sukma. Cara Hyang Permana mendalang, mempercakapkan tanpa dirimu. Tanpa membedakan sesama titah. Di samping itu, bukankah dia tidak terlibat sebagai pelaku? Misalnya berada dalam tubuhmu? Atau ibarat minyak di dalam susu? Atau api dalam kayu?.
Berhasrat sekali karena belum diberi petunjuk sehingga menggelar doa di kayu, dakon dan gesekan. Dengan beralatkan sesama batang pohon. Gesekan itu disebabkan oleh angin. Hangusnya kayu, keluarlah kukunya. Tak lama kemudian apinya. Api dan asapnya keluar dari kayu itu. Bermula dari ingat pada saat awal mulanya. Semua yang tergelar ini berasal dari tiada. Manusia diciptakan lebih dari makhluk yang lain. Bukankah itu yang disebut rahasia atau rahsa? Manusia itu tidak paling mulia daripada ciptaan yang lain. Maka dari itu janganlah mudah terpengaruh oleh buah pikirmu yang bulat. Bulat atas segala gerak dan kehendak. Adapun isi jagad itu jangan mengira hanya manusia saja, tapi berisi segala macam titah. Hanya saja manusia itu satu. Penguasanya satu. Yang menghidupi jagad seisinya. Demikianlah tekad yang sempurna. Hei Syekh Malaya segeralah menyudahi! Kembalilah kau ke pulau Jawa! Bukankah sebenarnya kau mencari dirimu juga?.
Syekh Malaya bergegas. Bersembah dan berkata dengan berbelas kasih untuk memenuhinya, yang disebut Kalingga Murda,”Hamba setia dan taat”. Kanjeng Nabi Khidir lalu musnah dan lenyap. Syekh malaya tampak berdoa di samudera. Tapi tidak tersentuh air.
Syekh Malaya sangat berjanji dalam hati atas peringatan atau ajaran sang guru yang sempurna. Bukankah ia masih sangat ingat? Hasrat hati yang telah memiliki atau mengetahui ilmu kawekas. Isinya jagad telah terkuasai dalam hati, merasa mantap dan disimpan dalam ingatan. Sehingga serba mengetahui dan tak akan keliru lagi. Diresapi dalam jiwa dan dijunjung sampai mati. Ia telah lulus dari sumber aroma kasturi yang sebenarnya. Sehingga sifat panasnya hati lenyap.
Sesudah itu Syekh Malaya kondur (pulang). Hatinya sudah tidak goyah lagi karena segala ajaran itu tampak jelas dalam hati. Ia tidak salah lagi melihat dirinya siapa sebenarnya. Penjelmaan jiwanya menyatu dalam satu wujud. Walau secara lahiriah dirahasiakan. Norma atau prilaku tata cara jiwa kesatria, berhasil dikuasai. Bukankah ia sudah menggunakan mata batinnya yang tajam atau peka? Ibarat hewan dengan bebannya! Sudah tak ada atau terjadi, kematian dalam kehidupan. Setelah bagaimana ia menerima ajaran gurunya. Sama sekali tidak diragukan lagi. Seluruh ajaran gurunya sudah tamat dan di kuasai dengan tersimpan dalam hati, serta diimankan dengan cermat. Mematuhi semua ajaran guru. Perbuatan, pikiran dan rasa bukankah diuji dalam hati yang suci dan bening? Benar-benar terasa sebagai anugrah Tuhan.
Sesungguhnya sang guru benar-benar sudah hilang raganya, sudah tidak ada. Akan tetapi selalu terbayang dalam hatinya. Dan sudah ditetapkan sebagai kekasihnya. Adapun segala ketercelaan hati sudah lenyap. Rasanya tenanglah dunia dan akhirat. Karena kebersihan dan kesucian jiwa sudah diketemukan. Sukma suci dalam segala tingkah lakunya itu memahami sepaham-pahamnya.
Bukankah sudah memahami lewat petunjuk? Sehingga tidak takut akan kematian yang sering timbul dalam buah pikiran? Ia sudah mengharapkan bahwa raganya akan ikhlas kalau kematian yang mulia. Yang diridhai oleh Tuhan atau Sang Hyang Widi. Namun sebenarnya tidak ada tanggapan perasaan. Yaitu rasa seperti itu. Tiadanya pandang atau wawasan seperti itu. Bukankah sudah lenyap semuanya. Tinggal jiwa suci yang terpuji mulia? Mulia seperti zaman dahulu atau awalnya. Tidak meragukan kematian yang sebenarnya. Yang menjemput maut setiap saat. Tidak merasakan akan kematiannya. Toh yang rusak itu nafsu dan badan, jiwa hidup abadi dan aman sejahtera. Senang, mulia dan merdeka, semuanya itu sudah diterapkan dalam hati. Sehingga berpegang pada kuasa-Nya. Sudah mengetahui akan makna kematian yang sebenarnya, ia tidak merasa takut kapanpun maut menjemput. Yang sempurna ialah sudah aman, sejahtera, mulia, itulah makna yang sempurna. Yaitu tidak meninggalkan hak-Nya. Ketujuh alam sudah lenyap. Bukankah lenyapnya alam ini sudah jelas? Kini yang lain ibarat kau sajalah!
Penguasa alam bukankah sudah kita ketahui? Yang bernama Abirawa yang artinya beerkuasa dan berkehendak. Adapun alam yang keenam artinya ialah yang telah lenyap : timur, barat, utara, selatan, atas, bawah serta kayu dan batu dan diri sendiri. Bila kita telah mati yang ada hanya kosong dan sepi. Yang terdengar hanya deru angin, debur air dan kobaran api di alam dahana. Matahari, bulan, bukankah termasuk alam juga? Dua puluh tiga alam yang serba nafsu itu, semuanya habis belaka. Walaupun bukankah sama dahulunya?.
Syekh Malaya sudah memahami hal itu semua? Kalau itu semua adalah alam serba nafsu. Dan alam yang sebenar-benarnya sudah jelas yaitu penguasa alam semua. Sedang penyelarasnya hanyalah alam anbiyak ini. Alam anbiyak itu baunya harum dan mewangi. Tapi bukan pribadi majazi. Yang hakiki yang menyelaraskan alam. Menjadi terang dan mulia semua.
Dan alam berarti itu ialah tempat jiwa suci, terang, bersih. Itulah alam malakut. Artinya ialah sudah tiba menjelang alam kemuliaan. Ibarat ruangan, sekat sebagai pemisah. Adapun alam anbiyak ialah alam mulia yang masih akan digapai. Sifat hidup itulah kehidupannya. Tentang mana mirah mana intan. Sudah jelas nilai dari Kumala Adi. Yaitu sebagus-bagusnya warna dari intan itu sendiri. Lenyapnya bukankah sama dengan lainnya? Itulah alam anbiya.
Tamat
Wasalam,
Martabat Tujuh
Martabat Pertama, Ahadiyah
Martabat pertama adalah Martabat Ahadiyah yang diungkapkan sebagai Martabat Lata’ayyun, atau al-Ama (tingkatan yang tidak diketahui). Disebut juga Al-Tanazzulat li ‘l-Dhat (dari alam kegelapan menuju alam terang), al-Bath (alam murni), al-Dhat (alam zat), al-Lahut (alam ketuhanan), al-Sirf (alam keutamaan), al-Dhat al-Mutlaq (zat kemutlakan), al-Bayad al-Mutlaq (kesucian yang mutlak), Kunh al-Dhat (asal terbuntuknya zat), Makiyyah al-Makiyyah (inti dari segala zat), Majhul al N’at (zat yang tak dapat disifati), Ghayb al Ghuyub (gaib dari segala yang gaib), Wujud al-Mahad (wujud yang mutlak).
Dan berikut adalah nukilan dari terjemahan tingkat pertama yang disebut Martabat Ahadiyah dalam Suluk Sujinah dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Suluk Sujinah
Ada pengetahuan perihal tingkatan dalam kehidupan manusia, yang diceritakan dengan ajalollah dan dikenal dengan sebutan martabat tujuh, diawali dengan kegaiban. Zat yang membawa pengetahuan tentang Diri-Nya, dan tanpa membeberkan tentang kenyataan (fisik), Keadaannya kosong namun dasarnya ada. Tapi dalam martabat ini belum berkehendak. Martabat Akadiyah disebut juga dengan Sarikul Adham. Awal dari segala awal.
Dalam alam ahadiyah dimulai dengan aksara La dan bersemayam ila. Itulah kekosongan pertama dari empat bentuk kekosongan. Kedua bernama Maslub. Ketiga adalah Tahlil, dan keempat Tasbeh. Maslub bermakna belum adanya bentuk atau wujud roh atau jiwa. Tak berbentuk badan atau wujud lainnya.
Tahlil berarti tak bermula dan tak berakhir. Sedangkan Tasbeh bermakna Tuhan Maha Suci dan Tunggal. Tuhan tak mendua atau bertiga. Tak ada Pangeran lain kecuali Allah yang disembah dan dipuja, yang asih pada makhluknya.
Serat Wiirid Hidayat Jati
Sajaratul Yakin tumbuh dalam alam adam makdum yang sunyi senyap azali abadi, artinya pohon kehidupan yang berada dalam ruang hampa yang sunyi senyap selamanya, belum ada sesuatu pun, adalah hakikat Zat Mutlak yang qadim. Zat yang pasti terdahulu, yaitu zat atma, yang menjadi wahana alam Ahadiyah.
Di dalam Suluk Sujinah, tingkat pertama disebut dengan alam Ahadiyah, yaitu alam tentang tingkat keesaan-Nya. Keesaan-Nya agung, dan bukan obyek dari pengetahuan khusus mana pun dan karena itu tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun. Hanya Allah yang mengetahui diri-Nya dan keesaan-Nya.
Dalam keesaan-Nya tak ada sesuatu pun yang menguasai dan mengetahui kecuali diri-Nya. Firmannya adalah diri-Nya sendiri, begitu pun malaikat-Nya dan nabi-Nya. Allah dalam tingkatan ini berada pada kondisi al-Kamal, yaitu, dalam kesempurnaan-Nya.
Hakikat-Nya, keesaan-Nya adalah tempat berkumpulnya seluruh keragaman dan tenggelam atau lenyap dalam kesatuan-Nya. Dalam alam Ahadiyah keragaman dan kejamakan tersebut tidak dapat dipertentangkan dengan gagasan metafisis tentang tahapan atau tingkatan eksistensi.
Dalam tingkatan ini, Allah berada dalam kondisi Ghayb al-Ghuyub, yaitu, keberadaan-Nya yang gaib. Tuhan tak dapat diindrawi. Sebab Allah tidak membeberkan tentang kenyataan yang fisik. Allah dalam keadaan yang tak berujud, yang tak dapat dideteksi oleh manusia atau para wali, nabi, bahkan para malaikat terdekat-Nya. Sebab Ia masih dalam kesendirian-Nya. Allah belum menguraikan atau menciptakan sesuatu. Di dalam derajat ini, semua sifat umum kumpul melebur di dalam diri-Nya. Perbedaan sifat pun ada dalam kesatuan-Nya.
Tuhan dalam alam pertama disebut juga al-Unsur Adam, Allah adalah unsur yang pertama, dan tak ada makhluk-makhluk lainnya yang mendahului. Diri-Nya adalah unsur yang terdahulu yang bersifat agung. Zat-Nya adalah substansi universal dan hakikat-Nya yang tak dapat dipahami. Dalam sifat adam-Nya, hakikat-Nya tak dapat dipahami. Sebab awalnya adalah Ada dalam ketiadaan. Dan ketiadaan-Nya adalah hakikat yang tak terlukiskan dan tak dapat dimengerti oleh siapa pun. Hakikatnya di luar segala perumpamaan dan citraan yang memungkinkan.
Selanjutnya, alam Ahadiyah terbagi dalam empat tingkatan. Tahap pertama dikenal dengan kata La yang bersemayam di dalam kata illa. La dan illa adalah dua kata yang manunggal, karena setiap realitas-realitas hanya merupakan refleksi dari realitas-realitas Allah. La dan illa menunjukan pada asal segala sesuatu yaitu dalam ketiadaan-Nya, diri-Nya Ada. Sedangkan pengertian illa juga menunjukan pada kembali sesuatu dalam kesatuan-Nya yang bersifat keabadian.
Jika memperhatikan tatanan ontologis, bila diterapkan La dan illa akan mengisyaratkan pemisahan antara ada Ilahi dan para makhluknya. Dengan demikian, Ad-Nya pertama menjadi tabu bagi adanya yang kedua. Pengetian La dan illa dalam masyarakat sufi memiliki tiga makna. Pertama, adalah tiada Tuhan melainkan Allah. Kedua adalah tiada Ma’bud melainkan Allah dan ketiga tiada maujud melainkan Allah. Pengertian pertama mengacu pada keberadaan pada kekuasaan-Nya. Yaitu penegasan tiada Tuhan yang pantas menjadi penguasa selain Allah yang Esa. Pengertian kedua, Allah adalah Zat yang wajib disembah sebab Allah bersifat disembah. Tiada penguasa yang wajib disembah selain Allah, Zat yang Maha Suci. Sedangkan pengertian ketiga, Allah adalah awal segala yang berwujud. Sebab Zat-Nya adalah wujud yang pertama dan tak berakhir.
Ketiga pengertian tersebut di atas adalah suatu kesatuan yang tak dapat dikaji secara terpisah. Sebab, segala bentuk yang maujud ini pada hakikatnya sama sekali tidak ada. Yang ada hanyalah Allah. Jadi, kalau yang ada ini semuanya dikatakan ada, artinya ada dalam Allah. Inilah konsep dasar dari Widhatul al-Wujud. Sementara, tingkatan kedua dari alam Ahadiyah adalah Nafi Uslub, yaitu, tingkat ketiadaan-Nya yang ada. Dalam ketiadaan-Nya, Allah tak dapat digambarkan atau dilukiskan oleh siapa pun. Allah dalam keadaan Al-Ama, yaitu, tingkatan yang tak dapat diketahui. Allah dalam tingkatan ini hanya mempunyai hubungan murni dalam hakikat dan tanpa bentuk. Sedang tingkatan yang ketiga dalam alam Ahadiyah adalah Tahlil. Pengertian Tahlil berarti kondisi Tuhan yang bermakna La illa illaha. Tahlil pun bermakna suatu kondisi pemujaan Allah dengan pengucapan syahadat tentang persaksian akan keberadaan-Nya.
Dalam kalimah Syahadah yang diucapkan dengan niat bulat dan mengakui bahwa Allah berkuasa sendirian, tidak menghendaki pertolongan dari siapa pun, ia suci dan kaya. Kalimah Syahadah adalah kalimat yang wajib bagi pemeluk Islam, di mana intinya adalah pengakuan akan adanya Allah yang menjadi pemimpin kehidupan, di samping itu, adanya pengakuan rasul Allah. Yaitu Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Selanjutnya, tingkat empat adalah Ahadiyah Tasbih, yang bermakna kemahaluasan Allah. Tingkatan ini berintikan kalimat Subhhanallah, artinya, maha suci Allah dan mengingatkan serta menunjukan seluruh keyakinan untuk selalu mempersucikan-Nya.
Sedang pada Serat Wirid Hidayat Jati, ajaran pertamanya dikenal dengan sebutan Sajaratul Yakin. Yaitu sebagai lambang pohon kehidupan yang dalam bahasa Jawa disebut dengan Kajeng Sejati dan memiki makna pengertian tentang kehidupan atau hayyu.
Hayyu berarti atma, jiwa atau ruh. Dalam Sajaratul Yakin Allah adalah Wujud al-Sirf, kondisi wujud yang utama. Atma-Nya belum tersifati, namun ruh-Nya adalah al-Lahut (bersifat ke-ilahi-an). Ia merupakan hakikat zat mutlak dan qadim, yaitu, asal zat dari segala zat yang bersifat abadi. Zat-Nya tak ada dalam penguraian. Segala penguraian-Nya adalah bersifat negatif. Sebab Allah bersifat Makiyyah al Makiyyah, yaitu, inti dari segala zat yang ada di kemudian hari. Atmanya adalah esa dari yang tak teruraikan dan diuraikan.
Zat ruh-Nya sesungguhnya adalah zat yang bersifat esa. Ruh itulah sejatinya Tuhan Yang Mahasuci. Ruh-Nya adalah subyek absolut, di mana benda yang termasuk subyek individu hanyalah obyektivisasi-obyektivisasi ilusi. Sebab Allah adalah Kunh al-Dhat, asalnya zat terbentuk.
Di dalam kitabnya Daqiqul Akbar, Imam Abdurahman menuliskan, pada awal permulaan Allah menciptakan sebatang pohon kayu bercabang empat. Pohon kayu tersebut dikenal dengan Syajaratul Yakin. Dan Syajaratul Yakin tercipta dalam alam kesunyian yang bersifat qadim dan azali. Pengertian sunyi di sini bukan bermakna tak adanya sesuatu. Namun bermakna belum terciptanya alam, kecuali tajjali-Nya yang pertama dalam bentuk Syajaratul Yakin. Sedangkan pengertian qadim dan azali adalah wujud dari sifat-Nya yang terawal dan tak berakhir. Zat-Nya adalah terdahulu, tak ada sesuatu pun yang mendahului dan tak ada akhir karena masa.
Syajaratul yakin afdalah awal sifat-Nya. Dalam pohon kehidupan sifat-Nya yang menonjol adalah tentang hidup — hidup (al-Hayat) adalah sifat wajib yang ada pada Diri-Nya. Sebab sifat al-Hayat adalah qadim dan azali. Al-Hayat dalam segala martabat-Nya menjadi pangkal bagi segala macam kenyataan yang lahir dan kekal. karena hidup atau hayyu atau atma adalah subyek yang absolut, maka, hakikat atma atau hidup adalah mutlak yang qadim. Dan Allah adalah zat pertama dan sumber dari hidup itu sendiri. Diri-Nya adalah kekal bersamaan dengan kekalnya zat kehidupan.
Keduanya adalah ada dalam kemanunggalan. Zat-Nya yang al-Hayat adalah sumber munculnya perkara-perkara sifat wajib-Nya. Yaitu, ilmu, iradat, kalam dan baqa. Artinya, karena adanya ruh atau hayyu (al-Hayat), maka, muncul ilmu (pengetahuan). Timbulnya pengetahuan (al-ilm) menciptakan atau mengalirnya kehendak (iradat), dan firman-Nya. Dan ketiga sifat-Nya adalah kekal, baqa.
Martabat Ke dua, Martabat Wahdah
Martabat kedua, dari martabat tujuh adalah al-Wahdah, yaitu al-Ta’ayyun Awal. Tingkat perbedaan pertama, atau awal ada dalam tingkatan ini. Tegasnya mulai adanya batas perbedaan. Tetapi, walau ada tingkat perbedaan awal, namun Zat-Nya masih dalam keadaan universal yang masih menyatu dalam alam ketuhanan-Nya, yang disebut al-Martabah Ilahiyyah.
Hal tersebut di atas diiraikan dalam nukilan terjemahan Suluk Sujinah;
Dan martabat kedua adalah Wahdah. Nama-nama sifat yang awal diuraikan. Awalnya ruh yang akan menguraikan nama-nama roh yang wujudnya masih dalam bentuk hak. Dan Cahaya-Nya dinamakan Nur Muhammadiyah. Wujud ilmu dari nur adalah ibadah pengetahuan yang sejati. Pada tingkatan ini belum dapat diuraikan. Pengetahuan sejatinya adalah dalam tingkatan Wahdat. Namun, Pangeran, Allah dalam wujud yang jamak, namun diri-Nya adalah kehampaan. Tak ada Pangeran selain Allah, ia hanya Allah yang tunggal. Tunggal wujud-Nya. Dia yang memberikan penghidupan. Dia yang menjadikan sesuatu.
Sementara, menurut nukilan terjemahan Serat Wiirid Hidayat Jati;
Nur Muhammad yaitu cahaya yang terpuji. Diceritakan di dalam Hadist; rupanya seperti burung merak yang berada di dalam permata putih, dan berada dalam arah Syajaratul Yakin. Itulah hakikat cahaya yang diakui sebagai tajjalinya zat, berada dalam nukat gaib, merupakan sifat atma yang menjadi tempatnya alam Wahdah.
Sejatinya, ruh adalah pralambang pertama yang mendahului segala penciptaan-Nya. Ruh dalam tingkatan ini bersifat al-Ruh, yaitu ruh yang universal, atau ruh dalam kejamakan-Nya. Tuhan menciptakan hakikat Muhammadiyah ibarat penciptaan-Nya terhadap pena yang Agung, yaitu, al Qalam al-Ala. Dan menurut hadist, pertama kali wujud yang diciptakan Allah adalah ruh.
Di dalam tingkatan ini belum ada penguraian atau pembedaan zat. Zat-Nya adalah sifat kejamakan-Nya. Bahkan dalam ta-Ayyun awal-Nya, dikenal dengan empat hal yang tak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya, yaitu, ilmu, wujud, syuhud dan nur. Keempat hal tersebut merupakan satu kesatuan atau manunggal — karena dari ilmu-Nya, maka, alim dan mak’lum menjadi nyata. Karena wujud, maka, yang mengadakan dan yang diadakan menjadi nyata, dan syuhud, menjadikan yang melihat dan yang dilihat menjadi nyata. Sementara, karena cahaya-Nya, maka, yang menerangkan dan yang diterangkan menjadi nyata.
Dan keempat hal tersebut di atas adalah suatu perkembangan Allah dari hakikat yang tidak terinci lewat hakikat yang mempunyai sifat-sifat, dan pengetahuan-Nya disebut menuju perkembangan pengetahuan tentang berbagai rincian dari Ada-Nya Allah dalam karya-Nya yang disebut kenyataan ada-Nya Nur Muhammad.
Konsep adanya Nur Muhammad sebagai kenyataan karya Allah dalam tajjali-Nya yang pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan oleh Husin bin Mansur Al-Hallaj, kelahiran Parsi, yang kemudian menjadi tokoh sentral dalam pengembangan Wadhatul al-Wujud. Menurut Al-Hallaj, adanya alam pada mulanya ialah dari adanya hakikat Muhammadiyah atau Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah asalnya zat yang Hadrah al-’Ama’iyyah yaitu hadrah yang tidak diketahui. Allah ada dalam kenisbian-Nya, atau, ada-Nya dalam ketiadaan.
Pada perkembangan selanjutnya, para sufi pun percaya bila nabi Muhammad memiliki dua rupa. Rupa pertama disebut dengan qadim dan yang kedua adalah ajali. Rupa qadim adalah ujud yang terawal dari adanya segala zat, ia tak terikat atau terpengaruh oleh masa. Dia telah terjadi sebelum terjadinya semua yang ada. Rupanya yang qadim itulah sumber terciptanya segala nabi-nabi, rasul-rasul dan aulia. Cahayanya menyinari segala kehidupan dan tak ada cahaya yang lebih terang dari pada Nur Muhammad.
Rupa kedua adalah bersifat Azali. Adalah rupa dari Muhammad yang berujud sebagai manusia yang terikat oleh masa dan mengalami pemunahan. Ia juga mengalami suka duka, kecewa dan bercita-cita serta bergaul dengan manusia lainnya.
Sementara, di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Nur Muhammad adalah tajjali Allah yang kedua. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ahadiyah, kemudian dijadikan Nur Muhammad. Nur tersebut terbuat dari permata putih yang bening dan berasal dari alam Jabarut. Adapun wujud dari nur tersebut bagaikan burung Merak. Setelah Tuhan menciptakan Nur Muhammad yang wujudnya bagaikan burung Merak, maka, diletakkan Merak tersebut di dahan pohon kehidupan yang disebut Syajaratul Yakin.
Nur Muhammad itu adalah bakal wajib dari segala kehidupan yang sifatnya masih gaib, pengertian gaib di sini adalah, belum dapat dilihat dengan indra sebab sifatnya dalam keadaan batin. Di samping itu, zat Nur Muhammad, masih dalam kesatuan yang manunggal dengan zat-Nya.
Dengan kata lain, Nur Muhammad atau Hakikat Muhammad merupakan tajjali dari Hayyu — sebab sifat-sifat kehidupannya disinari dan berasal dari Hayyu (Syajaratul Yakin). Syajaratul atau pohon kehidupan (Hayyu), adalah sumber mengalirnya sifat-sifat hidup. Hayyu disebut juga dengan kuasa atma. Maka, Hayyu dijadikan sandaran hidup Nur Muhammad. Namun, keduanya saling mempengaruhi pada kehidupan, hal itu ditamsilkan dengan pohon tunjung dan air. Artinya, di mana ada tunjung tumbuh dan berkembang, maka, di situ pasti ada sumber air.
Dalam alam ini, sifat atmanya dalam bentuk kejamakan. Karena jamak, maka, di sini belum ada batas-batas pemisahan meski sudah adanya kenyataan-kenyataan yang awal yang disebut dengan ta’yun awal.
Martabat Ke tiga, Martabat Wahadiyah
Martabat ketiga di dalam Martabat tujuh adalah Wahadiyah yang biasa diungkapkan dengan kata-kata A’yan Thabitah (realitas-realitas terpendam). Dan alam ini juga disebut sebagai Hakikat Adam. Ma’lumat Ilahiyah (ketentuan yang bersifat ketuhanan), al-Ta’ayyun al-Thani (tingkatan perbedaan kedua), al-Ta’ayyunat al-Kuliyyah (realitas-realitas yang universal), al-Barzakh al-Sughra (batas antara kecil dan besar), al-Falakiyyah al-Uluwiyyah (kehidupan yang tertinggi), Zakir al-Wujud (zakir segala yang wujud), Hadrah al-Wujud (hadrah yang wujud), dan Zakir Ilm (ilmu zakir).
Pada martabat ini, Zat-Nya bertajjali lewat nama-nama-Nya yang dikenal dengan Asma ul’Husna di mana Tuhan mulai muncul dalam al-A’yan Thabitah atau realitas-realitas yang terpendam yang sudah tidak mengandung kejamakan. Dalam tahap ini, segala sesuatu yang terpendam sudah dibedakan dengan tegas dan terperinci, meskipun Zat-Nya belum muncul dalam wujud kenyataan.
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah tersurat;
Tiada Tuhan selain Allah yang dikatakan sejati, tingkatannya berada dalam Wahadiyah, wujudnya mutlak, meski dalam kondisi kekosongan akan Diri-Nya. Allah dalam alam Wahadiyah mulai memperkenalkan nama-namanya. Kalimat yang luhur ditandai dengan kalimat sahadat, yaitu kalimah pengetahuan tentang Diri-Nya, di mana pengertian kalimatnya dibagi dua. Kalimat pertama adalah pengetahuan tentang hakikat Allah yang mencipta jagat raya. Sedangkan pengetahuan yang kedua adalah tentang Muhammad. Muhammad adalah panutan manusia. Muhammad sangat dicintai Allah. Dan keduanya telah menyatu dalam rasa yang tunggal.
Sementara Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Miratul Haya’i, artinya kaca wara’i. Diceritakan di dalam Hadist, bila alam tersebut terdapat di depan Nur Muhammad. Itulah hakikat pramana, yang disebut rahsa zat, sebagai asmanya atma dan menjadi tempatnya alam wahadiyah.
Di dalam alam Wahadiyah, Allah dalam kesejatiannya yang dikenal dengan ucapan “tiada Tuhan selain Allah”. Persaksian keeksistensian-Nya adalah hal yang berada dalam kedudukan yang tertinggi. Wujud Tuhan masih dalam kekosongan yang mutlak, meski Allah sudah mulai memberikan pengetahuan lewat nama-namanya satu persatu.
Dalam kalimat persaksian tersebut, keluhuran-Nya terbagi dalam dua pengetahuan. Persaksian yang pertama mengandung Syahadah Tauhid, sedang yang kedua adalah syahadat Rasul. Pengertian syahadat Tauhid berbunyi; “Ashadu an la illaha illallah”, yang bermakna saya bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Dan kalimat ini biasa juga disebut dengan kalimat Taqwa. Allah adalah al-Falakiyyah al-Huliyyah, yaitu, keeksistensiannya berada dalam tahap tertinggi. Ia adalah kehidupan yang tertinggi.
Sementara, menurut Serat Wirid Hidayat Jati, tajjali Allah yang ketiga adalah Mir’atul Haya’i yang tercipta dari alam Nur Muhammad. Maka, dalam alam Mir’atul Haya’i yang dipersamakan dengan pramana atau sir atau rahsa disebut juga sebagai tajjalinya dari alam Nur Muhammad.
Pengertian pramana atau sir adalah suatu zat yang berada dalam tubuh manusia. Zat tersebut tiada turut rasa sedih, susah, dan juga tidak turut makan dan minum atau segala kegiatan yang berwujud fisik. Makanan dan minuman utama pramana adalah dzikir, atau menciptakan rasa ingat kepada Allah dengan melakukan do’a-do’a atau hal-hal yang bersifat religius.
Sejatinya, fungsi utama pramana di dalam tunbuh adalah untuk menegakkan jasmani. Jadi, apabila pramana berpisah dengan tubuh, maka, tubuh akan menjadi lemah dan lemas, tiada berdaya apa-apa. Hal itu disebabkan karena pramana adalah rahsa zat, dan pramana mendapat hidup dari Nur Muhammad yang dijadikan sebagai perantaranya Hayyu.
Martabat Ke empat, Alam Arwah
Martabat yang ke empat dari Martabat tujuh adalah alam al-Arwah (alam ruh) yang hampa bagi manusia yang juga dinamakan sebagai alam al-Malakut al-adna (alam yang terdiri dari akal dan jiwa yang rendah), Awwal al-tanazzulat li’l-Dhat al-Mujarrad al-Basit (alam peninggalan terhadap kehampaan yang menengah), al-Martabat al-Imkaniyyah (martabat kekuatan). Dan alam ini juga biasa disebut sebagai alam al-Af’al (alam perbuatan Allah), al-Ta-thirat (alam kenyataan), alam Ghayb (alam gaib), alam al-Amr (alam yang diciptakan Allah tanpa perantara), al-Ashya al-Kawiyyah (segala sesuatu di alam semesta).
Hal tersebut di atas, tersurat dengan apik di dalam Suluk Sujinah;
Hakiki alam arwah dimulai dengan wujud nurani yang disebut af’al, yang sifatnya kudrat kuasa. Zat Nur Muhammad yang agung mendahului nama dan penciptaan arwah. Nur Muhammad juga dinamakan rasa. Hakikatnya adalah Rasul Allah, yang sudah menyatu, tunggal.
Yang mana hakiki Muhammad. Ketahuilah oleh kamu dengan jelas, bahwa nama Muhammad adalah ada dalam kesatuan atau ketunggulan dengan Allah.
Itulah hakikat yang sesungguhnya, dan kemudian bernama Nabi Muhammad. Mengenai kejadian terbentuknya Nur Muhammad hendaknya dimengerti yang ujud, khayal dan hak. Jangan sembrono.
Sedang Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Ruh Idlafi; artinya nyawa yang jernih. Diceritakan dalam Hadist berasal dari Nur Muhammad. Itulah hakikat suksma yang dakui keadaan Zat, yang merupakan af’al atma, menjadi tempatnya alam Arwah.
Dalam martabat ini ditandai dengan keberadaan al-Arwah dalam bentuk jamak. Sejatinya, semua ruh dibentuk dan berasal dari alam al-Arwah. Alam al-Arwah yang berujud nurani adalah alam yang diciptakan oleh Allah tanpa perantara. Allah menciptakan melalui perbuatan-Nya sendiri yang disebut dengan Af’al — Allah menciptakan al-Arwah dari uap pilihan yang bersumber dari Jauhar. Di samping itu al-Arwah dibentuk oleh nur, sifat kebakaan, hayat, ilmu, dan dari alam Uluwwi.
Tentang alam al-Arwah, tak ada sesuatu yang mengetahui keberadaannya. Kerahasiaan dan keberadaan alam al-Arwah hanya Tuhan yang bisa menyingkap tabirnya. Sebab jika tidak dirahasiakan, maka, sujudlah semua kafir kepada-Nya, karena semua makhluk hidup yang ada berasal dari alam Uluwwi yang hakikatnya adalah murni. Dengan kata lain, al-Arwah berasal dari Zat Hakk Ta’ala.
Tegasnya, pengertian alam ruh al-Arwah karena semua arwah terjadi dari padanya di mana wujudnya masih dalam bentuk kejamakan. Dalam alam ini belum ada individuasi kehidupan bagi makhluk. Oleh karena itu, segala bentuk kehidupan, baik malaikat, manusia, hewan dan tumbuhan berasal dari alam al-Arwah.
Di dalam sifat al-Arwah yang digolongkan dalam empat kelompok, yakni, Namiya, Mutaharrika, Natika dan Ruh Kudus. Ruh Namiya adalah membentuk kehidupan manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pekerjaannya memelihara dan menumbuhkan, sedang Ruh Mutaharrika yang kelak bersemayam dalam diri manusia dan hewan. Sedang Ruh Mutaharikka juga disebut sebagai ruh hewani, sebab semua hewan bergerak karenanya. Sementara, Ruh Natika yang disebut juga sebagai ruh insani adalah pencipta dan penggerak kehidupan manusia — Ruh Natika berasal dari alam Amr, tempat asalnya ruh dan nafsu yang merupakan pralambang dari Adam dan Hawa.
Sedang yang disebut dengan Ruh Kudus yaitu Faid nur zat Allah. Ruh di mana merupakan penggerakl bagi semua nabi dan rasul yang bersifat mu’jizat dan keramat; mereka faham akan semua ma’ani dan batin. Dan kesemuanya ini dari la’thir ruh Kudus. Disebut fa’id nur zat Allah karena ruh tersebut terbuat dari cahaya pilihan, maka manusia-manusia tersebut faham dan mengetahui berbagai hal yang tersembunyi, yang bersifat batin sebab jiwanya tak terpengaruh atau terbebas dari hal-hal yang bersifat batil.
Alam al-Arwah terbentuk dari Tajjali dan penyinaran dari Nur Muhammad dari zat ilahi. Dalam alam kabir tersebut, alam besar, Nur Muhammad menenrangi segala alam dan nur tersebut semua makhluk Allah hidup dan bergerak. Nur tersebut meliputi alam, tiada satu daerah pun yang tidak dilingkarinya. Ia yang memelihara alam dan melingkarinya. Nur Muhammad yang juga hakikat rasa, adalah wali Allah, dan keduanya tak dapat dipisahkan. Keduanya dalam bentuk nama yang berbeda, namun, hakikatnya adalah kesatuan-Nya. Keduanya ada dalam kesatuan.
Alam al-Arwah adalah Haakk Taala dengan sifat-sifatnya. Sekalian alam itu A’rad (kejadian-kejadian atau penciptaan-penciptaan), yang terhimpun pada Zatnya yang Esa. Oleh sebab itu, al-Arwah mempunyai sifat-sifat Allah, seperti mendengar, melihat, mengerti, berkehendak dan baka.
Alam al-Arwah disebut juga alam kejiwaan, yaitu, tempatnya jiwa dan nyawa berkumpul dalam wujud kesatuan sebelum manusia menjelma ke dunia. Dalam alam al-Arwah itulah kita mengikat janji dengan Allah dan mengakui bahwa Dia-lah Allah yang disembah. Tiada yang lainnya! Sedang pengertian majaji, adalah pralambang dari sifat yang metaforis. Dengan kata lain, majaji dipakai untuk menunjukkan ada-Nya yang Ada yaitu ada-Nya yang ilahi. Atau, sebagai simbol adanya makhluk sudah menunjukkan adanya Khalik sebagai pencipta — sebab, makhluk muncul dari adanya yang mengalir, yaitu Zat-Nya yang Ada sebelum zat yang lain ada.
Oleh karena itu, pengertian umum dari konsep majaji bermakna dua. Pertama, adalah penunjukkan pada sang pencipta, sebagai bukti Allah menciptakan alam Arwah sebagai petunjuk akan keberadaan-Nya. Sedangkan pengertian kedua adalah hal-hal yang diciptakan-Nya, yaitu, makhluk-makhluk-Nya yang merupakan lambang atau simbol dari kekuasaan-Nya.
Di dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ruh Idlafi adalah tajjali Allah yang keempat. Setelah bertajjali dalam alam Mir’atul Haya’i, kemudian bertajjali dalam bentuk Ruh Idlafi. Ruh Idlafi disebut juga tajjali dari pramana atau sir. Hal itu disebabkan Ruh Idlafi mendapatkan sinar dari kuasa rahsa atau pramana — sedang letaknya di luar lingkaran pramana. Dalam martabat tujuh, Ruh Idlafi dipersamakan dengan alam al-Arwah, wujud kejamakan ruh. Di mana hakikat Ruh Idlafi atau al-Arwah tiada satu pun makhluk yang mengetahui, kecuali Allah yang Khalik. Oleh karena itu, Ruh Idlafi juga disebut sebagai nyawa atau suksma — dan disebut Ruh Idlafi karena ia berhadapan dengan Hak Taa’ala. Ruh Idlafi juga sama dengan ruh utusan, ruh yang pancarannya bagaikan mutiara dan menyinari segala hidup dan kehidupan di dunia. Ruh Idlafi merajai segala sesuatu yang nampak dan sinar-sinarnya menerangi semesta alam, dan bidang-bidang kenisbian.
Martabat Ke lima, Alam Mitsal
Martabat ke lima dari martabat tujuh adalah alam al-Mithal (alam bentuk), yang diungkapkan sebagai awal Misal begi bentuk zat yang disucikan dengan makna al-Surah al-Thaniyyah (gambaran kedua) dari al-Tanazzulat li’l Dhat (peninggalan bagi zat), Surah Jami al-ashya al-Kawaniyyah (gambaran segala sesuatu di alam semesta), Surah al-Rahman (bentuk Rahman), Surah al-Haq (bentuk hak), Surah al-Illah (bentuk Ilahi), Surah al-Wujud al Ilahi (bentuk wujud Ilahi), Surah al-Shu’un (bentuk keadaan), Surah al Ula al Zahirah al-Asma (bentuk utama zahir nama-nama).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah, ajaran martabat tujuh tersebut dapat dilihat pada berikut ini:
Tersebutlah alam bertingkat Mitsal, wujud adam terjadinya alam jagad raya yang bersifat kalam, meski pengucap dan pencium, pendengaran dan penglihatan belum terbentuk semuanya. Calon terbentuknya, cerminan mulut, wujud mata, rasa kuping, dan penciuman yang berada dalam hidung.
Sementara, dalam Serat Wirid Hidayat Jati disuratkan:
Kandil: artinya lampu tanpa api, diceritakan dalam Hadist berupa permata yang cahayanya berkilauan, tergantung tanpa kaitan, itulah keadaan Nur Muhammad, dan tempatnya semua ruh. Adalah hakikat angan-angan yang diakui sebagai bayangan Zat, yang menjadi bingkai atma dan menjadi tempatnya alam Mitsal.
Alam Mitsal adalah alam perencanaan tentang perkembangan manusia, di mana tiap diri insan ada di dalam ilmu Allah. Alam ini adalah alam ide dan merupakan perbatasan antara alam Arwah dan alam jisim. Dan alam Mitsal adalah sebagai awal wujud fisik manusia dan makhluk lainnya. Walau keadaannya sudah mempunyai sifat, bentuk dan warna, tetapi belum bisa dikenali baik secara batin maupun lahir.
Pada Serat Wirid Hidayat Jati, Kandil, adalah tajjali Allah yang ke lima. Setelah Allah bertajjali dalam alam Ruh Idlafi, kemudian bertajjali dalam alam Kandil yang dalam kata bahasa mempunyai arti lampu. Uraian di atas, angan-angan diibaratkan sebagai Kandil atau lampu yang tergantung tanpa kaitan. Yang bila dipersamakan dengan aajaran martabat tujuh, Kandil digambarkan sebagai alam Mitsal — nafsu atau kandil merupakan tajjalinya ruh karena menerima sinar dari suksma atau Ruh Idlafi.
Kandil juga digambarkan sebagai api yang berkobar di tengah lautan, artinya, suatu keajaiban bila api dapat menyala di tengah-tengah lautan. Oleh karena itu, dalam martabat ini disebut Ayan Mukawiyah, karena telah benar hidup keadaannya. Dan Nafsu atau Kandil bermakna angkara yang terletak di luar suksma.
Martabat Ke enam, Alam Ajsam
Martabat ke enam adalah Alam Ajsam, atau alam jasmani. Alam ini juga disebut sebagai bagian dari al-Tanazzulat li’l-Dhat (peninggalan bagi zat), Alam al-Mahsus (alam rasa), Akhir al-Tanazzulat li’l Dhat (akhir peninggalan bagi zat), yaitu, Alam al-Sufliyyah (alam dunia), al-Anam (manusia), al-Ajsam (jasmani), al-Shahadah (nyata), al-khalq (manusia), al-Zahir (lahir), al-Kashit (alam terbuka), al-Ajram (tubuh), al-Majsum (terkungkung), al-Mahsusat (alam rasa).
Di dalam terjemahan Suluk Sujinah ajaran martabat tujuh yang ke enam dapat dilihat pada nukilan di bawah ini:
Alam Acesan wujudnya itu dipenuhi badan halus semuanya. Tidak ada batasnya. Itu dasar sifatnya. Memang begitu kenyataannya yang disebut jisim nama wujud. Alam ini masih dalam keadaan gaib. Belum lahir wujudnya. Dan setelah lahir disebut dengan Insan Kamil. Itulah namanya Rasul Allah.
Sementara, terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan;
Dharah artinya permata. Tersebut dalam Hadist punya sinar beraneka warna, kesemuanya ditempati malaikat. Itulah hakikat budi, yang diakui sebagai perhiasan Zat. Dan merupakan pintu atma. Dharah menjadi tempatnya alam Ajsam.
Pada Suluk Sujinah, alam Acesan adalah tajjali Allah yang ke enam, yang di dalam martabat tujuh alam Acesan dipersamakan dengan ajaran alam Ajsam. Alam ini adalah tajjalinya dari alam Mitsal. Wujud alam Acesan berbentuk segi empat yang dihuni oleh jasmani dalam bentuk halus — alam tersebut teramat luas, sehingga tak diketahui di mana batas-batasnya. Dan yang mengetahui luas serta batas-batasnya hanyalah Allah Yang Maha Mengetahui.
Meski wujudnya dalam keadaan gaib, tetapi, alam ini sudah menampakkan bentuk lahir yang ke tiga, yaitu, wujud yang sudah dapat diindra. Sebab, dasar sifatnya adalah jisim, atau, tubuh dalam bentuk wadag.
Sedang Serat Suluk Hidayat Jati menyebutkan bahwa tajjali Allah yang ke enam disebut dengan Dharah yang memiliki pengertian atau arti permata. Diceritakan, bahwa permata tersebut mengeluarkan cahaya atau sinar yang beraneka warna, di mana, setiap warnanya ditempati oleh malaikat yang menjaga pancaran dari sinar tersebut. Dan disebutkan juga bahwasanya bila hakikat dari Dharah adalah budi, di mana budi dijadikan sebagai perhiasan zat.
Martabat Ke tujuh, Alam Insan Kamil
Martabat ke tujuh adalah Alam Insan Kamil, alam manusia dalam kesempurnaannya. Alam ini disebut juga sebagai Akhir al-Tanazzulat (akhir peninggalan), Khatim al-Mawjudat (puncak dari segala yang ada) atau gabungan lahir dan batin, al-Khamsah al-Muhit, yaitu, terbentuknya alam, segala yang bersifat rohani, jasmani dan benda tak bernyawa. Di dalam alam ini, Insan Kamil adalah wakil Allah di bumi guna mengelola alam beserta dengan segala isinya. Ia juga bergelar sebagai khalifah di bumi.
Ajaran Insan Kami di dalam martabat tujuh ini bisa disimak di dalam terjemahan Suluk Sujinah di bawah ini:
Sifat yang terlihat berujud manusia. Wujudnya juga yang bernama mukinat (makanah), yaitu dalam wujud yang berada di martabat ini. Selesailah penjelasan tentang martabat, dan jumlahnya adalah itu (tujuh). Semua orang wajib mengerti dan mengetahui. Jika tak mengerti, maka orang itu tergolong kafir, dan belum mengerti
Sedang terjemahan Serat Wirid Hidayat Jati menyuratkan:
Hijab: disebut dinding jalal, artinya, tabir yang agung, Diceritakan dalam Hadist timbul dari permata yang beraneka warna, pada waktu gerak menimbulkan buih asap, dan air. Itulah hakikat jasad, merupakan tempat atma, menjadi tempatnya alam Insan Kamil.
Dalam Insan kamil, Allah menemukan manifestasi-Nya yang definitif dan sempurna, sebaliknya, dalam Insan Kamil itu dunia yang ke luar dari Allah menurut garis emanasi yang menurun, dan naik kembali ke Allah. Insan Kamil (manusia sempurna) adalah merupakan pusat semesta alam serta titik pertemuan antara Allah dan dunia sebagaimana contoh yang diperagakan dalam garis lurus berikut ini;
Allah
Ahadiyah
Wahdah
Wahadiyah
Alam Arwah
Alam Mitsal
Alam Ajsam
Alam Insan Kamil
Berdasarkan uraian di atas, maka, manusia yang sempurna merupakan ulangan atau perkalian numerik mengenai Akal Awal — karena akal itupun merupakan akibat dari materi Awal yang diterangi oleh cahaya Allah. Tak pelak, oleh Ibn Arabi, Akal Awal itu dinamakan sebagai manusia Universal Agung. Yaitu, wujud yang telah mencapai kesempurnaan dengan melalui tujuh tingkatan.
Membuka Rahasia Ilmu Kesempurnaan
Ketika selesai membangun pesantren, Raden Paku teringat salah satu bungkusan yg harus dibukanya. Ia ingat kata-kata ayahnya kalau bingkisan itu berisi rahasia ilmu sejati yg harus dibacanya. Dengan hati-hati dibukanya bungkusan tersebut. Didalamnya ada beberapa lembar daun lontar bertuliskan huruf arab pegon. Segera dibacanya tulisan tsb.
A. Tentang Macam Ilmu Manusia.
Adalah suatu yang pasti terjadi anakku, ketahuilah ini, renungkan demi kesempurnaan ilmumu. Di dunia ini, entah kapan, sakit, dan mati pasti terjadi. Maka hendaklah waspada, tidak urung kita juga akan mati, jangan lupa pada sangkan paran dumadi. Untuk itu, di dunia ini hendaklah selalu prihatin. Agar benar-benar sempurna engkau berilmu.
Dalam memperbincangkan ilmu kesempurnaan ini, jangan lupa arti bahasanya jika engkau mempertanyakannya. Karena mengetahui arti bahasa adalah kuncinya. Kesungguhanlah yang pasti, itulah yg perlu benar-benar engkau mengerti. Jangan takut pada biaya. Bukan emas, bukan dirham, dan bukan pula harta benda. Namun hanya niat ikhlas saja yang diperlukan.
Adapun ilmu manusia itu ada 2, anakku. Yang pertama adalah ilmu kemanungsan yg lahir dari jalan indrawi dan melalui laku kemanungsan. Yang kedua adalah ilmu kesempurnaan yg lahir melalui pembelajaran langsung dari Sang Khalik. Untuk yg kedua ini, ia terjadi melalui 2 cara, yaitu dari luar dan dari dalam. Yang dari luar, dilalui dengan cara belajar. Sedangkan yg dari dalam, dilalui dengan cara menyibukan diri dengan jalan bertapa ( bertafakur ).
Adapun bertafakur secara batin itu sepadan dengan belajar secara lahir. Belajar memilki arti pengambilan manfaat oleh seorang murid dari gerak seorang guru. Sedangkan tafakur memilki makna batin, yaitu sukma seorang murid yg mengambil manfaat dari sukma sejati, ialah jiwa sejati.
Sukma sejati dalam olah ngelmu memilki pengaruh yg lebih kuat dibandingkan berbagai nasehat dari ahli ilmu dan ahli nalar. Ilmu seperti itu tersimpan kuat pada pangkal sukma, bagaikan benih yg tertanam dalam tanah, atau mutiara di dasar laut.
Ketahuilah anakku, kewajiban orang hidup tidak lain adalah selalu berusaha menjadikan daya potensial yg ada di dalam dirinya menjadi suatu bentuk aksi (perbuatan) yang bermanfaat. Sebagaimana engkau juga wajib mengubah daya potensial yang ada dalam dirimu menjadi perbuatan, melalui belajar. Sejatinya dalam belajar, sukma sang murid menyerupai dan berdekatan dengan sukma sang guru. Sebagai yg memberi manfaat, guru laksana petani. Dan sebagai yg meminta manfaat, murid ibarat bumi atau tanah.
Anakku ketahuilah, ilmu merupakan kekuatan seperti benih atau tepatnya seperti tumbuh-tumbuhan. Apabila suksma sang murid sudah matang, ia akan menjadi seperti pohon yg berbuah, atau seperti mutiara yg sudah dikeluarkan dari dasar laut. Jika kekuatan badaniah mengalahkan jiwa, berarti murid masih harus terus menjalani laku prihatin dalam olah ngelmu dengan menyelami kesulitan demi kesulitan dan kepenatan demi kepenatan, dalam rangka menggapai manfaat.
Jika Cahaya Rasa mengalahkan macam-macam indra, berarti murid lebih membutuhkan sedikit tafakur ketimbang banyak belajar. Sebab sukma yang cair atau dalam bahasa arab disebut nafs al-qabil akan berhasil menggapai manfaat walau hanya dengan berfikir sesaat, ketimbang proses belajar setahun yg dilakukan oleh suksma yg beku nafs al-jamid.
Jadi, engkau bisa meraih ilmu dengan cara belajar, dan bisa juga mendapatkannya dengan cara bertafakur. Walaupun sebenarnya dalam belajar itu juga memerlukan proses tafakur. Dan dengan tafakur engkau tahu manusia hanya bisa mempelajari sebagian saja dari seluruh ilmu dan tidak bisa semuanya.
Banyak ilmu-ilmu mendasar atau yg disebut annazhariyyah dan penemuan-penemuan baru, berhasil dikuak oleh orang yg memilki kearifan. Dengan kejernihan otak, kekuatan daya fikir dan ketajaman batin, mereka berhasil menguak hal-hal tersebut tanpa proses belajar dan usaha pencapaian ilmu yg berlebihan.
Dengan bertafakur, manusia berhasil menguak ajaran sangkan paraning dumadi . Dengan begitu terbukalah asumsi dasar dari keilmuan sehingga persoalan tidak berlarut-larut dan segera tersingkap kebodohan yg menyelimuti kalbu.
Seperti telah kuberitahukan sebelumnya anakku, sukma tidak bisa mempelajari semua yg di inginkan, baik yg bersifat sebagian ( juz’i / parsial ) maupun yg menyeluruh ( kulli / universal ) dengan cara belajar. Ia harus mempelajari dengan induksi, sebagian dengan deduksi sebagaimana umumnya manusia dan sebagian lagi dengan analogi yang membutuhkan kejernihan berfikir. Berdasarkan hal ini, ahli ilmu terus membentangkan kaidah-kaidah keilmuan.
Ketahuilah anakku,
Seorang ahli ilmu tidak bisa mempelajari apa yg dibutuhkan seluruh hidupnya. Ia hanya bisa mempelajari keilmuan umum dan beragam bentuk yg merupakan turunannya dan hal itu menjadi dasar untuk melakukan qiyas terhadap berbagi persoalan lainnya. Begitu pula para tabib, tidaklah bisa mempelajari seluruh unsur obat-obatan untuk orang lain. Meraka hanya mempelajari gejala-gejala umum. Dan setiap orang diobati menurut sifat masing-masing Demikian juga para ahli perbintangan, mereka mempelajari hal-hal umum yg berkaitan dengan bintang, kemudian berfikir dan memutuskan berbagai hukum.
Demikian juga halnya seorang ahli fikih dan pujangga. Begitu seterusnya, imajinasi dan karsa yang indah-indah berjalan. Yang satu menggunakan tafakur sebagai alat pukul, semacam lidi, sedangkan yang lain menggunakan alat bantu lain untuk merealisasikan.
Anakku jika pintu sukma terbuka, ia akan tahu bagaimana cara bertafakur dengan benar dan selanjutnya ia bisa memahami bagaimana merealisasikan apa yang diinginkan. Karena itu hati pun menjadi lapang, pikiran jadi terbuka dan daya potensial yg ada dalam diri akan lahir menjadi aksi (perbuatan) yg berkelanjutan dan tak mengenal lelah.
B. Memahami Ilmu Kasampurnaan.
Ketahuilah anakku bahwa ilmu kasampurnaan itu ada 2 macam,
Pertama, diberikan melalui wahyu,
Apabila suksma manusia telah sempurna, niscaya akan sirna segala sesuatu yang dapat mengotori watak, seperti halnya sikap rakus dan impian semu. Suksma akan menghadap Sang Pencipta, merengkuh cintaNya dan berharap manfaat serta limpahan cahayaNya.
Allah akan menyambut suksma itu secara total. Tatapan Ketuhan memandanginya dan menjadikannya seperti papan. kemudian Allah akan menjadikan pena dari suskma sejati. Dan pena itu diukirkan ilmu pada papan tadi.
Suksma sejati laksana guru, suksma manusia suci ibarat sang murid. Sehingga dicapailah seluruh ilmu, dan padanya semua bentuk terukir tanpa proses belajar maupun berfikir. Dalilnya : “Dan Dialah yg mengajarkanmu apa-apa yg tidak kamu ketahui” (QS. An-Nisa:213).
Ilmu para nabi lebih tinggi derajatnya dibandingkan ilmu mahluk-mahluk yang lain. Karena ilmu tersebut diperoleh langsung dari YME tanpa perantara. Kau bisa memahami dalam kisah para malaikat dengan kanjeng Nabi Adam. Sepanjang usianya para malaikat terus belajar. Dan dengan berbagi cara mereka berhasil mendapatkan banyak macam ilmu, sehingga mereka menjadi mahluk yg paling berilmu dan mahluk paling berpengetahuan.
Sementara itu Adam tidaklah tergolong ahli ngelmu karena ia tidak pernah belajar dan berjumpa dengan seorang guru. Malaikat bangga dan dengan besar hati mereka berkata:” padahal kami Senantisa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau.” (QS. Al-Baqarah:30).
Kanjeng Nabi Adam kembali menuju Sang Pencipta. Lantas beberapa bagian dalam hati Kanjeng Nabi oleh Allah dikeluarkan ketika ia menghadap dan memohon pertolongan kepada Tuhan. Lalu Allah ajarkan seluruh nama-nama benda. “Kemudian Dia mengemukakannya kepada para malaikat, lantas Allah berfirman: “Sebutkanlah kepadaku nama benda-benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar” (QS. Al-Baqarah:31).
Ketahuilah, malaikat menjadi kerdil dihadapan Adam. Ilmu mereka menjadi terlihat sempit. Mereka tak bisa berbangga dan besar hati, justru yg ada hanya rasa tak berdaya.
“Maha Suci Engkau, tidak ada yg kami ketahui selain dari apa yg Engkau ajarkan kepada kami” (QS. Al-Baqarah:32).
Maka kepada mereka Adam diberitahukan beberapa bagian ilmu dan hal-hal yg masih tersembunyi. Akhirnya jelaslah bagi kaum berakal, bahwa ilmu gaib yg bersumber dari wahyu lebih kuat dan lebih sempurna dibandingkan ilmu yg diperoleh dengan penglihatan langsung.
Ilmu yg diperoleh melalui wahyu merupakan warisan dari hak para nabi. Namun mulai masa Kanjeng Nabi Muhammad pintu wahyu telah ditutup oleh Allah. Sebab Muhammad adalah penutup para nabi. Dia mewakili sosok paling berilmu dan paling fasih dikalangan manusia. Allah telah mendidiknya dengan budi pekertinya menjadi baik.
Ketahuilah anakku, Ilmu Rasul itu lebih sempurna, lebih mulia, dan kuat. Karena ilmu tersebut diperoleh langsung dari Sang Khalik. Beliau sama sekali tidak pernah menjalankan proses belajar-mengajar insani.
Kedua, disampaikan melalui ilham,
yaitu peringatan suksma sejati terhadap sukma manusia berdasarkan kadar kejernihan, penerimaan dan daya kesiapannya. Ilham boleh dikatakan mengiringi wahyu. Kalau wahyu merupakan penegasan perkara gaib, maka ilham merupakan penjelasannya. Ilmu yg diperoleh dengan wahyu itulah sejatinya ilmu kenabian, sedangkan yang diperoleh dengan ilham itulah sejatinya ilmu kewalian.
Ilmu kewalian diperoleh secara langsung, tanpa perantara antara sukma dan Sang Pencipta. Ilmu Kesempurnaan itu laksana secercah cahaya dari alam gaib, yang datang menerpa hati yg jernih, hampa dan lembut.
Semua ilmu merupakan produk pengetahuan yg diperoleh dari suksma sejati yang terdapat dalam inti sangkan paraning dumadi
dengan menisbatkan pada RASA SEJATI, seperti penisbatan Siti Hawa kepada Kanjeng Nabi Adam.
Ketahuilah anakku, rasa sejati lebih mulia, lebih sempurna dan lebih kuat dari disisi Allah dibandingkan sukma sejati. Sedangkan sukma sejati lebih terhormat, lebih lembut dan lebih mulia dibandingkan mahluk-mahluk lain.
Adapun ilham itu terlahir dari melimpahnya rasa sejati dan juga terlahir dari melimpahnya pancaran sinar suksma sejati. Jika wahyu menjadi perhiasan para nabi, maka ilham menjadi perhiasan para wali. Adapun ilmu yg diperoleh dari wahyu adalah sebagaimana sukma tanpa rasa atau wali tanpa nabi. Begitu pula ilham tanpa wahyu akan menjadi lemah. Ilmu akan menjadi kuat jika dinisbatkan kepada wahyu yang bersandar pada penglihatan ruhani. Itulah ilmu para nabi dan wali.
Ketahuilah, ilmu yg diperoleh dengan wahyu hanya khusus bagi para rasul, seperti diberikan kepada Adam, Musa, Ibrahim, Isa, Muhammad saw dan para rasul lain. Itulah yang menbedakan antara risalah dengan nubuwwah .
Adapun nubuwwah adalah perolehan hakikat dari ilmu dan rasionalitas-rasionalitas oleh sukma yg suci kepada orang-orang yg mengambil manfaat. Barangkali perolehan semacam itu didapat salah satu sukma, tetapi ia tidak berkewajiban menyebarkannya karena suatu alasan dan oleh sebab-sebab tertentu.
Ilmu kasampurnaan menjadi milik seorang nabi dan wali, sebagaimana dimilki Khidir a.s. Hal itu terdapat pada dalil: “Dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami” (QS. Al-Kahfi:65).
Ingatlah ketika khalifah Ali berujar: “Kumasukan lisanku kemulutku, hingga terbukalah dihatiku seribu pintu ilmu, yang pada setiap pintu terdapat seribu pintu yg lain”. Dan ia berkata: “Andai kuletakkan bantal dan aku duduk diatasnya, niscaya aku akan mengambil putusan hukum bagi penganut Taurat berdasarkan Taurat mereka, bagi penganut Injil berdasarkan Injil mereka, dan bagi penganut al-Quran berdasarkan al-Quran mereka”.
Derajat seperti ini tidak bisa diterima dengan melalui ilmu kemanungsa semata yg hanya dari pembelajaran insani. Pastilah seseorang yg telah mencapai derajat tesebut telah dikarunia ilmu kesempurnaan.
Jika Allah menghendaki kebaikan pada dirimu, Dia akan menyingkap tabir atau hijab yg menghalangi dirimu dengan sukma yang menjadi papan itu. Dengan demikian, sebagian rahasia dari apa-apa yg tersembunyi akan ditampakan padamu. segenap makna yg terkandung didalam rahasia tersebut akan terpahat pada sukmamu. Dan sukma itupun mengungkapkan sebagaimana engkau ingin karena dikehendakiNya..
Sejatinya, kearifan bisa lahir dari ilmu kesempurnaan. Selama engkau belum mencapai derajat atau tingkatan ini, engkau tidak akan menjadi seorang arif.
Karena kearifan merupakan pemberian Hyang Widi.
Dalilnya : ” Allah menganugrahkan al-hikmah kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran ” (QS. Al-Baqarah:269).
Hal itu karena orang-orang yang berhasil mencapai ilmu kesempurnaan tidak perlu lagi banyak berusaha memahami ilmu secara induktif dan berpayah-payah belajar. Orang yang demikian sedikit belajar, banyak mengajar, sedikit capai, banyak istirahat.
Ketahuilah anakku, setelah wahyu terputus dan sesudah pintu risalah ditutup, umat manusia tidak lagi membutuhkan kehadiran rasul atau utusan. Mereka tidak lagi memerlukan penampakan dakwah setelah penyempurnaan agama. Bukanlah termasuk kearifan menampakan nilai lebih tidak berdasarkan kebutuhan.
Tapi ketahuilah anakku, pintu ilham itu tidak pernah ditutup. Pancaran cahaya sukma
sejati tidak pernah terputus. Karena sukma terus membutuhkan arahan, pembaharuan dan peringatan. Umat manusia tidak memerlukan risalah dan dakwah, tetapi masih membutuhkan peringatan sebagai akibat dari tenggelamnya mereka pada rasa was-was dan terhanyut oleh gelombang syahwat.
Karena itu Allah menutup pintu wahyu sebagai pertanda bagi hamba-Nya dan membuka pintu ilham sebagai rahmat serta menyiapkan segala sesuatu menyusun tingkatan-tingkatan supaya mereka tahu bahwa Allah Maha Lembut kepada hamba-hambaNya, memberikan rezeki kepada siapa saja yg dikendaki tanpa perhitungan. Selesai sudah nasehatku tentang kawruh kesejatian yg kubeberkan padamu. Hendaklah engkau bisa menggunakan sebaik mungkin.
Dengan sikap takzim, Raden Paku ( Sunan Giri ) menerawang ke depan membayangkan wajah ayahandanya mengucapkan sendiri kata-kata yg barusan dibacanya. Digengamnya erat-erat lembaran lontar itu, lalu didekapkan didada serasa hendak menggoreskan makna dalam hatinya. Suatu makna dari nasehat orang suci yg tak lain adalah ayahandanya sendiri Syeh Wali Lanang / Syeh Awallul Islam ( Maulana Ishak ), lelaki suci keturunan manusia utama
Tajalli
Mengenai tajali Allah, bisa saja kepada siapa saja. terutama pada rasul-rasul, nabi-nabi, dan wali-wali-Nya. atau kepada siapapun yang dikehendakiNya. Apabila Allah bertajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt. Banyak hadis yang menerangkan perkara ini.Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala, melainkan mata hati yang memperolehi Nur Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari Dzat Tuhan), yang diistilahkan “bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min mitsalin”. Tetapi pandangan syuhud (mata hati).
Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan bertajalli kepada hamba-Nya yang dikehendakiNya.
Jalan Tajalli
Untuk mencapai Tajalli, diperlukan ketekunan. Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.
Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli. Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’ (melihat yang diingat). Pengosongan dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.
Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah ‘mukasyafah’ (pembukaan). Di situlah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dan indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “Hakikat Tauhid (sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”
Dialog
Kalau Allah sudah bertajalli, maka tidak sekedar tajalli. Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat pribadi (perlu dirujuk kepada Al Quran dan Hadis).
Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari Allah dan redaksinya dari Rasulullah).
Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasanya (wali), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.
Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul, lebah-lebah pun mendapat perintahNya. Membuat sarang dan memproduksi madu di bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa (Maryam) yang manusia biasa, juga diberi wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil.
Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari Yahya bin Muadz.
Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu, dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah. Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan aku di ketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy. Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata karena-Ku.
Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”
Lelaku Sunan Kalijaga Lewat Bima Suci
Jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Suluk. Sementara manusia yang mencari jalan untuk mendekat pada GUSTI ALLAH disebut dengan Salik. Kerinduan akan dekatnya diri dengan GUSTI ALLAH ini menjadikan seseorang mulai mencari asal mula dirinya dan bakal ia bawa kemana hidupnya ini. Hal itulah yang juga pernah terjadi pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Beliau mencari sesuatu yang hakiki dari hidup ini. Dan hal itu telah ditemukannya. Namun beliau tidak semata-mata ingin membuka pengalaman spiritual beliau tersebut secara gamblang. Sunan Kalijaga cenderung lebih memilih untuk menyamarkan pengalaman spiritualnya lewat kisah pewayangan dengan lakon Dewaruci atau kadangkala orang menyebutnya lakon wayang Bima suci.
Dalam lakon Dewaruci tersebut, mengisahkan tentang petualangan Bima dalam mencari tirta pawitra atau ‘Sangkan Paraning Dumadi’. Proses pencarian jati diri yang akhirnya menemukan ‘Sangkan Paraning Dumadi’ tersebut di kalangan umat Islam sesuai dengan Hadis Kanjeng Nabi Muhammad yang berbunyi “Man arafa nafsahu faqad rabbahu” yang artinya, ‘Barang siapa mengenal dirinya niscaya dia mengenal Tuhannya’.
Bagian cerita Dewaruci menceritakan bahwa Bima berserah diri pada gurunya. Sehabis berperang melawan Raksasa Rukmuka dan Rukmakala di Gunung Candramuka Hutan Tikbrasara, Bima kembali pada Pendeta Durna. Air suci yang diperintahkan Pendeta Durna untuk mencarinya tidak didapat. Ia menanyakan di mana tempat tirta pawitra yang sesungguhnya. Pendeta Durna menjawab, “Tempatnya berada di tengah samudra”. Mendengar jawaban itu Bima tidak putus asa dan tidak gentar. Ia menjawab, “Jangankan di tengah samudra, di atas surga atau di dasar bumi sampai lapis tujuh pun ia tidak akan takut menjalankan perintah Sang Pendeta”.
Ia segera berangkat ke tengah samudera. Semua kerabat Pandawa menangis mencegah tetapi tidak dihiraukan. Keadaan Bima yeng berserah diri jiwa raga secara penuh kepada gurunya. Berangkatlah Bima ke tepi lautan. Tanpa ragu-ragu iapun melangkah ke tengah laut karena meyakini apa yang dicarinya ada di tengah samudra.
Ketika berada di tengah samudera itulah, Bima bertemu dengan Dewaruci yang bertubuh kecil. Sang Dewaruci menegur Bima,”Hai Bima, apa yang kau cari di tengah samudera ini?” Bima pun menjawab dengan sigap bahwa dirinya mencari tirta pawitra seperti diperintahkan gurunya, Begawan Durna. Dewaruci memperingatkan Bima bahwa apa yang dicarinya tidak ada di tengah samudra. Tetapi Bima tetap ngotot ingin mencari.
Singkat cerita, lantaran tekad Bima yang sangat besar itu, Dewaruci memerintahkan pada Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci yang kecil. Seketika Bima pun tertawa terbahak-bahak. “Bagaimana aku yang bertubuh besar bisa masuk ke dalam badanmu yang kecil? Itu jelas tidak mungkin,” kata Bima. Tetapi Dewaruci pun menjawab,”Hai Bima, besar mana tubuhmu dengan alam semesta ini?” Bima menjawab,” Jelas lebih besar alam semesta ini.” “Lah alam semesta yang katamu besar ini saja bisa masuk ke dalam tubuhku, mengapa kamu tidak bisa masuk? Kamu pasti bisa masuk,” tegas Dewaruci sembari memerintahkan Bima untuk masuk ke dalam badan Dewaruci melalui ‘telinga kiri’ sang Dewaruci.
Setelah masuk badan Dewaruci, Bima merasakan bahwa dirinya tidak melihat apa-apa. Yang ia lihat hanyalah kekosongan pandangan yang tak terhingga. Ke mana pun ia berjalan yang ia lihat hanya angkasa kosong, dan samudra yang luas yang tidak bertepi. Bima tidak tahu lagi mana arah barat dan timur, selatan dan utara. Semuanya serba membingungkan. Tiba-tiba ia melihat cahaya. Cahaya yang dilihat Bima beraneka macam warna. Beraneka macam warna cahaya itu dikalangan orang-orang yang lelaku disebut Pancamaya.
Bima melihat empat warna cahaya, yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih. Warna-warna itu melambangkan aneka nafsu yang merupakan penghalang cipta, rasa dan karsa untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH. Nafsu yang muncul dari warna hitam disebut aluamah, yang dari warna merah disebut amarah, dan yang muncul dari warna kuning disebut sufiah. Nafsu aluamah amarah, dan sufiah merupakan selubung atau penghalang untuk bertemu dengan GUSTI ALLAH.
Hanya yang putih yang nyata. Hati tenang tidak macam-macam, hanya satu yaitu menuju keutamaan dan keselamatan. Namun, yang putih ini hanya sendiri, tiada berteman sehingga selalu kalah. Jika bisa menguasai yang tiga hal, yaitu yang merah, hitam, dan kuning, manunggalnya hamba dengan Tuhan terjadi dengan sendirinya; sempurna hidupnya.
Setelah itu warna-warna yang dilihat Bima itupun hilang dan berganti dengan 8 warna. Siji wolu kang warni ‘sinar tunggal berwarna delapan’. Disebutkan bahwa sinar tunggal berwarna delapan adalah “Sesungguhnya Warna”, itulah Yang Tunggal. Seluruh warna juga berada pada Bima. Demikian pula seluruh isi bumi tergambar pada badan Bima. Dunia kecil, mikrokosmos, dan dunia besar, makrokosmos, isinya tidak ada bedanya. Jika warna-warna yang ada di dunia itu hilang, maka seluruh warna akan menjadi tidak ada, kosong, terkumpul kembali kepada warna yang sejati, Yang Tunggal.
Setelah itu, Bima melihat benda bagaikan boneka gading yang bersinar. Itu adalah Pramana, secara filosofis melambangkan Roh. Pramana ‘Roh’ kedudukannya dibatasi oleh jasad. Seusai semuanya, Bima tidak lagi merasakan apa-apa. Ia merasakan dirinya sudah tidak ada dan lenyap bersama dengan KeberadaanNYA. Bima tak merasakan khawatir, tidak ingin makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak merasakan kesulitan, hanya nikmat semata. Hal ini menyebabkan Bima betah berlama-lama di tempat dan kondisi tersebut .
Pencarian Bima Suci itupun akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Bukankah kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup dan hidup serasa diayomi dan dilindungi itu yang kita cari? Untuk itu, tidak ada salahnya jika kini Anda mulai menjadi seorang salik yang mencari suluk sejati seperti halnya laku Sunan Kalijaga yang disamarkan lewat kisah Bima Suci atau Dewaruci.
Nur Muhammad
Allah adalah suatu zat yang Mutlak yang mendahului segala sesuatu,
“ketika bumi dan langit belum ada, arasy dan kursyi belum ada, surga dan neraka belum ada, alam sekalian belum ada, apa yang pertama? Yang pertama ialah Zat, yang ada pada dirinya, tiada sifat dan tiada nama. Itulah yang pertama.
Selanjutnya dikatakan bahwa Zat Allah itu tak bisa diibaratkan, tak bisa diuraikan dengan ibarat, sebab tak ada ibarat yang bisa dipakai untuk mengurai keadaan Allah. Pada-Nya tiada atas atau bawah, tak ada dahulu atau kemudian, tak ada kanan atau kiri dan seterusnya. Allah adalah Zat yang Mutlak yang diibaratkan sebagai laut yang tiada berkesudahan. laut itu juga disebut sebagai Laut Batiniyyah, laut yang dalam dan laut yang mulia.
Hakekat sebenarnya dari Zat Allah itu tanpa pembeda-bedaan (la ta’ayyun). mengambarkan cara Zat Mutlak itu menjelma (tanazzul) seperti laut Penjelmaan atau pengaliran ke luar itu terjadi dalam beberapa pangkat atau martabat yaitu : (1) pangkat laut yang bergerak di dalamnya segala sesuatu tersimpan, (2) pangkat ombak,di dalamnya terjadi peninjauan Zat atas diri-Nya sendiri (3) pangkat asap dan awan, di dalamnya realitas yang terpendam berada sebagai satu kesatuan yang kemudian membagi-bagi diri untuk kemudian mengalir ke luar ke dalam dunia gejala /fenomena ini, (4) pangkat hujan, di dalamnya realitas yang terpendam itu keluar atas perintah ilahi “ fa yakun”, serta (5) pangkat sungai,yaitu gambaran dunia yang kongkrit ini. mengatakan dalam Zinatul –Muwahidin :
“Adapun ta’ayyun awwal itu ditamsilkan oleh ahli suluk seperti laut. Apabila laut timbul maka ombak namanya, yakni apabila alim memandang dirinya, maklum jadi pada dirinya; Apabila laut itu melepas jadi nyawa, asap namanya, yakni nyawa ruh idlafi kepada namanya, yakni ruh idhafi dengan a’yan tsabitah keluar dengan qaul (kun fa yakun) berbagai-bagai. Apabila hujan itu jatuh ke bumi, sungai namanya, yakni setelah ruh idhafi dengan isti’dad asli dengan a’yan tsabitah hilir di bawah kun fa yakun sungai namanya. Apabila sungai itu pulang ke laut,laut hukumnya. Tetapi laut itu maha suci tiada berlebih dan tiada berkurang . Jika keluar sekalian itu tiada ia kurang, jika masuk pun sekalian itu tiada ia kurang lebih, karena ia suci dari pada segala suci
Tahap-tahap pengaliran/ martabat itu diistilahkan dengan ahadiyah, wahdah, wahidiyah. Pangkat ahadiyah disebut juga pangkat la-ta’ayyun (tanpa pembeda-beda). Wahdah digambarkan sebagai gerak ombak. Pangkat ini disebutnya sebagai ta’ayyun awwal (pembedaan pertama). Pada pangkat ini terjadi empat pembedaan yaitu :pengetahuan (ilm), eksistensi (wujud), pengamatan (syuhud), dan cahaya (nur). Pada pembedaan pertama ini Zat Allah menjadi sadar akan diri-Nya sendiri serta memiliki pengetahuan tentang segala daya yang terpendam pada diri-Nya sebagai kesatuan. Di sini berarti bahwa Zat Allah tahu bahwa diri-Nya sendiri yang ada, tiada yang lain kecuali Dia. Ia tahu bahwa Ia memiliki daya untuk menjelmakan Diri-Nya.
Tingkatan wahdah ini disebut juga ”cahaya Muhammad” (Nur Muhammad) atau “realitas Muhammad”.
“Taayyun awaal wujud yang jama’i, pertama di sana nyata. Ruh idlafi, semesta alam sana lagi ijmali, itulah bernama hakikat Muhammad nabi.
Di tempat lain dikatakan :
“Wahdah itulah yang bernama “kamal zati”. Menyatakan sana ruh Muhammad an- nabi, tatkala itu bernama “ruh idlafi”(
“. . .’ilm yang melihat maklumat itu, hakikat Muhammad saw. Antara ‘alim dan ma’lum itulah asal cahaya Muhammad pertama-tama bercerai dari pada Zat.
Adapun pada suatu ibarat,itulah bernama “ruh idhafi”, yakni nyawa bercampur ;dan pada saat ibarat : “aqlul-kulli” namanya[yakni] perhimpunan segala budi. Dan pada suatu ibarat “nur” namanya, yakni cahaya; pada suatu ibarat ”kalamul-a’la” namanya, yakni kalam yang maha tinggi; dan pada suatu ibarat “lauch” namanya, yakni papan tempat menyurat; karena itulah maka sabda Rasullulah: ”awwalu maa khalaqa- Allaahu ta’aala ar-‘Ruah, awwalu maa khalaqa- Allaahu ta’aala an-Nuur, awwalu maa khalaqa Allaahu ta’aala al-‘aql; awwalu maa khalaqa Allaahu ta’aala al-qalam”
Di sini dijelaskan bagaimana kedudukan Nur Muhammad. Nur Muhammad adalah pengetahuan(‘ilm) yang melihat kepada ma’lum atau ide. Tempatnya berasal di antara yang mengenal dan yang dikenal (antara Zat yang Mutlak dan dunia). Oleh karena itu pada bagian lain disebutkan bahwa Nur Muhammad bersinar dari Zat Allah dan bahwa seluruh alam semesta dijadikan dari pada cahaya Muhammad. Sebaliknya Nur Muhammad dijadikan dari pada Zat Allah dan bahwa seandainya tiada cahaya Muhammad, maka alam semesta ini tidak akan ada
Pada pangkat wahdah ini peranannya dalam penjelmaan akali sangat penting. Sebagaimana diketahui bahwa penjelmaan ada dua yaitu penjelmaan yang terjadi dalam diri Zat yang Mutlak yang sifatnya akali dan penjelmaan yang terjadi di luar Zat yang Mutlak, sifatnya bisa dilihat. Hubungan keduanya itu sama dengan hubungan antara perwujudan dan gambar yang dipantulkan, atau sebagai lahir dan batin, sedemikian rupa sehingga Zat yang Mutlak itu tampak di dalam dunia gejala. Wahdah adalah cermin yang memantulkan gambar dari yang Mutlak atau bayang Yang Mutlak. Wachda adalah pangkat penilikan diri dari Zat yang Mutlak, yang dengannya Yang Mutlak mengenal diri-Nya dan kemudian seolah-olah Yang Mutlak bangkit dari lamunan-Nya. Wahdah adalah logos. Ia disebut juga “nur Muhammad” (Hadiwijono,tt:47).
Pangkat selanjutnya adalah wahidiyah yang disebut juga pembeda-bedaan kedua (ta’ayyun tsani). Pada pangkat ini realitas Muhammad pada ta’ayyun awwal menimbulkan manusia atau chaqiqat insan.
Ketiga pangkat penjelmaan, ahadiyah, wahdah, wahidiyah, semuanya terjadi dalam satu eksistensi Ilahi. Maka ketiganya disebut sebagai “Maratib-ilahi”.
Penjelmaan selanjutnya dikatakan:
“Apabila awan itu titik udara,hujan namanya; yakni ruh idhafi dengan a’yan tsabitah keluar dari qaul kun fa yakun, berbagai-bagai.
Di bagian lain menyebutkan adanya pembeda-bedaan ketiga (ta’ayyun tsalis) yang dinamai pula a’yan kharija (realitas yang keluar). Pengertian a’yan kharija menunjukkan bahwa penjelmaan ini dan penjelmaan berikutnya terjadi di luar Zat yang Mutlak, yaitu di dalam dunia.
Pada pangkat ini realitas yang terpendam yang di dalam pangkat wahidiyya berkumpul sebagai awan, sekarang mengalir ke luar sebagai roh. Oleh karena itu pangkat ini disebut juga alam arwah. Selanjutnya dari pangkat alam arwah ini menjelma keluar menjadi hujan, air dan sungai yang terkenal dengan pangkat-pangkat alam mitsal, alam ajsam, alam insan.
Pangkat alam mitsal, adalah pangkat penjelmaan di mana pembagian rohaniah adalah suatu kenyataan. Alam ini adalah alam cita/ ide. Alam ini merupakan perbatasan antara alam arwah dan alam segala tubuh. Alam ini bercirikan warna seperti alam impian. Alam Ajsam atau alam segala tubuh adalah dunia yang terdiri dari anasir yang halus yang tak bisa diamati oleh indera, serta tak binasa. Pangkat penjelmaan terakhir adalah alam insan, yaitu dunia yang nampak ini. Alam ini disebut juga alam manusia sempurna (alam insan al-kamil).
Ketujuh pangkat penjelmaan yang selanjutnya sering disebut teori martabat tujuh itu sebenarnya bisa dirangkumkan menjadi tiga pangkat, yaitu dari Zat yang Mutlak (Ahadiyah), pangkat penengah di mana realitas yang terpendam (a’yan tsabita) timbul, baik sebagai kesatuan maupun sudah terinci (wahdah dan wahidiyya), dan pangkat dunia gejala, yaitu realitas keluar (a’yan kharija). Demikianlah penjelasan tentang tanazzul (mengalir ke luar)-nya Zat yang Mutlak. Dia menempatkan Nur Muhammad sebagai penghubung/ perantara antara Zat yang Mutlak (Tuhan) dengan dunia. Dari Nur Muhammadlah Zat yang Mutlak bersinar. Dari Nur Muhammad pula asal segala kejadian alam ini. Pangkat penjelmaan terakhir adalah alam insan, yaitu dunia yang nampak ini. Alam ini disebut juga alam manusia sempurna (alam insan al-kamil).
Asalamualaikum mas.. bisakah saya silaturohmi dg anda? Dan seandainya anda mengizinkan. Ada hal yang perlu saya tanyakan
BalasHapusmaaf mau nambahin resensi aja nih kajian kitab nashoihul ibad orang yang sedikit makrifatnya dan orang yang belum mengenal dirinya sendiri karya syeh nawawi al jawi
assalamu 'alaikum .. mohon ijin kopas ya mas.
BalasHapusmatur nuwun.
ASSALAMU'ALAIKUM .. MAS
BalasHapusMOHON IZIN NYA UNTUK COPAS MAS.
MATUR NUWUN
Assalamualaikum.. Kangmas mohon izin copas.. maturnuwun..
BalasHapusAssalamualaikum ijin sedot ya gan
BalasHapusMutur nuwun,sangat bermanfaat bagi saya
BalasHapusIjin copas gan
BalasHapusMaturnuwon,,ijin saya simpan nggeh juragan
BalasHapusMaturnuwon,,ijin saya simpan nggeh juragan
BalasHapusMohon Ijin untuk di Copi, terimakasih sebelumnya
BalasHapusmanfaatnya besar sekali, semoga wali allah selalu diberikan tmpt yg terbaik dari allah swt. amin
BalasHapusAssalamualaikum.. mohon izin copas..manfaatnya besar sekali maturnuwun.
BalasHapusBermanfaat...
BalasHapusBermanfaat...
BalasHapusBermanfaat...
BalasHapusMohon izin copy
BalasHapusSgl sesuatu tetjadiats Kodrat iradatx mk hemat sy cukup minta izin kpd penulis dgn ucapan Qobiltu...dn mhn kepada Allah dg Ucapan Bismillaah....slm
BalasHapusIjin coph
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus