Kamis, 08 Mei 2014

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud

Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya". 
Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi -semoga Allah merahmatinya dalam kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata:"Barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia telah kafir"

Al Imam al Junayd al Baghdadi (W. 297 H) penghulu kaum sufi pada masanya berkata: "Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada) kecuali Allah". (dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Sya'rani dalam kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir).

Al Imam Ar-Rifa'i -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ada dua perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka
Beliau juga mengatakan: "Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran

"Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan
mengampuni orang yang Ia kehendaki".
Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifa'i tersebut dinukil oleh al Imam ar-Rafi'i asy-Syafi'i dalam kitabnya Sawad al 'Aynayn fi Manaqib Abi al 'Alamain.
Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifa'i (dalam Thariqah ar-Rifa'iyyah) pada abad XIII H, Syekh al 'Alim Abu al Huda ash- Shayyadi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya at-Thariqah ar- Rifa'iyyah berkata: "Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya)
menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib dijauhi".

Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-Shayyadi –semoga Allah merahmatinya- juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy:
"Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud (ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir)".
Al Imam Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi mengatakan: "Tidak akan meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Ma'lul)".
Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari para ulama. Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain. 

Al Hikam : Ma'rifat, Fana, dan Mahabbah

Al Hikam : Ma'rifat, Fana, dan Mahabbah

من عرف الحق شهده في كل شيئ, و من فني به غاب عن كل شيئ, ومن أحبه لم يؤثر عليه شيئا 


Artinya : " Barang siapa yang ma'rifat kepada Al Haq (Allah), maka ia akan menyaksikanNya disetiap sesuatu, barang siapa yang fana' denganNya maka ia akan merasa hilang dari setiap sesuatu dan barang siapa yang mahabbah (cinta) kepadaNya maka tidak akan mendahulukan sesuatu dariNya (Allah) ".

Setiap hamba yang beriman kepada Allah wajib baginya mempunyai tiga unsur sifat yang meliputi, ma'rifat, fana' dan mahabbah kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Karena, bagaimana mungkin seorang hamba dikatakan beriman kalau ia tidak tahu akan Allah? bagaimana bisa dikatakan beriman kalau ia masih bersama selain Allah (belum bisa fana' denganNya) dan bagaimana mungkin dikatakan beriman kalau semua cintanya hanya kepada selain Allah ? jika ketiga sifat tadi bisa dipraktekkan maka seorang mukmin akan naik kederajat muqorobah sesuai dengan kwalitas ketiga sifat tadi.

Kalau hikmah diatas kita tela'ah, dari dlohirnya memberikan pemahaman bahwa ketiga sifat tadi terkadang satu dengan yang lainnya bisa terpisah, dengan arti kadang seorang mukmin bisa menerapkan sifat ma'rifat yang sempurna tanpa disertai fana', terkadang bisa fana denganNya tanpa dengan ma'rifat yang sempurna dan juga terkadang timbul mahabbah yang tanpa ma'rifat dan fana.

Namun pemahaman ini bukanlah maksud yang termaktub dalam hikmah diatas karena diantara ketiga sifat tersebut mempunyai ketalazuman (saling berkaitan) yang tidak bisa lepas satu dengan lainnya

Dari ketiga sifat tersebut yang menjadi pokok dan yang paling penting adalah ma'rifat. ma'rifatullah tidaklah seperti halnya manusia tahu makhluq lainnya secara kasat mata dan ini sangatlah mustahil karena bagaimana bisa akal makhluq bisa menemukan Dzat al kholiq, oleh karena itu dikatakan :

كل ما خطر ببالك فالله بخلاق ذلك 

Artinya : " Apapun yang terlintas dihatimu, maka Allah adalah selainnya "

Ma'rifat kepada Allah bisa diap;ikasikan dengan mengetahui sifat-sifatNya, sifat Wujud, Esa, Qudroh, 'Ilmu, Hikmah, Rohmah, Lembut, Keagungan, memaksa, menciptakan menghidupkan, mematikan dan sifat-sifat lainnya.

Kemudian seorang hamba didalam ma'rifatnya kepada Allah dengan tahu akan sifat-sifatNya berbeda-beda kwalitasnya, ada yang sebatas tahu sifat-sifatNya dengan akalnya dan hafal nama-namaNya. Ada yang bisa ma'rifat sampai meresap pada perasaannya. Dan ada juga yang tahu atau ma'rifat akan sifat-sifatNya, sedang ia dalam keadaan disibukkan/mu'amalah dengan dunia namun hatinya masih teguh memegang prinsip dan menggantungkan semua urusan atas fadlol, sifat murah, dan qhodo qhodarnya Allah. Ia tetap memandang kehendak dan pengaturanNya serta hanya mengharapkan rahmat dan takut akan siksaanNya.

Dan sebagian yang lain ada yang lebih dari itu, ia makrifat/tahu akan sifat-sifatNya dan merasakannya sehingga tidak bisa melihat alam ini di setiap tingkahnya kecuali ia melihat jelasnya sifat-sifat Allah, ketika ia melihat sesuatu yang indah ia tidak melihat kecuali melihat sifat jamalnya Allah, ketika melihat ajaibnya pengaturan Allah pada alam ini ia tidak melihat kecuali hikmah dan pengaturanNya, jika ia dikagetkan dengan musibah dan mara bahaya yang menimpanya ia tidak melihat kecuali sifat tajalli dan sifat memaksaNya serta menganggap ujian itu adalah tarbiyah dari Allah kepada hambaNya.

Ia tidak menoleh, memandang dan tidak menemukan sesuatu didepannya kecuali jelasnya sifat ketuhanan Allah dalam ajaibnya makhluqNya, sekiranya dalil (sesuatu yang menunjukan) menjadi hancur dan hilang karena jelasnya madlulnya (yang ditunjukan), perasaan hadir dan ma'rifatnya sang arif kepada madlulnya dalil lebih dominan, bukan kepada dalil yang tugasnya sudah selesai didalam menunjukkan madlulnya.

قال سيدي الشيخ احمد زروق : والمعرفة تحقق العارف بما يقتضيه جلال معروفه حتى يصير ذلك التحقق كأنه صفة له لا يتحول ولا يتزحزح ولا تجري أحواله الا على مقتضاها 

Derajat/maqom makrifat inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Attho Illah :

من عرف الحق شهده في كل شيئ

Kemudian, termasuk suatu keharusan/kelaziman dari makrifat ini adalah tingkah/haliyah yang disebut Fana' Juz'i, karena tidak mungkin seorang ‘arif yang menyaksikan Allah didalam setiap sesuatu kecuali ketika wujudnya mahluk di depannya hancur atau rusak (menurut pandangan mata batin / basirohnya) serta ia masih yakin akan wujudnya makhluk dan masih muamalah/bisa berhubungan dengannya. Inilah yang disebut الفناء الجزئيّ

الفناء الجزئيّ هو أن ترى من المكونات أشباحها أن تغيب عنك ما قد يتوهم من فاعليتها 

Akan tetapi ada sebagian orang yang ‘arif billah, yang bisa atau mampu pindah dari haliyah fana' juz'i ke fana' kulli, maka ia merasa hilang dari makhluk atau alam ini secara keseluruhan, dan tidak bisa lagi mu'amalah dengannya. Barang kali Ibnu 'Attoillah menghendaki makna fana' dengan fana' kulli ini, yang mana beliau memberikan devinisi orang yang fana' dengan ‘ibarot :

و من فني به غاب عن كل شيئ 

Hanya saja haliyah fana' kulli ini sangatlah langka, karena orang yang sudah merasa hilang dengan ma'rifat billah dari setiap sesuatu, tidak bisa mu'amalah dengan manusia, ia tidak bisa bangkit untuk menuntun/membimbing manusia dan tidak bisa melakukan dakwah, tapi ia tetap dalam keadaan menyaksikan Allah dengan hatinya.

Akan tetapi, haliyah fana' kulli ini, kebanyakan hanyalah dirasakan oleh orang yang ‘arif disebagian haliyahnya saja. Kemudian ia akan kembali pada haliyah baqo' namun masih ma'rifat billah, sebagaimana ta'bir:

من عرف الحق شهده في كل شيئ 

Dan inilah yang dimaksud dengan fana' juz'i, haliyah yang sering dijalani oleh sahabat - sahabat Nabi dan orang-orang shiddiqiin atau robbaniyyiin setelah mereka.

Seorang hamba yang sudah masuk pada fana' kulli ia dikatakan seorang yang majdzub (مجذوب) yang tidak bisa lagi mu'amalah dengan makhluk lainnya karena ia sedang terpana musyahadah kepada Allah, bahkan haliyahnya kadang berlawanan arus dengan syari'at, namun pada haliyah ini ia termasuk dalam keadaan 'udzur.

Bagi orang lain yang sedang menyaksikan/melihatnya diharapkan tidak langsung berprasangka buruk (سوء الظن) dan berbuat tidak sopan (سوء الأدب) kepadanya serta tidak segera menghinanya karena ia dalam keadaan udzur.

Beliau Ibnu 'Athoillah rahimahullah dalam hikmah diatas tidaklah membicarakan tentang fana' kulli yang pada sampai tingkah majdzub, namun beliau sedang membahas tentang fana juz'i yang mana hamba yang sudah sampai haliyah ini masih bisa menjalankan syari'at dan mu'amalah dengan lainnya, inilah makna yang tersirat dalam qoulnya : و من فني به غاب عن كل شيئ 

Kemudian termasuk kelaziman dari ma'rifat adalah mahabbahnya sang 'arif kepada Allah ta'ala. Karena pokoknya iman tidak bisa istiqomah dan terwujud kecuali dengan mahabbah ini, cinta yang ditimbulkan dari ma'rifat tersebut.

Karena hamba yang 'arif tidak melihat alam ini kecuali ia hanya memandang sifat-sifatNya yang Maha Indah, agung dan ia mampu melihat sifat Ihsannya Allah.

Jika mahabbah ini terwujud dan bisa dilaksanakan, maka sang muhib tidak akan mendahulukan / mementingkan sesuatu kecuali hanya ridhonya orang yang dicintainya yang tidak lain hanyalah ridhonya Allah subhanahu wa ta'ala. Beliau rahimahullah berkata :

ومن أحبه لم يؤثر عليه شيئا Kesenangan-kesenangan nafsu dan tabi'at kemanusiaan menjadi lenyap dan hancur karena wujudnya Mahabbatullah ini.

Akan tetapi adanya tabi'at kemanusiaan, kekuatan hamba yang maha lemah dan terbatas, yang mana Allah menggambarkan dalam firmanNya :

وخلق االإنسان ضعيفا (النساء : ٢٨) 

Artinya : "Dan manusia dijadikan bersifat lemah" (al nisa' : 28), dan juga firmanNya yang berbunyi :

لقد خلقنا الإنسان فى كبد ( البلد : ٤) 

Artinya : "Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah" (al balad : 4).

apakah dengan keadaaan seorang hamba yang lemah tersebut mampu mewujudkan mahabbah ini ?

Oleh karena itu, seorang yang muhib lillah harus mampu berusaha keras melawan hawa nafsunya walaupun memang diciptakan dalam keadaan yang dhoif. Atas dasar mahabbah seharusnya terus memperlihatkan hina dan lemahnya dirinya dihadapan Allah, dan ketidak mampuannya dalam merealisasikan cintanya serta ia harus selalu bersabar dalam merealisasikan istiqomah dalam jalan 'ubudiyyah.

Jadi, seorang yang 'arif dan muhib lillah, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu 'Athoillah, tidak akan mendahulukan dan mementingkan sesuatu urusan kecuali hanya urusan Mahbubnya (Allah Subhanahu wa ta'ala). Wallahu a'lam.

BAI‘AH

BAI‘AH

KETAHUILAH bahwa makna Bai‘ah adalah berjanji dan taat setia kemudian berpegang teguh dan tetap melaksanakannya. Berbai‘ah merupakan amalan Para Sufi yang mulia Rahmatullah ‘alaihim dan i terus berjalan sehingga ke hari ini dan akan terus berjalan. Berbai‘ah juga merupakan Sunnah dan Tariqah Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in.
Bai‘ah adalah menetapkan secara sedar hubungan di antara Murshid dan Murid. Murid membenarkan Murshidnya memberikan bimbingan kepadanya dan Murshid menerima Murid sebagai Muridnya dan pengikutnya dalam mencapai peningkatan Ruhani menuju kepada maksud yang hakiki.
Perkataan Bai’ah berasal dari kata dasar Ba’a Bai’an Mabi’an yang berarti menjual dan perkataan ini biasa digunakan dalam istilah akad jual beli. Biasanya setelah menjual sesuatu, si penjual akan mengucapkan Bi’tu yang berarti “Saya menjual” dan pembeli pula mengucapkan Isytaraitu yang berarti “Saya membeli” dan ini mengisyaratkan kepada keredhaan kedua belah pihak.
Darikata dasar tersebut terbit pula kata Baya’a yang berarti membuat perjanjian atau biasa disebutkan sebagai Bay’at atau Bai’ah. Dalil Bai‘ah di dalam Al-Quran ada di dalam Surah Al-Fath ayat 10 yang mana Allah
“Sesungguhnya orang-orang yang berbai‘ah berjanji setia kepada kamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berbai‘ah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janjinya maka akibat buruk akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa yang menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada Nabi Muhammad, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat dari melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
Pada bulan Zulqaidah tahun keenam Hijriyyah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan Umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampainyadi Hudaibiyah, Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam berhenti dan mengutus Hadhrat ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu terlebih dahulu ke Makkah untuk menyampaikan maksud kedatangannya dan kaum Muslimin. Mere man bin ‘Affan Radhiyallahu‘Anhu, tetapi tidak juga datang kerana Hadhrat ‘Utsman binAffan Radhiyallahu ‘Anhu telah ditahan oleh kaum Musyrikin, kemudian tersiar lagi khabar bahawa Hadhrat‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu telah dibunuh, maka Nabi menganjurkan agar kaum Muslimin melakukan Bai'ah janji setia kepadanya. Mereka pun mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai.

Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 Surah Al-Fath, karana itulah disebut sebagai Bai'atur Ridhwan. Bai'atur Ridhwan ini menggetarkan kaum Musyrikin sehingga mereka telah melepaskan Hadhrat ‘Utsman dan mengirimkan utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Sulhul Hudaibiyah. Orang yang berjanji setia biasanya berjabat tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji denganAllah. Jadi seakan-akan Tangan Allah di atas tangan orangorang yang berjanji itu. Hendaklah dimengerti bahawa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.
Di dalam Surah Al-Fath ayat 18 Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman yang artinya :
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang beriman ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan ke atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.”

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orangorang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepada NabiMuhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam di bawah sebuah pohon dan Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan ke atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya. Yang dimaksudkan dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum Muslimin pada perang Khaibar.

Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum berbai‘ah dengan Hadhrat Baginda Nabi Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam banyak keadaan. Ada yang berbai‘ah untuk ikut berhijrah dan berjuang bersama-sama Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, ada yang berbai‘ah untuk sama-sama menegakkan Rukun Islam, ada yang berbai‘ah untuk tetap teguh berjuang tanpa undur ke belakang dalam medan pertempuran jihad menentang orang kafir, ada yang berbai‘ah untuk tetap berpegang dan memelihara Sunnah, menjauhi bida‘ah dan berbai‘ah untuk melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kaum wanita di kalangan Para Sahabat Radhiya‘anhum juga melakukan Bai‘ah dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Terdapat bermacam-macam peristiwa Bai‘ah di zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in. Menurut Hadhrat Shah Waliyullah Dehlawi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Al-Qaulul Jamil terdapat beberapa bahagian Bai‘ah yaitu:
1. Bai‘ah untuk taat setia kepada Khalifah.
2. Bai‘ah untuk menerima Agama Islam.
3. Bai‘ah untuk tetap teguh berpegang dengan Taqwa.
4. Bai‘ah untuk ikut berhijrah dan berjihad.
5. Bai‘ah untuk tetap setia menyertai Jihad.

Menurut Hadhrat Shah Abdullah Ghulam ‘Ali Rahmatullah ‘, terdapat 3 jenis Bai‘ah. Jenis yang pertama ialah apabila seseorang itu bertaubat pada tangan seorang yang suci dan berbai‘ah untuk meninggalkan perbuatan dosa, maka dosa-dosa besarnya juga akan turut terampun. Jika dia kembali melakukan dosa, maka dia perlu mengulangi Bai‘ah kali yang kedua yakni Bai‘ah ini boleh berlaku berulang-ulang kali.
Jenis Bai‘ah yang kedua ialah apabila seseorang itu berbai‘ah untuk mendapatkan Nisbat Khandaniyah yakni nisbat dengan sesuatu golongan atau kelompok bagi mendapatkan berit baik a yang menjadi kekhususan bagi golongan tersebut. Di samping itu dia mengharapkan Syafa’at yang tidak terbatas menerusi golongan tersebut. Misalannya, seseorang itu berbai‘ah dengan Silsilah Qadiriyah supaya mendapatkan perkhabaran baik Hadhrat Ghauts Tsaqilain Syeikh Abdul Qadir Jailani Rahmatullah‘alaih yang mana beliau telah berkata bahawa, “Para murid dalam Silsilahku tidak akan meninggal dunia dalam keadaan tidak bertaubat.” Bai‘ah seperti ini tidak perlu dilakukan berulang-ulang.
Jenis Bai‘ah yang ketiga ialah apabila seseorang itu berniat untuk mengambil faedah dan istifadah dari sesuatu Khandan atau golongan. Jika seseorang itu telah berikhtiar dan berusaha untuk melaksanakan Zikir dan Wazifah Khandan tersebut secara ikhlas namun tidak berupaya melaksanakannya maka untuk dirinya, dengan kebenaran yang menjadi kebiasaan ialah hendaklah merujuk kepada siapa orang suci dari kelompok atau golongan yang lain dan berbai‘ah dengan Murshid yang lain sama ada Murshid yang sebelum itu ridha atau tidak. Akan tetapi tidak boleh sekali-kali menafikan kesucian dan kesalihan Murshid yang terdahulu sebaliknya hendaklah beranggapan bahawa mungkin berkahnya tidak di sana.

Jika seseorang Murid mendapati Murshid mengabaikan pengamalan Syari’at dan usul-usul Tariqat dan dirinya terikat dengan ahli-ahli duniawi dan mencintai dunia, maka hendaklah dirinya mencari Murshid yang lain bagi menghasilkan limpahan Faidhz batin dan kecintaan serta Ma’rifat. Adapun, amalan mengulangi Bai‘ah memang ada berlaku di zaman Hadhrat Baginda Rasulullah Salllallhu ‘Alaihi Wasallam, begitu juga di zaman Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in, Para Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.

Menurut Hadhrat Shah Waliyullah Dehlawi Rahmatullah ‘alaih bahawa mengulangi Bai‘ah dengan Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam itu ada asasnya. Begitu juga melakukan Bai‘ah berulang-ulangdengan ahli-ahli Tasawwuf sama ada dengan dua orang Syeikh yang berlainan atau dua kali dengan Syeikh yang sama. Ini dilakukan karana wujudnya kecacatan pada orang yang menerima Bai‘ah itu yakni Syeikh tersebut, sama ada selepas kematiannya ataupun berpisah jauh serta putus hubungan secara zahir.
Adapun Bai‘ah yang dilakukan berulang-ulang kali tanpa sembarang sebab atau uzur makaboleh dianggap sebagai main-main dan ini boleh menghilangkan keberkatan dan menyebabkan hati Syeikh atau Guru Murshid itu berpaling dari menumpukan perhatian keruhanian terhadapnya. Wallahu A’lam.

Hadhrat Aqdas Maulana Muhammad ‘Abdullah Rahmatullah ‘alaih suatu ketika telah ditanyakan orang tentang apakah maksud Bai‘ah? Beliau lalu berkata,“Cobalah ebgkau lihat bahwa dengan adanyapengetahuan hukum-hukum Syariah dan urusan keagamaanpun orang tidak dapat berakhlak dan melakukan amalanSalih dengan baik, terdapat juga kebanyakan orang-orang Islam yang mengerjakan solat dan puasa tetapi masih tidak dapat menghindarkan diri dari kelakuan buruk seperti menipu dan berbohong serta mengumpat ghibat. Maksud utama Bai‘ah ialah supaya menghindarkan kelakuan yang buruk dan menggantikannya dengan melahirkan akhlak yang tinggi dan mulia, mendatangkan kemudahan untuk melakukan amalan Salih dan dengan sendirinya akan meninggalkan perbuatan maksiat.”

Hukum Bai‘ah adalah Sunat dan bukannya Wajib karena manusia melakukan Bai‘ah dengan Hadhrat Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam atas tujuan Wasilah untuk tujuan Qurbah menghampirkan diri mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan atau tidak melakukan Bai‘ah adalah berdosa dan tidak ada Imam Mujtahidin yang menyatakan berdosa jika meninggalkan Bai‘ah.

Adapun hikmah melakukan Bai‘ah adalah amat besar sekali karana Allah melaksanakan peraturanNya dengan meletakkan dan menentukan beberapa perbuatan, amalan dan kata-kata yang bersifat zahir sebagai lambang bagi membuktikan ketaatan dan bagi menyatakan perkaraperkara yang bersifat Ruhaniah, halus dan tersembunyi di jiwa insan. Sebagai contoh, membenarkan dan mempercayai dengan yakin akan kewujudan Allah Yang Maha Esa dan Hari Akhirat adalah merupakan perkara ghaib, halus dan bersifat Ruhaniah, Maka Islam meletakkan pengakuan lidah atau ikrar sebagai lambang membenarkan kewujudan Allah dan Hari Akhirat yang bersifat Mujarrad dan halus.

Begitulah juga di dalam urusan Mu’amalat perniagaan dan jual beli yang mana ianya berasaskan keredhaan penjual dan pembeli untuk melakukan urusan perniagaan dan keredhaan itu adalah bersifat halus dan tersembunyi maka amalan akad Ijab dan Qabul menjadi sebagai lambang bagi menzahirkankeredhaan antara penjual dan pembeli. Demikian juga dalam melaksanakan Taubat, keazaman untuk berhenti dari melakukan dosa adalah bersifat halus dan Mujarrad lagi tersembunyi, oleh itu telah ditentukan oleh Allah menerusi amalan Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum bahawa amalan Bai‘ah itu secara zahirnya adalah bagi melambangkan keazaman untuk bertaubat dan meninggalkan dosa-dosa. Upacara Bai‘ah ini seharusnya dilakukan secara rahsia pada tempat yang rahsia kerana ianya merupakan suatu rahsia perjalanan yang rahsia bagi setiap Salik.

Pada hakikatnya Bai’ah adalah merupakan suatu akad jual beli antara kita dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kerana Dia telah berfirman di dalam Surah At-Taubah ayat 111,
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan Syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar. Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan ciri-ciri serta sifat-sifat mereka yang telah melakukan jual beli dengan Allah pada Surah At-Taubah ayat 112 yang berarti:
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’aruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman itu.

Di dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan dengan lebih jelas akan ciri serta sifat orangorang beriman yang menyempurnakan akad jual beli antara dirinya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yakni mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah dan gembirakanlah orang-orang Mukmin itu. Maksudnya melawat untuk mencari ilmu pengetahuan atau berjihad.

Ada pula yang menafsirkannya dengan orang yang berpuasa yang sentiasa bertaubat dan melaksanakan amalan ibadah dengan baik dan sempurna, yang sering berziarah untuk tujuan Silaturrahim ataupun untuk bertemu dengan seseorang yang ‘Alim untuk tujuan mendapatkan ilmu ataupun menziarahi Para Auliya Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sebaik-baik ziarah adalah menziarahi Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinatul Munawwarah, yang mendirikan Solah dengan ruku’ dan sujud yang baik dan sempurna, yang menjalankan kewajiban Dakwah dan Tabligh dengan menyuruh manusia berbuat amalan kebaikan yang Ma’aruf dan berusaha mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang zalim dan mungkar serta senantiasa memelihara hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala sepertimana yang termaktub di dalam Al-Quran dan berpandukan Al-Hadits dan AsSunnah.
Dengan berusaha memelihara hukum-hukum Allah, mereka telah menafkahkan harta mereka dan menyerahkan diri mereka bagi menegakkan Kalimah Allah. Mereka berperang dengan Syaitan, Hawa, Nafsu dan Duniawi semata-mata kerana Allah sehingga mereka menghembuskan nafas yang terakhir. Maka mereka itu adalah golongan orang-orang beriman yang berada dalam tingkatan yang khusus dengan mendapat perkhabaran gembira dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka sebagai melengkapi syarat jual beli antara orang-orang beriman dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahwa Dia telah membeli diri mereka dan harta mereka dan Syurga adalah sebagai tukaran. Bai’ah merupakan akad bagi jual beli ini dan setelah kita berakad dengan akad Bai’ah ini, menjadi tanggungjawab kitalah untuk menyerahkan diri kita mentaati perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan RasulNya Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan membelanjakan harta kita menurut kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengikuti petunjuk RasulNya, Hadhrat Baginda Nabi Muhammad RasulullahSallallahu ‘Alaihi Wasallam

SYARAT-SYARAT BAI‘AH


SYARAT-SYARAT BAI‘AH

Diantara syarat-syarat yang penting yang dikemukakan oleh Hadhrat Shah Ad-Dehlawi Rahmatullah‘alaih di dalam kitabnya Al-Qaulul Jamil, bagi seseorang yang hendak melakukan Bai‘ah hendaklah dia membetulkan pegangan dan I’tiqadnya supaya sesuai dengan I’tiqad orang-orang Salih yang terdahulu seperti meyakini akan kewujudan dan keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada Tuhan melainkan Dia yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan seperti Maha Hidup, Maha Mengetahui,Maha Berkuasa, Maha Berkehendak dan Maha segalanya sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menggambarkan Sifat-SifatNya menerusi sumber-sumber yang Naqli dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan diteruskan oleh Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in.

Allah itu Maha Suci dari segala sifat kekurangan yang bisa hilang dan binasa seperti berjisim, mengambil ruang, bersifat baru, yang berubah-ubah, bertempat, berwarna
dan berbentuk. Maha Suci Allah dalam setiap hal dankeadaan. Apa yang terdapat di dalam Al-Quran tentang Tuhan bersemayam di atas ‘Arash, Tangan Allah dan sebagainya itu semuanya hendaklah kita beriman dan percaya sebagaimana yang telah dinyatakan oleh ayat-ayat itu pada prinsip zahirnya dan kita hendaklah menyerahkan uraian tentang ayat-ayat itu kepada Allah Subhanahu WaTa’ala.

Secara mutlaknya kita mestilah mengetahui bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu tidak bersifat seperti sifatsifat makhluk dan tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah itu MahaMendengar lagi Maha Melihat. Kita juga mesti mengakui bahawa sifat-sifat kesempurnaan itu tetap tsabit wujudnya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti yang telah ditegaskan olehNya di dalam Al-Quran. Ini merupakan syarat yang utama.

Syarat yang kedua, secara umumnya seseorang itu mestilah mengakui tentang wujudnya Kenabian Para Anbiya ‘Alaihimus Solatu Wassalam dan mengakui pula Kenabian Penghulu kita Hadhrat Sayyidina Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam secara khusus. Dia mestilah mematuhi dan mengikuti apa saja yang diperintah dan dilarang oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mestilah sentiasa mempercayai Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam setiap perkara yang disampaikannya sama ada tentang Sifat-Sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tentang perkara Akhirat, tentang Syurga dan Neraka, tentang Mahsyar, tentang Hari Hisab, tentang melihat Wajah Allah, tentang Qiyamat, tentang azab kubur dan lain-lain seperti yang telah disebut oleh hadits-hadits Nabawiyah yang sahih.

Syarat yang ketiga hendaklah dia sentiasa berhati-hati dan berusaha menjauhkan dirinya dari melakukan perkaraperkara yang dianggap dosa besar dan sentiasa menyesal apabila melakukan dosa-dosa kecil.

Syarat yang keempat hendaklah dia berhati-hati dalam mengamalkan rukun-rukun Islam. Dia hendaklah melakukan segala amalan ibadat ini dengan betul seperti
yang diperintahkan oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan memeliharasegala Sunnahnya serta menjaga segala peraturan dan adabyang berhubung dengan amalan ibadat.

Syarat kelima hendaklah dia memerhati dan memperbetulkan perkara-perkara yang berhubung dengan kehidupan seharian seperti makan, minum, pakaian, percakapan, rakan, saudara mara dan keluarga. Memperbetulkan urusan rumahtangga dan kekeluargaan, urusan mu’asyarat dan mu’amalat seperti jual beli, hutangpiutang dan sebagainya menuruti Sunnah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Syarat keenam hendaklah sentiasa mengamalkan zikir-zikir Masnun pada waktu pagi dan petang, menjaga akhlak, membaca Al-Quran, mengingati Akhirat, menghadiri majlis ilmu dan zikir dan banyak beribadat.

Syarat yangketujuh ialah menyempurnakan kesemua syarat-syarat tadi dan menumpukan perhatiannya kepada usaha batin iaitu menuju Kehadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Hadhrat Imam
Muslim, Imam Abu Daud dan Imam Nasai Rahimahumullah bahwa,Hadhrat ‘Auf Bin Malik Al-Ashja’i Radhiyallahu ‘Anhu telah berkata, “Kami berada bersama Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam seramai sembilan orang atau lapan orang atau tujuh orang.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Apakah kamu semua tidak berbai’ah dengan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam?” Maka kami pun menghulurkan tangan-tangan kami dan berkata, “Atas perkara apakah kami hendak berbai’ah denganmu, Ya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam?” Hadhrat Baginda Nabi Muhammad RasulullahSallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Atas perkara bahwa kamu hendaklah beribadat kepada Allah dan jangan mensyirikkan sesuatu juapun denganNya, dan bersolat lima waktu dan mendengar dan taat.”

Hadhrat Maulana Shah Ashraf ‘Ali At-Thanwi Rahmatullah ‘alaih menyatakan bahawa Para Sufi yang mulia mengamalkan Bai’at yang mana ianya dapat menghasilkan keazaman kuat untuk menyempurnakan hukum Syari’at yakni bersikap Istiqamah dalam amalan Zahir dan Batin serta berjanji untuk melaksanakannya. Bai’at ini dikenali sebagai Bai’at Tariqat.
Sebahagian ‘Ulama Zahir mengatakan bahawa amalan Bai’at ini adalah Bida’ah dan bukannya amalan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Menurut mereka, Bai’at hanya untuk orang Kafir yang baru memeluk Agama Islam dan untuk orang Islam ketika hendak berjihad. Walaubagaimanapun, dari Hadits yang dinyatakan di atas dapat kita fahami bahawa Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum yang berbai’ah itu bukanlah berbai’at untuk memeluk Agama Islam kerana mereka sudahpun beragama Islam. Dari kandungan Bai’at yang disabdakan oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam itu maka terzahirlah bahawa Bai’at yang dilakukan itu bukanlah untuk maksud Jihad, bahkan menerusi lafaznya dapat kita ketahui bahwa Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menegaskan tentang keazaman menyempurnakan amalan. Maka, Bai’at merupakan Sunnah dan ianya tidak dapat dinafikan. Sesungguhnya kepentingan Bai’at Tariqat bukanlah kepada masyarakat umum tetapi sebaliknya bagi mereka yang terdapat penyakit-penyakityang tersembunyi di dalam hati. Tanpa nasihat dan panduan dari seseorang Syeikh yang Haq lagi ‘Arif, seseorang itu tidak akan dapat memahami tentang penyakit Ruhaninya. Jikalau seseorang itu mengetahui penyakit Ruhaninya sekalipun, dia tetap tidak tahu apakah cara penyembuhannya dan jika dia tahu sekalipun, dia akan menghadapi kesukaran untuk mengobatinya karana halangan-halangan dari Nafsnya, karana itulah bimbingan seorang Murshid Kamil amat diperlukan.

Merindukan Wajah-Wajah Mulia – Kalam Abdullah bin Husein bin Thahir al Alawiy

Merindukan Wajah-Wajah Mulia – Kalam Abdullah bin Husein

 bin Thahir al Alawiy

Orang-orang yang dekat dengan Allah SWT adalah magnet yang bisa menarik siapa saja yang berada di sekitar mereka untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bagai berdaya listrik, mereka mampu mengisi ulang setiap iman yang cahayanya mulai redup akibat timbunan dosa-dosa. Beruntung sekali bila kita berkesempatan bertemu dengan orang-orang pilihan ini. Kita akan bisa memperbaharui energi iman kita dengan memandang wajahnya dan mendengarkan nasehat-nasehat yang mengalir dari lisannya.

Habib Abdullah bin Husein bin Thahir al-Alawiy mengingatkan kita akan pentingnya berdekatan dengan ulama-ulama yang saleh. Berikut nasehat beliau kepada kita yang disampaikan sekitar dua ratus tahun lampau.

Ketahuilah, sesuatu yang paling mujarab untuk mempercantik hati, memancing ampunan atas dosa-dosa, menepis kegundahan hati, dan mengundang segala kesenangan rohani, adalah menghadiri majelis para wali, shalihin, alim ulama berhati khusyuk yang mengamalkan pengetahuannya, serta para ahli ibadah yang memiliki sifat zuhud.
Merekalah manusia-manusia yang bila kita pandang akan mampu mengingatkan siapa saja kepada Allah SWT. Gerak-gerik mereka senantiasa membangkitkan gairah kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ucapan-ucapan mereka mampu menggiring kita kepada rahmat-Nya. Cahaya mereka menaungi siapa saja yang ada di dekat mereka. Akhlak mereka yang indah akan menulari akhlak-akhlak kita. Amal-amal mereka yang hebat membuat nafsu kita merasa kerdil, dan yang terutama, berkah mereka akan dapat kita raih baik di kehidupan ini maupun di alam yang akan datang.

Dekat dengan mereka adalah suatu fadhilah besar. Memandang mereka bernilai ibadah. Cinta kepada mereka akan membuahkan keberuntungan. Siapa yang duduk di dekat mereka bakal memetik cahaya kebahagiaan dan meneguk tetesan rasa cinta.

Kapankah diriku ‘kan memandang mereka

Aduhai, kapankah mata ini menatap mereka

Atau telinga ini mendengar kabar tentang mereka?
Barangsiapa dikaruniai kesempatan untuk bisa duduk bersama atau sekadar memandang mereka, maka seyogyanya ia meyakini bahwa kesempatan itu adalah karunia teragung dalam rentang usia hidupnya. Hendaklah ia memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin dan melazimkan diri untuk selalu berada di dekat mereka dengan perasaan cinta, hormat, husnuddzon, tatakrama yang baik lahir maupun bathin. Raihlah manfaat dan berkah mereka. Teladanilah mereka. Setiap insan kelak akan dikumpulkan bersama siapa yang ia cintai. Baik buruknya seseorang tergantung pada pergaulannya.

Merekalah penabur hidayah di tengah manusia, sungguh beruntung siapa yang memandang mereka

Dan duduk di dekat mereka walau sejenak di sepanjang usia hidupnya

Merekalah suatu kaum yang menjadi hasratku

Dan haluanku di antara hamba-hamba-Nya

Cinta kepada mereka telah bersemi di relung hatiku

Mereka penyandang makrifat, kebeningan kalbu dan budi pekerti

Ada baiknya kita bercermin kepada anjing Ashabul Kahfi yang dengan setia menemani para wali-Nya. Berkat selalu bersama mereka, anjing itu menjadi beruntung hingga disebut bersama mereka di dalam Al-Quran, dan kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di dalam surga.

Perhatikanlah kertas sampul yang menempel pada Al-Quran itu. Ia menjadi mulia dan tak boleh disentuh kecuali oleh mereka yang telah bersuci, berkat menempel pada Kalamullah. Begitulah gambaran dalam berkawan dan bergaul.

Baginda Nabi SAW bersabda, “Perumpamaan kawan yang saleh itu seperti penjual minyak misik. Kamu bakal diolesi minyak itu dengan cuma-cuma, atau kamu membelinya. Minimal kamu mencium aroma harum darinya.”

Syeikh Fadhal pernah berujar, “Barangsiapa melaksanakan shalat dengan bermakmum kepada orang yang telah mendapat ampunan, maka dosanya diampuni pula. Barangsiapa bersantap makan bersama seseorang yang telah mendapat ampunan, maka dosanya pun diampuni. Dan barangsiapa duduk bersama orang-orang saleh, maka gairahnya pada kebaikan akan bertambah.”

Junjungan kita, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi bertutur, “Kefahaman adalah cahaya yang menyala di dalam hati. Karunia itu hanya akan diperoleh oleh mereka yang kerap duduk bersama orang-orang saleh dan tekun menelaah kitab-kitab mereka.”

TATA KRAMA
Ketahuilah, banyak sekali manfaat yang akan dipetik oleh mereka yang senantiasa bergaul dengan kaum shalihin dengan sikap yang penuh adab, dalam tingkah laku fisik maupun hati. semua keutamaan terpendam di dalam tatakrama. Andai tatakrama tidak diindahkan, maka yang berlaku adalah apa yang pernah diucapkan seorang bijak, “Tidaklah penolakan (dari rahmat) itu kamu dapatkan bila kamu tidak ditakdirkan dekat dengan kaum shalihin. Tapi penolakan itu niscaya kamu dapatkan bila kamu ditakdirkan dekat dengan mereka namun kamu tidak bertatakrama kepada mereka.”

Andai kita tidak memiliki atau jarang berkesempatan berada di dekat orang-orang saleh, maka berhati-hatilah, jangan sampai kita terjerumus ke dalam pergaulan yang salah, yakni berkumpul dengan orang-orang yang lalai dan fasik. Kembalilah mengenang sejarah hidup kaum shalihin berikut kondisi dan amal-amal mereka. Bacalah kitab-kitab dan wasiat-wasiat mereka, juga kasidah-kasidah dan hikayat tentang perilaku zuhud, wara’, qana’ah, khumul (menjauhi ketenaran) yang mereka terapkan, serta ibadah dan akhlak mereka yang luar-biasa.

Dengan mengenang mereka, maka rahmat Allah SWT akan mengalir deras kepada kita. “Bila dirimu tak berkesempatan menjumpai mereka, maka di dalam kalam mereka terkandung sinar yang mampu menghidupkan hati dan sanubari,” begitulah kata sebagian orang bijak.

Sayangnya, yang begitu dominan di zaman kita sekarang ini adalah cerita tentang kekejian dan para pelakunya. Saat ini orang lebih asyik menyimak omong kosong, gosip murahan, adu domba, berita kriminal dan asusila. Mereka tak lagi tertarik pada kisah orang-orang saleh dan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Bahkan, mereka enggan untuk sekadar bertanya mengenai urusan agama mereka kepada ulama.

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul 

dan Wahdatul Wujud

Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya".
Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi -semoga Allah merahmatinya dalam kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata:"Barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia telah kafir".

Al Imam al Junayd al Baghdadi (W. 297 H) penghulu kaum sufi pada masanya berkata: "Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada) kecuali Allah". (dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Sya'rani dalam kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir).


Al Imam Ar-Rifa'i -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ada dua perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka
Beliau juga mengatakan: "Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran

"Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan
mengampuni orang yang Ia kehendaki".
Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifa'i tersebut dinukil oleh al Imam ar-Rafi'i asy-Syafi'i dalam kitabnya Sawad al 'Aynayn fi Manaqib Abi al 'Alamain.
Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifa'i (dalam Thariqah ar-Rifa'iyyah) pada abad XIII H, Syekh al 'Alim Abu al Huda ash- Shayyadi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya at-Thariqah ar- Rifa'iyyah berkata: "Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya)
menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib dijauhi".

Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-Shayyadi –semoga Allah merahmatinya- juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy:
"Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud (ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir)".
Al Imam Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi mengatakan: "Tidak akan meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Ma'lul)".
Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari para ulama. Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain. 

Tabaruk (1)

 Tabaruk (1)


Mengambil berkah / Tabaruk adalah salah satu yang menjadi pertannyaan belakangan ini.. bolehkah mengambil berkah dari bekas-bekas para solihin .. ?

Tabaruk adalah mengambil berkah, dari benda, baju, debu, air liur, airmata, keringat, atau apa saja dari tubuh shalihin atau benda yg disentuh oleh mereka.
Secara harfiah, tabarruk berarti mencari keberkahan dari sesuatu {atsr: benda-benda peninggalan) yang pernah dimiiiki atau disentuh oleh orang suci. Allah sendiri menganjurkan tabaruk dengan menyebutkan beberapa contoh tabaruk yang dilakukan para nabi-Nya. Misalnya, Dia menyebutkan tabaruk Nabi Yakub melalui benda peninggalan putranya, Yusuf a.s., dan tabaruk Bani Israil melalui benda-benda peninggalan keluarga Musa dan Harun a.s. Kita juga mendapati banyak dalil tentang tabaruk para sahabat dan tabiin melalui Nabi saw. dan orang-orang saleh.
Allah berfirman:
Pergilah kamu dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kcmbali; dan bawa-lah keluargamu scmuanya kepadaku." Talkala kafilah itu lelah keluar, ayah mereka berkata: "Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf .... Talkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, diletakkannya baju gamis itu ke wajah Yakub, lalu ia dapat melihat kembali.
Berkata Yakub: "Tidakkah kukatakan kepadamu bahwa aku mengetahui dan Allah apa yang tidak kamu kelahui. (Q.S. Yusuf [12): 93-96).

Dan, dalam surah al-Baqarah ayal 248, Dia berfirman:
Dan Nabi mereka mengalakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja adalah kembalinya labul kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dart Tuhanmu dan sisa pe-ninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh malaikal. Sesungguhnya pada yang demikian itu lerdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman"

Sementara dalam Islam, kita mengenal tradisi tabaruk melalui benda-benda peninggalan pribadi Nabi saw. Berikut ini beberapa riwayat tentang tabaruk dengan atsar Nabi saw.

I. Tabaruk dengan rambut dan kuku Nabi saw.
Mengenai hal ini kita menemukan banyak riwayat, misalnya yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
Utsman ibn Abdullah ibn Mawhab berkata, "keluargaku menyuruhku menemui Ummu Salamah membawa segelas air. Ummu Salamah mengeluarkan sebuah botol perak berisi beberapa helai rambut Nabi saw., yang ia pergunakan ketika ada seseorang yang berada di bawah pengaruh jahat atau sakit. Biasanya mereka mengirimkan segelas air yang kemudian ke dalamnya dicelupkan rambut ini {untuk diminum). Kami biasa melihat botol perak itu; aku melihat di dalamnya beberapa helai rambut pirang.
Masih menurut al-Bukhari, Anas berkata, "Ketika Nabi saw. mencukur rambutnya (setelah ibadah haji), Abu Thalhah menjadi orang pertama yang mengambil rambutnya."
Sementara dari riwayat Muslim, Anas berkata, "Nabi saw. melempar batu dalam jumrah, kemudian menyembelih hewan korban, lalu memerintahkan tukang cukur untuk mencukur
rambutnya pada bagian kanan terlebih dahulu, kemudian beliau mulai memberikan rambut itu kepada umat."

Anas berkata, "Thalhahlah yang membagi-bagi rambut itu"
Dan menurut Ahmad, Thalhah berkata, "Ketika Nabi saw. mencukur rambutnya di Mina, beliau memberiku rambut itu dari bagian kepala sebelah kanan seraya bersabda: 'Anas, bawalah rambut ini ke Ummu Sulaym (ibunda Anas). Ketika para sahabat melihat apa yang diberikan Nabi saw. kepadaku, mereka mulai berebut mengambil rambut itu dari bagian kiri kepala, dan setiap orang mendapatkan bagiannya."
Ibn al-Sakan meriwayatkan melalui Shafwan ibn Hubairah dari ayahnya, dari Tsabit al-Bunani bahwa Anas ibn Malik ber¬kata kepadanya (menjelang kematiannya), "Inilah sehelai rambut Rasulullah saw. Aku ingin kau meletakkannya di bawah lidahku (setelah aku mati)." Tsabit melanjutkan, "Aku meletakkannya di bawah lidahnya, dan ia dimakamkan bersama rambut itu."

Abu Bakar berkata, "Aku melihat Khalid (ibn al-Walid) meminta gombak Nabi saw. dan mendapatkannya. Ia pernah meletakkannya di dekat matanya dan kemudian menciumnya." Dikisahkan bahwa ia meletakkannya dalam qalansuwah (penutup kepala yang diikat serban)-nya dan setiap kali berperang ia selalu memenangkannya. Diriwayatkan oleh Ibn Hajar dalam karyanya, Ishabah: Ibn Abi Zaid al-Qairawani meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata, "Khalid ibn al-Walid memiliki sebuah qalansuwah yang di dalamnya disimpan beberapa helai rambut Nabi saw., dan itulah yang dipakainya dalam Perang Yarmuk."

Ibn Sirin (seorang tabiin) berkata, "Sehelai rambut Nabi saw. yang kumiliki jauh lebih berharga daripada perak dan emas dan dari dunia beserta segata isinya." (diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Baihaqi).

Dari Anas RA bahwa Ummu Sulaim membuka kotak kecilnya, lantas mengelap keringat Nabi SAW ke dalamnya, kemudian memerasnya ke dalam botol-botolnya.
Nabi SAW bertanya,."Apa yang kamu lakukan, hai Ummu Sulaim?"
Ummu Sulaim menjawab, "WahaiRasulullah, kami mengharapkan keberkahannya bagi anak-anak kecil kami." HR Muslim (2331)

Dinyataan dalam rlwayat bahwa ketika Anas menghadap kematian, dia berwasiat agar keringat itu dicampur dengan hanuth (jenis minyak wangi untuk jenazah). Dan begitu dia wafat minyak wangi itu pun diberi keringat beliau tersebut - HR Al-Bukhari (5992)

Anas mengatakan, "Aku melihat Rasulullah SAW dan tukang cukur rambut yang sedang mencukur beliau, sernentara sahabat-sahabat beliau mengelilingi beliau. Mereka tidak menghendaki ada sehelai rambut pun yang jatuh kecuali di tangan seseorang." - HR Muslim (2325).
Para sahabat RA senantiasa menjaga rambut Nabi SAW untuk keperluan tabaruk dan permohonan syafa'at.

Dari Abu Juhaifah RA, ia mengata¬kan, "Aku menemui Nabi SAW yang saat itu sedang berada di Kubah Merah yang terbuat dari kulit. Aku melihat Bilal mengambilkan air wudhu Nabi SAW semen tara orang-orang dengan sigap menadahi air wudhu Itu. Orang yang mendapatkan tadahan air wudhu membasuhkannya pada dirinya. Sedangkan orang yang tidak mendapatkan tadahan air wudhu mengambil dari basahan air wu-dhu yang didapatkan oleh sahabatnya. Maksudnya untuk mendapatkan keberkahan dan syafa'at."

Abu Musa Al-Asy'ari mengatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Juhaifah RA darinya, Nabi SAW meminta diambilkan secawan air lantas membasuh kedua tangan dan wajah beliau dengan air tersebut lalu menuangkannya. Kemudian beliau bersabda kepada Abu Musa RA dan Abu Juhaifah RA, "Minumlah kalian berdua darinya, dan tuangkanlah pada wajah dan leher kalian berdua." - HR Al-Bukhari (185). Ini adalah perintah dari Rasulullah SAW agar melakukan tabaruk pada bekas-bekas beliau.

Dari Ja'far bin Muhammad RA, ia mengatakan, "Saat mereka memandikan jenazah Nabi SAW setelah beliau wafat, ada air yang terhimpun di kelopak mata beliau. Ketika itu All RA mengisap nya sedikit demi sedikit." - HR Ahmad (1:267). Maksudnya, ia mengisap air itu lantaran keberkahan-keberkahan Nabi SAW.

Diriwayatkan, Muawiyah memiliki beberapa potongan kuku Nabi SAW. Ketika menghadapi kematian, ia berwasiat agar kuku-kuku itu ditumbuk sampai halus lantas diletakkan di mata dan mulutnya. Muawiyah berkata kepada para sahabat, "Lakukanlah itu kepadaku, dan biarkan-lah antara aku dan Allah Arhamurrahi-min. -Tahdzib aLAsma' wa al-Lughat, karya An-Nawawi (2: 407).

Diriwayatkan, Anas berwasiat agar di bawah lidahnya diberi sehelai rambut Rasulullah SAW. Wasiatnya ini pun di-lakukan - Al-lshabah ft Tamyiz ash-Shahabah, karya Ibnu Hajar (1:127).

Hikmah bertabaruk dengan bekas orang-orang shalih
Seorang bijak menyebutkan, hikmah tabaruk dengan bekas orang-orang shalih dan tempat-tempat mereka serta apa-apa yang berhubungan dengan me¬reka adalah lantaran tempat-tempat me¬reka berkaitan dengan pakaian mereka, pakaian mereka mencakup badan me¬reka, badan mereka mencakup hati me¬reka, dan hati mereka berada dalam ke-hadiran Tuhan mereka.

Jika Allah melimpahkan berbagai curahan anugerah ketuhanan ke dalam hati mereka, keberkahannya menjalar kepada apa-apa yang berkaitan dengan-nya dan kepada apa-apa yang berada di sekitamya. Seperti dinyatakan dalam firman Allah SWT, "(Samiri berkata) lalu aku mengambil segenggam dari bekas utusan itu." - QS Thaha (20): 96. Mak¬sudnya, dari bekas telapak kaki kuda utusan itu (malaikat) sebagaimana yang dipaparkan dalam sejumlah tafsir - Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, karya Al-Qurthubi (7:251), dan Tafsir Ibnu Katsir (3: 220).

Tabaruk adalah Tawasul
Tabaruk dengan bekas orang-orang shalih adalah hakikat tawasul dengan diri, dan ini dibolehkan, bahkan dianjurkan dalam syari'at. Sebab, ini berarti seorang hamba menggapai wasilah atau perantara kepada Allah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Tentu saja, dengan demikian, perantara itu sesuatu atau seseorang yang telah ditetapkan memiliki keutamaan di sisi-Nya.

Mengapa tabaruk dibolehkan, bahkan dianjurkan dalam syari'at?
Dinyatakan boleh dan dianjurkan, karena bertabaruknya mereka, yaitu para sahabat, pada seluruh aktivitas me¬reka itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun pernyataan bah-wa tabaruk ini merupakan perbuatan yang sia-sia tanpa makna, tidak pula berfaedah bagi mereka yang melaku-kannya, sungguh jauh kemungkinannya para sahabat melakukan perbuatan yang tiada arti sama sekali, dan jauh kemungkinannya Rasulullah SAW me-netapkan perbuatan yang tiada arti itu. Jadi, pasti mereka mempunyai tujuan yang benar dan maksud yang mereka kehendaki, yaitu menggapai berkah, syafa'at, dan rahmat dari Allah SWT lan¬taran keutamaan bekas-bekas yang mulia itu di sisi-Nya.
IY,