Kamis, 08 Mei 2014

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud

Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya". 
Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi -semoga Allah merahmatinya dalam kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata:"Barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia telah kafir"

Al Imam al Junayd al Baghdadi (W. 297 H) penghulu kaum sufi pada masanya berkata: "Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada) kecuali Allah". (dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Sya'rani dalam kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir).

Al Imam Ar-Rifa'i -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ada dua perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka
Beliau juga mengatakan: "Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran

"Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan
mengampuni orang yang Ia kehendaki".
Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifa'i tersebut dinukil oleh al Imam ar-Rafi'i asy-Syafi'i dalam kitabnya Sawad al 'Aynayn fi Manaqib Abi al 'Alamain.
Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifa'i (dalam Thariqah ar-Rifa'iyyah) pada abad XIII H, Syekh al 'Alim Abu al Huda ash- Shayyadi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya at-Thariqah ar- Rifa'iyyah berkata: "Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya)
menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib dijauhi".

Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-Shayyadi –semoga Allah merahmatinya- juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy:
"Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud (ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir)".
Al Imam Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi mengatakan: "Tidak akan meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Ma'lul)".
Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari para ulama. Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain. 

Al Hikam : Ma'rifat, Fana, dan Mahabbah

Al Hikam : Ma'rifat, Fana, dan Mahabbah

من عرف الحق شهده في كل شيئ, و من فني به غاب عن كل شيئ, ومن أحبه لم يؤثر عليه شيئا 


Artinya : " Barang siapa yang ma'rifat kepada Al Haq (Allah), maka ia akan menyaksikanNya disetiap sesuatu, barang siapa yang fana' denganNya maka ia akan merasa hilang dari setiap sesuatu dan barang siapa yang mahabbah (cinta) kepadaNya maka tidak akan mendahulukan sesuatu dariNya (Allah) ".

Setiap hamba yang beriman kepada Allah wajib baginya mempunyai tiga unsur sifat yang meliputi, ma'rifat, fana' dan mahabbah kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Karena, bagaimana mungkin seorang hamba dikatakan beriman kalau ia tidak tahu akan Allah? bagaimana bisa dikatakan beriman kalau ia masih bersama selain Allah (belum bisa fana' denganNya) dan bagaimana mungkin dikatakan beriman kalau semua cintanya hanya kepada selain Allah ? jika ketiga sifat tadi bisa dipraktekkan maka seorang mukmin akan naik kederajat muqorobah sesuai dengan kwalitas ketiga sifat tadi.

Kalau hikmah diatas kita tela'ah, dari dlohirnya memberikan pemahaman bahwa ketiga sifat tadi terkadang satu dengan yang lainnya bisa terpisah, dengan arti kadang seorang mukmin bisa menerapkan sifat ma'rifat yang sempurna tanpa disertai fana', terkadang bisa fana denganNya tanpa dengan ma'rifat yang sempurna dan juga terkadang timbul mahabbah yang tanpa ma'rifat dan fana.

Namun pemahaman ini bukanlah maksud yang termaktub dalam hikmah diatas karena diantara ketiga sifat tersebut mempunyai ketalazuman (saling berkaitan) yang tidak bisa lepas satu dengan lainnya

Dari ketiga sifat tersebut yang menjadi pokok dan yang paling penting adalah ma'rifat. ma'rifatullah tidaklah seperti halnya manusia tahu makhluq lainnya secara kasat mata dan ini sangatlah mustahil karena bagaimana bisa akal makhluq bisa menemukan Dzat al kholiq, oleh karena itu dikatakan :

كل ما خطر ببالك فالله بخلاق ذلك 

Artinya : " Apapun yang terlintas dihatimu, maka Allah adalah selainnya "

Ma'rifat kepada Allah bisa diap;ikasikan dengan mengetahui sifat-sifatNya, sifat Wujud, Esa, Qudroh, 'Ilmu, Hikmah, Rohmah, Lembut, Keagungan, memaksa, menciptakan menghidupkan, mematikan dan sifat-sifat lainnya.

Kemudian seorang hamba didalam ma'rifatnya kepada Allah dengan tahu akan sifat-sifatNya berbeda-beda kwalitasnya, ada yang sebatas tahu sifat-sifatNya dengan akalnya dan hafal nama-namaNya. Ada yang bisa ma'rifat sampai meresap pada perasaannya. Dan ada juga yang tahu atau ma'rifat akan sifat-sifatNya, sedang ia dalam keadaan disibukkan/mu'amalah dengan dunia namun hatinya masih teguh memegang prinsip dan menggantungkan semua urusan atas fadlol, sifat murah, dan qhodo qhodarnya Allah. Ia tetap memandang kehendak dan pengaturanNya serta hanya mengharapkan rahmat dan takut akan siksaanNya.

Dan sebagian yang lain ada yang lebih dari itu, ia makrifat/tahu akan sifat-sifatNya dan merasakannya sehingga tidak bisa melihat alam ini di setiap tingkahnya kecuali ia melihat jelasnya sifat-sifat Allah, ketika ia melihat sesuatu yang indah ia tidak melihat kecuali melihat sifat jamalnya Allah, ketika melihat ajaibnya pengaturan Allah pada alam ini ia tidak melihat kecuali hikmah dan pengaturanNya, jika ia dikagetkan dengan musibah dan mara bahaya yang menimpanya ia tidak melihat kecuali sifat tajalli dan sifat memaksaNya serta menganggap ujian itu adalah tarbiyah dari Allah kepada hambaNya.

Ia tidak menoleh, memandang dan tidak menemukan sesuatu didepannya kecuali jelasnya sifat ketuhanan Allah dalam ajaibnya makhluqNya, sekiranya dalil (sesuatu yang menunjukan) menjadi hancur dan hilang karena jelasnya madlulnya (yang ditunjukan), perasaan hadir dan ma'rifatnya sang arif kepada madlulnya dalil lebih dominan, bukan kepada dalil yang tugasnya sudah selesai didalam menunjukkan madlulnya.

قال سيدي الشيخ احمد زروق : والمعرفة تحقق العارف بما يقتضيه جلال معروفه حتى يصير ذلك التحقق كأنه صفة له لا يتحول ولا يتزحزح ولا تجري أحواله الا على مقتضاها 

Derajat/maqom makrifat inilah yang dimaksudkan oleh Ibnu ‘Attho Illah :

من عرف الحق شهده في كل شيئ

Kemudian, termasuk suatu keharusan/kelaziman dari makrifat ini adalah tingkah/haliyah yang disebut Fana' Juz'i, karena tidak mungkin seorang ‘arif yang menyaksikan Allah didalam setiap sesuatu kecuali ketika wujudnya mahluk di depannya hancur atau rusak (menurut pandangan mata batin / basirohnya) serta ia masih yakin akan wujudnya makhluk dan masih muamalah/bisa berhubungan dengannya. Inilah yang disebut الفناء الجزئيّ

الفناء الجزئيّ هو أن ترى من المكونات أشباحها أن تغيب عنك ما قد يتوهم من فاعليتها 

Akan tetapi ada sebagian orang yang ‘arif billah, yang bisa atau mampu pindah dari haliyah fana' juz'i ke fana' kulli, maka ia merasa hilang dari makhluk atau alam ini secara keseluruhan, dan tidak bisa lagi mu'amalah dengannya. Barang kali Ibnu 'Attoillah menghendaki makna fana' dengan fana' kulli ini, yang mana beliau memberikan devinisi orang yang fana' dengan ‘ibarot :

و من فني به غاب عن كل شيئ 

Hanya saja haliyah fana' kulli ini sangatlah langka, karena orang yang sudah merasa hilang dengan ma'rifat billah dari setiap sesuatu, tidak bisa mu'amalah dengan manusia, ia tidak bisa bangkit untuk menuntun/membimbing manusia dan tidak bisa melakukan dakwah, tapi ia tetap dalam keadaan menyaksikan Allah dengan hatinya.

Akan tetapi, haliyah fana' kulli ini, kebanyakan hanyalah dirasakan oleh orang yang ‘arif disebagian haliyahnya saja. Kemudian ia akan kembali pada haliyah baqo' namun masih ma'rifat billah, sebagaimana ta'bir:

من عرف الحق شهده في كل شيئ 

Dan inilah yang dimaksud dengan fana' juz'i, haliyah yang sering dijalani oleh sahabat - sahabat Nabi dan orang-orang shiddiqiin atau robbaniyyiin setelah mereka.

Seorang hamba yang sudah masuk pada fana' kulli ia dikatakan seorang yang majdzub (مجذوب) yang tidak bisa lagi mu'amalah dengan makhluk lainnya karena ia sedang terpana musyahadah kepada Allah, bahkan haliyahnya kadang berlawanan arus dengan syari'at, namun pada haliyah ini ia termasuk dalam keadaan 'udzur.

Bagi orang lain yang sedang menyaksikan/melihatnya diharapkan tidak langsung berprasangka buruk (سوء الظن) dan berbuat tidak sopan (سوء الأدب) kepadanya serta tidak segera menghinanya karena ia dalam keadaan udzur.

Beliau Ibnu 'Athoillah rahimahullah dalam hikmah diatas tidaklah membicarakan tentang fana' kulli yang pada sampai tingkah majdzub, namun beliau sedang membahas tentang fana juz'i yang mana hamba yang sudah sampai haliyah ini masih bisa menjalankan syari'at dan mu'amalah dengan lainnya, inilah makna yang tersirat dalam qoulnya : و من فني به غاب عن كل شيئ 

Kemudian termasuk kelaziman dari ma'rifat adalah mahabbahnya sang 'arif kepada Allah ta'ala. Karena pokoknya iman tidak bisa istiqomah dan terwujud kecuali dengan mahabbah ini, cinta yang ditimbulkan dari ma'rifat tersebut.

Karena hamba yang 'arif tidak melihat alam ini kecuali ia hanya memandang sifat-sifatNya yang Maha Indah, agung dan ia mampu melihat sifat Ihsannya Allah.

Jika mahabbah ini terwujud dan bisa dilaksanakan, maka sang muhib tidak akan mendahulukan / mementingkan sesuatu kecuali hanya ridhonya orang yang dicintainya yang tidak lain hanyalah ridhonya Allah subhanahu wa ta'ala. Beliau rahimahullah berkata :

ومن أحبه لم يؤثر عليه شيئا Kesenangan-kesenangan nafsu dan tabi'at kemanusiaan menjadi lenyap dan hancur karena wujudnya Mahabbatullah ini.

Akan tetapi adanya tabi'at kemanusiaan, kekuatan hamba yang maha lemah dan terbatas, yang mana Allah menggambarkan dalam firmanNya :

وخلق االإنسان ضعيفا (النساء : ٢٨) 

Artinya : "Dan manusia dijadikan bersifat lemah" (al nisa' : 28), dan juga firmanNya yang berbunyi :

لقد خلقنا الإنسان فى كبد ( البلد : ٤) 

Artinya : "Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia berada dalam susah payah" (al balad : 4).

apakah dengan keadaaan seorang hamba yang lemah tersebut mampu mewujudkan mahabbah ini ?

Oleh karena itu, seorang yang muhib lillah harus mampu berusaha keras melawan hawa nafsunya walaupun memang diciptakan dalam keadaan yang dhoif. Atas dasar mahabbah seharusnya terus memperlihatkan hina dan lemahnya dirinya dihadapan Allah, dan ketidak mampuannya dalam merealisasikan cintanya serta ia harus selalu bersabar dalam merealisasikan istiqomah dalam jalan 'ubudiyyah.

Jadi, seorang yang 'arif dan muhib lillah, sebagaimana digambarkan oleh Ibnu 'Athoillah, tidak akan mendahulukan dan mementingkan sesuatu urusan kecuali hanya urusan Mahbubnya (Allah Subhanahu wa ta'ala). Wallahu a'lam.

BAI‘AH

BAI‘AH

KETAHUILAH bahwa makna Bai‘ah adalah berjanji dan taat setia kemudian berpegang teguh dan tetap melaksanakannya. Berbai‘ah merupakan amalan Para Sufi yang mulia Rahmatullah ‘alaihim dan i terus berjalan sehingga ke hari ini dan akan terus berjalan. Berbai‘ah juga merupakan Sunnah dan Tariqah Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in.
Bai‘ah adalah menetapkan secara sedar hubungan di antara Murshid dan Murid. Murid membenarkan Murshidnya memberikan bimbingan kepadanya dan Murshid menerima Murid sebagai Muridnya dan pengikutnya dalam mencapai peningkatan Ruhani menuju kepada maksud yang hakiki.
Perkataan Bai’ah berasal dari kata dasar Ba’a Bai’an Mabi’an yang berarti menjual dan perkataan ini biasa digunakan dalam istilah akad jual beli. Biasanya setelah menjual sesuatu, si penjual akan mengucapkan Bi’tu yang berarti “Saya menjual” dan pembeli pula mengucapkan Isytaraitu yang berarti “Saya membeli” dan ini mengisyaratkan kepada keredhaan kedua belah pihak.
Darikata dasar tersebut terbit pula kata Baya’a yang berarti membuat perjanjian atau biasa disebutkan sebagai Bay’at atau Bai’ah. Dalil Bai‘ah di dalam Al-Quran ada di dalam Surah Al-Fath ayat 10 yang mana Allah
“Sesungguhnya orang-orang yang berbai‘ah berjanji setia kepada kamu (Muhammad), sesungguhnya mereka berbai‘ah berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Maka barangsiapa yang melanggar janjinya maka akibat buruk akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa yang menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”

Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada Nabi Muhammad, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat dari melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.
Pada bulan Zulqaidah tahun keenam Hijriyyah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam beserta pengikut-pengikutnya hendak mengunjungi Makkah untuk melakukan Umrah dan melihat keluarga-keluarga mereka yang telah lama ditinggalkan. Sesampainyadi Hudaibiyah, Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam berhenti dan mengutus Hadhrat ‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu terlebih dahulu ke Makkah untuk menyampaikan maksud kedatangannya dan kaum Muslimin. Mere man bin ‘Affan Radhiyallahu‘Anhu, tetapi tidak juga datang kerana Hadhrat ‘Utsman binAffan Radhiyallahu ‘Anhu telah ditahan oleh kaum Musyrikin, kemudian tersiar lagi khabar bahawa Hadhrat‘Utsman bin ‘Affan Radhiyallahu ‘Anhu telah dibunuh, maka Nabi menganjurkan agar kaum Muslimin melakukan Bai'ah janji setia kepadanya. Mereka pun mengadakan janji setia kepada Nabi dan mereka akan memerangi kaum Quraisy bersama Nabi sampai kemenangan tercapai.

Perjanjian setia ini telah diridhai Allah sebagaimana tersebut dalam ayat 18 Surah Al-Fath, karana itulah disebut sebagai Bai'atur Ridhwan. Bai'atur Ridhwan ini menggetarkan kaum Musyrikin sehingga mereka telah melepaskan Hadhrat ‘Utsman dan mengirimkan utusan untuk mengadakan perjanjian damai dengan kaum Muslimin. Perjanjian ini terkenal dengan Sulhul Hudaibiyah. Orang yang berjanji setia biasanya berjabat tangan. Caranya berjanji setia dengan Rasul ialah meletakkan tangan Rasul di atas tangan orang yang berjanji itu. Jadi maksud tangan Allah di atas mereka ialah untuk menyatakan bahwa berjanji dengan Rasulullah sama dengan berjanji denganAllah. Jadi seakan-akan Tangan Allah di atas tangan orangorang yang berjanji itu. Hendaklah dimengerti bahawa Allah Maha suci dari segala sifat-sifat yang menyerupai makhluknya.
Di dalam Surah Al-Fath ayat 18 Allah Subhanahu WaTa’ala berfirman yang artinya :
“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang beriman ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan ke atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat.”

Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orangorang Mukmin ketika mereka berjanji setia kepada NabiMuhammad Sallallahu 'Alaihi Wasallam di bawah sebuah pohon dan Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan ke atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya. Yang dimaksudkan dengan kemenangan yang dekat ialah kemenangan kaum Muslimin pada perang Khaibar.

Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum berbai‘ah dengan Hadhrat Baginda Nabi Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam banyak keadaan. Ada yang berbai‘ah untuk ikut berhijrah dan berjuang bersama-sama Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam, ada yang berbai‘ah untuk sama-sama menegakkan Rukun Islam, ada yang berbai‘ah untuk tetap teguh berjuang tanpa undur ke belakang dalam medan pertempuran jihad menentang orang kafir, ada yang berbai‘ah untuk tetap berpegang dan memelihara Sunnah, menjauhi bida‘ah dan berbai‘ah untuk melakukan ketaatan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kaum wanita di kalangan Para Sahabat Radhiya‘anhum juga melakukan Bai‘ah dengan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Terdapat bermacam-macam peristiwa Bai‘ah di zaman Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in. Menurut Hadhrat Shah Waliyullah Dehlawi Rahmatullah ‘alaih di dalam kitabnya Al-Qaulul Jamil terdapat beberapa bahagian Bai‘ah yaitu:
1. Bai‘ah untuk taat setia kepada Khalifah.
2. Bai‘ah untuk menerima Agama Islam.
3. Bai‘ah untuk tetap teguh berpegang dengan Taqwa.
4. Bai‘ah untuk ikut berhijrah dan berjihad.
5. Bai‘ah untuk tetap setia menyertai Jihad.

Menurut Hadhrat Shah Abdullah Ghulam ‘Ali Rahmatullah ‘, terdapat 3 jenis Bai‘ah. Jenis yang pertama ialah apabila seseorang itu bertaubat pada tangan seorang yang suci dan berbai‘ah untuk meninggalkan perbuatan dosa, maka dosa-dosa besarnya juga akan turut terampun. Jika dia kembali melakukan dosa, maka dia perlu mengulangi Bai‘ah kali yang kedua yakni Bai‘ah ini boleh berlaku berulang-ulang kali.
Jenis Bai‘ah yang kedua ialah apabila seseorang itu berbai‘ah untuk mendapatkan Nisbat Khandaniyah yakni nisbat dengan sesuatu golongan atau kelompok bagi mendapatkan berit baik a yang menjadi kekhususan bagi golongan tersebut. Di samping itu dia mengharapkan Syafa’at yang tidak terbatas menerusi golongan tersebut. Misalannya, seseorang itu berbai‘ah dengan Silsilah Qadiriyah supaya mendapatkan perkhabaran baik Hadhrat Ghauts Tsaqilain Syeikh Abdul Qadir Jailani Rahmatullah‘alaih yang mana beliau telah berkata bahawa, “Para murid dalam Silsilahku tidak akan meninggal dunia dalam keadaan tidak bertaubat.” Bai‘ah seperti ini tidak perlu dilakukan berulang-ulang.
Jenis Bai‘ah yang ketiga ialah apabila seseorang itu berniat untuk mengambil faedah dan istifadah dari sesuatu Khandan atau golongan. Jika seseorang itu telah berikhtiar dan berusaha untuk melaksanakan Zikir dan Wazifah Khandan tersebut secara ikhlas namun tidak berupaya melaksanakannya maka untuk dirinya, dengan kebenaran yang menjadi kebiasaan ialah hendaklah merujuk kepada siapa orang suci dari kelompok atau golongan yang lain dan berbai‘ah dengan Murshid yang lain sama ada Murshid yang sebelum itu ridha atau tidak. Akan tetapi tidak boleh sekali-kali menafikan kesucian dan kesalihan Murshid yang terdahulu sebaliknya hendaklah beranggapan bahawa mungkin berkahnya tidak di sana.

Jika seseorang Murid mendapati Murshid mengabaikan pengamalan Syari’at dan usul-usul Tariqat dan dirinya terikat dengan ahli-ahli duniawi dan mencintai dunia, maka hendaklah dirinya mencari Murshid yang lain bagi menghasilkan limpahan Faidhz batin dan kecintaan serta Ma’rifat. Adapun, amalan mengulangi Bai‘ah memang ada berlaku di zaman Hadhrat Baginda Rasulullah Salllallhu ‘Alaihi Wasallam, begitu juga di zaman Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in, Para Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.

Menurut Hadhrat Shah Waliyullah Dehlawi Rahmatullah ‘alaih bahawa mengulangi Bai‘ah dengan Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam itu ada asasnya. Begitu juga melakukan Bai‘ah berulang-ulangdengan ahli-ahli Tasawwuf sama ada dengan dua orang Syeikh yang berlainan atau dua kali dengan Syeikh yang sama. Ini dilakukan karana wujudnya kecacatan pada orang yang menerima Bai‘ah itu yakni Syeikh tersebut, sama ada selepas kematiannya ataupun berpisah jauh serta putus hubungan secara zahir.
Adapun Bai‘ah yang dilakukan berulang-ulang kali tanpa sembarang sebab atau uzur makaboleh dianggap sebagai main-main dan ini boleh menghilangkan keberkatan dan menyebabkan hati Syeikh atau Guru Murshid itu berpaling dari menumpukan perhatian keruhanian terhadapnya. Wallahu A’lam.

Hadhrat Aqdas Maulana Muhammad ‘Abdullah Rahmatullah ‘alaih suatu ketika telah ditanyakan orang tentang apakah maksud Bai‘ah? Beliau lalu berkata,“Cobalah ebgkau lihat bahwa dengan adanyapengetahuan hukum-hukum Syariah dan urusan keagamaanpun orang tidak dapat berakhlak dan melakukan amalanSalih dengan baik, terdapat juga kebanyakan orang-orang Islam yang mengerjakan solat dan puasa tetapi masih tidak dapat menghindarkan diri dari kelakuan buruk seperti menipu dan berbohong serta mengumpat ghibat. Maksud utama Bai‘ah ialah supaya menghindarkan kelakuan yang buruk dan menggantikannya dengan melahirkan akhlak yang tinggi dan mulia, mendatangkan kemudahan untuk melakukan amalan Salih dan dengan sendirinya akan meninggalkan perbuatan maksiat.”

Hukum Bai‘ah adalah Sunat dan bukannya Wajib karena manusia melakukan Bai‘ah dengan Hadhrat Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam atas tujuan Wasilah untuk tujuan Qurbah menghampirkan diri mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa meninggalkan atau tidak melakukan Bai‘ah adalah berdosa dan tidak ada Imam Mujtahidin yang menyatakan berdosa jika meninggalkan Bai‘ah.

Adapun hikmah melakukan Bai‘ah adalah amat besar sekali karana Allah melaksanakan peraturanNya dengan meletakkan dan menentukan beberapa perbuatan, amalan dan kata-kata yang bersifat zahir sebagai lambang bagi membuktikan ketaatan dan bagi menyatakan perkaraperkara yang bersifat Ruhaniah, halus dan tersembunyi di jiwa insan. Sebagai contoh, membenarkan dan mempercayai dengan yakin akan kewujudan Allah Yang Maha Esa dan Hari Akhirat adalah merupakan perkara ghaib, halus dan bersifat Ruhaniah, Maka Islam meletakkan pengakuan lidah atau ikrar sebagai lambang membenarkan kewujudan Allah dan Hari Akhirat yang bersifat Mujarrad dan halus.

Begitulah juga di dalam urusan Mu’amalat perniagaan dan jual beli yang mana ianya berasaskan keredhaan penjual dan pembeli untuk melakukan urusan perniagaan dan keredhaan itu adalah bersifat halus dan tersembunyi maka amalan akad Ijab dan Qabul menjadi sebagai lambang bagi menzahirkankeredhaan antara penjual dan pembeli. Demikian juga dalam melaksanakan Taubat, keazaman untuk berhenti dari melakukan dosa adalah bersifat halus dan Mujarrad lagi tersembunyi, oleh itu telah ditentukan oleh Allah menerusi amalan Hadhrat Baginda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum bahawa amalan Bai‘ah itu secara zahirnya adalah bagi melambangkan keazaman untuk bertaubat dan meninggalkan dosa-dosa. Upacara Bai‘ah ini seharusnya dilakukan secara rahsia pada tempat yang rahsia kerana ianya merupakan suatu rahsia perjalanan yang rahsia bagi setiap Salik.

Pada hakikatnya Bai’ah adalah merupakan suatu akad jual beli antara kita dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kerana Dia telah berfirman di dalam Surah At-Taubah ayat 111,
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang yang beriman, diri dan harta mereka dengan memberikan Syurga untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. Itu telah menjadi janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al-Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu dan itulah kemenangan yang besar. Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan ciri-ciri serta sifat-sifat mereka yang telah melakukan jual beli dengan Allah pada Surah At-Taubah ayat 112 yang berarti:
Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji Allah, yang melawat, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’aruf dan mencegah berbuat mungkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. Dan gembirakanlah orang-orang yang beriman itu.

Di dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan dengan lebih jelas akan ciri serta sifat orangorang beriman yang menyempurnakan akad jual beli antara dirinya dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Yakni mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat Munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah dan gembirakanlah orang-orang Mukmin itu. Maksudnya melawat untuk mencari ilmu pengetahuan atau berjihad.

Ada pula yang menafsirkannya dengan orang yang berpuasa yang sentiasa bertaubat dan melaksanakan amalan ibadah dengan baik dan sempurna, yang sering berziarah untuk tujuan Silaturrahim ataupun untuk bertemu dengan seseorang yang ‘Alim untuk tujuan mendapatkan ilmu ataupun menziarahi Para Auliya Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan sebaik-baik ziarah adalah menziarahi Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam di Madinatul Munawwarah, yang mendirikan Solah dengan ruku’ dan sujud yang baik dan sempurna, yang menjalankan kewajiban Dakwah dan Tabligh dengan menyuruh manusia berbuat amalan kebaikan yang Ma’aruf dan berusaha mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang zalim dan mungkar serta senantiasa memelihara hukum-hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala sepertimana yang termaktub di dalam Al-Quran dan berpandukan Al-Hadits dan AsSunnah.
Dengan berusaha memelihara hukum-hukum Allah, mereka telah menafkahkan harta mereka dan menyerahkan diri mereka bagi menegakkan Kalimah Allah. Mereka berperang dengan Syaitan, Hawa, Nafsu dan Duniawi semata-mata kerana Allah sehingga mereka menghembuskan nafas yang terakhir. Maka mereka itu adalah golongan orang-orang beriman yang berada dalam tingkatan yang khusus dengan mendapat perkhabaran gembira dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Maka sebagai melengkapi syarat jual beli antara orang-orang beriman dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, bahwa Dia telah membeli diri mereka dan harta mereka dan Syurga adalah sebagai tukaran. Bai’ah merupakan akad bagi jual beli ini dan setelah kita berakad dengan akad Bai’ah ini, menjadi tanggungjawab kitalah untuk menyerahkan diri kita mentaati perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan RasulNya Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan membelanjakan harta kita menurut kehendak Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan mengikuti petunjuk RasulNya, Hadhrat Baginda Nabi Muhammad RasulullahSallallahu ‘Alaihi Wasallam

SYARAT-SYARAT BAI‘AH


SYARAT-SYARAT BAI‘AH

Diantara syarat-syarat yang penting yang dikemukakan oleh Hadhrat Shah Ad-Dehlawi Rahmatullah‘alaih di dalam kitabnya Al-Qaulul Jamil, bagi seseorang yang hendak melakukan Bai‘ah hendaklah dia membetulkan pegangan dan I’tiqadnya supaya sesuai dengan I’tiqad orang-orang Salih yang terdahulu seperti meyakini akan kewujudan dan keesaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan tidak ada Tuhan melainkan Dia yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan seperti Maha Hidup, Maha Mengetahui,Maha Berkuasa, Maha Berkehendak dan Maha segalanya sebagaimana yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menggambarkan Sifat-SifatNya menerusi sumber-sumber yang Naqli dari Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan diteruskan oleh Para Sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in.

Allah itu Maha Suci dari segala sifat kekurangan yang bisa hilang dan binasa seperti berjisim, mengambil ruang, bersifat baru, yang berubah-ubah, bertempat, berwarna
dan berbentuk. Maha Suci Allah dalam setiap hal dankeadaan. Apa yang terdapat di dalam Al-Quran tentang Tuhan bersemayam di atas ‘Arash, Tangan Allah dan sebagainya itu semuanya hendaklah kita beriman dan percaya sebagaimana yang telah dinyatakan oleh ayat-ayat itu pada prinsip zahirnya dan kita hendaklah menyerahkan uraian tentang ayat-ayat itu kepada Allah Subhanahu WaTa’ala.

Secara mutlaknya kita mestilah mengetahui bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu tidak bersifat seperti sifatsifat makhluk dan tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah itu MahaMendengar lagi Maha Melihat. Kita juga mesti mengakui bahawa sifat-sifat kesempurnaan itu tetap tsabit wujudnya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti yang telah ditegaskan olehNya di dalam Al-Quran. Ini merupakan syarat yang utama.

Syarat yang kedua, secara umumnya seseorang itu mestilah mengakui tentang wujudnya Kenabian Para Anbiya ‘Alaihimus Solatu Wassalam dan mengakui pula Kenabian Penghulu kita Hadhrat Sayyidina Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam secara khusus. Dia mestilah mematuhi dan mengikuti apa saja yang diperintah dan dilarang oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam. Mestilah sentiasa mempercayai Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam setiap perkara yang disampaikannya sama ada tentang Sifat-Sifat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tentang perkara Akhirat, tentang Syurga dan Neraka, tentang Mahsyar, tentang Hari Hisab, tentang melihat Wajah Allah, tentang Qiyamat, tentang azab kubur dan lain-lain seperti yang telah disebut oleh hadits-hadits Nabawiyah yang sahih.

Syarat yang ketiga hendaklah dia sentiasa berhati-hati dan berusaha menjauhkan dirinya dari melakukan perkaraperkara yang dianggap dosa besar dan sentiasa menyesal apabila melakukan dosa-dosa kecil.

Syarat yang keempat hendaklah dia berhati-hati dalam mengamalkan rukun-rukun Islam. Dia hendaklah melakukan segala amalan ibadat ini dengan betul seperti
yang diperintahkan oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan memeliharasegala Sunnahnya serta menjaga segala peraturan dan adabyang berhubung dengan amalan ibadat.

Syarat kelima hendaklah dia memerhati dan memperbetulkan perkara-perkara yang berhubung dengan kehidupan seharian seperti makan, minum, pakaian, percakapan, rakan, saudara mara dan keluarga. Memperbetulkan urusan rumahtangga dan kekeluargaan, urusan mu’asyarat dan mu’amalat seperti jual beli, hutangpiutang dan sebagainya menuruti Sunnah Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Syarat keenam hendaklah sentiasa mengamalkan zikir-zikir Masnun pada waktu pagi dan petang, menjaga akhlak, membaca Al-Quran, mengingati Akhirat, menghadiri majlis ilmu dan zikir dan banyak beribadat.

Syarat yangketujuh ialah menyempurnakan kesemua syarat-syarat tadi dan menumpukan perhatiannya kepada usaha batin iaitu menuju Kehadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dalam sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Hadhrat Imam
Muslim, Imam Abu Daud dan Imam Nasai Rahimahumullah bahwa,Hadhrat ‘Auf Bin Malik Al-Ashja’i Radhiyallahu ‘Anhu telah berkata, “Kami berada bersama Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam seramai sembilan orang atau lapan orang atau tujuh orang.
Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda, “Apakah kamu semua tidak berbai’ah dengan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam?” Maka kami pun menghulurkan tangan-tangan kami dan berkata, “Atas perkara apakah kami hendak berbai’ah denganmu, Ya Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam?” Hadhrat Baginda Nabi Muhammad RasulullahSallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Atas perkara bahwa kamu hendaklah beribadat kepada Allah dan jangan mensyirikkan sesuatu juapun denganNya, dan bersolat lima waktu dan mendengar dan taat.”

Hadhrat Maulana Shah Ashraf ‘Ali At-Thanwi Rahmatullah ‘alaih menyatakan bahawa Para Sufi yang mulia mengamalkan Bai’at yang mana ianya dapat menghasilkan keazaman kuat untuk menyempurnakan hukum Syari’at yakni bersikap Istiqamah dalam amalan Zahir dan Batin serta berjanji untuk melaksanakannya. Bai’at ini dikenali sebagai Bai’at Tariqat.
Sebahagian ‘Ulama Zahir mengatakan bahawa amalan Bai’at ini adalah Bida’ah dan bukannya amalan Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi
Wasallam. Menurut mereka, Bai’at hanya untuk orang Kafir yang baru memeluk Agama Islam dan untuk orang Islam ketika hendak berjihad. Walaubagaimanapun, dari Hadits yang dinyatakan di atas dapat kita fahami bahawa Para Sahabat Radhiyallahu ‘Anhum yang berbai’ah itu bukanlah berbai’at untuk memeluk Agama Islam kerana mereka sudahpun beragama Islam. Dari kandungan Bai’at yang disabdakan oleh Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam itu maka terzahirlah bahawa Bai’at yang dilakukan itu bukanlah untuk maksud Jihad, bahkan menerusi lafaznya dapat kita ketahui bahwa Hadhrat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menegaskan tentang keazaman menyempurnakan amalan. Maka, Bai’at merupakan Sunnah dan ianya tidak dapat dinafikan. Sesungguhnya kepentingan Bai’at Tariqat bukanlah kepada masyarakat umum tetapi sebaliknya bagi mereka yang terdapat penyakit-penyakityang tersembunyi di dalam hati. Tanpa nasihat dan panduan dari seseorang Syeikh yang Haq lagi ‘Arif, seseorang itu tidak akan dapat memahami tentang penyakit Ruhaninya. Jikalau seseorang itu mengetahui penyakit Ruhaninya sekalipun, dia tetap tidak tahu apakah cara penyembuhannya dan jika dia tahu sekalipun, dia akan menghadapi kesukaran untuk mengobatinya karana halangan-halangan dari Nafsnya, karana itulah bimbingan seorang Murshid Kamil amat diperlukan.

Merindukan Wajah-Wajah Mulia – Kalam Abdullah bin Husein bin Thahir al Alawiy

Merindukan Wajah-Wajah Mulia – Kalam Abdullah bin Husein

 bin Thahir al Alawiy

Orang-orang yang dekat dengan Allah SWT adalah magnet yang bisa menarik siapa saja yang berada di sekitar mereka untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Bagai berdaya listrik, mereka mampu mengisi ulang setiap iman yang cahayanya mulai redup akibat timbunan dosa-dosa. Beruntung sekali bila kita berkesempatan bertemu dengan orang-orang pilihan ini. Kita akan bisa memperbaharui energi iman kita dengan memandang wajahnya dan mendengarkan nasehat-nasehat yang mengalir dari lisannya.

Habib Abdullah bin Husein bin Thahir al-Alawiy mengingatkan kita akan pentingnya berdekatan dengan ulama-ulama yang saleh. Berikut nasehat beliau kepada kita yang disampaikan sekitar dua ratus tahun lampau.

Ketahuilah, sesuatu yang paling mujarab untuk mempercantik hati, memancing ampunan atas dosa-dosa, menepis kegundahan hati, dan mengundang segala kesenangan rohani, adalah menghadiri majelis para wali, shalihin, alim ulama berhati khusyuk yang mengamalkan pengetahuannya, serta para ahli ibadah yang memiliki sifat zuhud.
Merekalah manusia-manusia yang bila kita pandang akan mampu mengingatkan siapa saja kepada Allah SWT. Gerak-gerik mereka senantiasa membangkitkan gairah kita untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Ucapan-ucapan mereka mampu menggiring kita kepada rahmat-Nya. Cahaya mereka menaungi siapa saja yang ada di dekat mereka. Akhlak mereka yang indah akan menulari akhlak-akhlak kita. Amal-amal mereka yang hebat membuat nafsu kita merasa kerdil, dan yang terutama, berkah mereka akan dapat kita raih baik di kehidupan ini maupun di alam yang akan datang.

Dekat dengan mereka adalah suatu fadhilah besar. Memandang mereka bernilai ibadah. Cinta kepada mereka akan membuahkan keberuntungan. Siapa yang duduk di dekat mereka bakal memetik cahaya kebahagiaan dan meneguk tetesan rasa cinta.

Kapankah diriku ‘kan memandang mereka

Aduhai, kapankah mata ini menatap mereka

Atau telinga ini mendengar kabar tentang mereka?
Barangsiapa dikaruniai kesempatan untuk bisa duduk bersama atau sekadar memandang mereka, maka seyogyanya ia meyakini bahwa kesempatan itu adalah karunia teragung dalam rentang usia hidupnya. Hendaklah ia memanfaatkan kesempatan itu sebaik mungkin dan melazimkan diri untuk selalu berada di dekat mereka dengan perasaan cinta, hormat, husnuddzon, tatakrama yang baik lahir maupun bathin. Raihlah manfaat dan berkah mereka. Teladanilah mereka. Setiap insan kelak akan dikumpulkan bersama siapa yang ia cintai. Baik buruknya seseorang tergantung pada pergaulannya.

Merekalah penabur hidayah di tengah manusia, sungguh beruntung siapa yang memandang mereka

Dan duduk di dekat mereka walau sejenak di sepanjang usia hidupnya

Merekalah suatu kaum yang menjadi hasratku

Dan haluanku di antara hamba-hamba-Nya

Cinta kepada mereka telah bersemi di relung hatiku

Mereka penyandang makrifat, kebeningan kalbu dan budi pekerti

Ada baiknya kita bercermin kepada anjing Ashabul Kahfi yang dengan setia menemani para wali-Nya. Berkat selalu bersama mereka, anjing itu menjadi beruntung hingga disebut bersama mereka di dalam Al-Quran, dan kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di dalam surga.

Perhatikanlah kertas sampul yang menempel pada Al-Quran itu. Ia menjadi mulia dan tak boleh disentuh kecuali oleh mereka yang telah bersuci, berkat menempel pada Kalamullah. Begitulah gambaran dalam berkawan dan bergaul.

Baginda Nabi SAW bersabda, “Perumpamaan kawan yang saleh itu seperti penjual minyak misik. Kamu bakal diolesi minyak itu dengan cuma-cuma, atau kamu membelinya. Minimal kamu mencium aroma harum darinya.”

Syeikh Fadhal pernah berujar, “Barangsiapa melaksanakan shalat dengan bermakmum kepada orang yang telah mendapat ampunan, maka dosanya diampuni pula. Barangsiapa bersantap makan bersama seseorang yang telah mendapat ampunan, maka dosanya pun diampuni. Dan barangsiapa duduk bersama orang-orang saleh, maka gairahnya pada kebaikan akan bertambah.”

Junjungan kita, Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi bertutur, “Kefahaman adalah cahaya yang menyala di dalam hati. Karunia itu hanya akan diperoleh oleh mereka yang kerap duduk bersama orang-orang saleh dan tekun menelaah kitab-kitab mereka.”

TATA KRAMA
Ketahuilah, banyak sekali manfaat yang akan dipetik oleh mereka yang senantiasa bergaul dengan kaum shalihin dengan sikap yang penuh adab, dalam tingkah laku fisik maupun hati. semua keutamaan terpendam di dalam tatakrama. Andai tatakrama tidak diindahkan, maka yang berlaku adalah apa yang pernah diucapkan seorang bijak, “Tidaklah penolakan (dari rahmat) itu kamu dapatkan bila kamu tidak ditakdirkan dekat dengan kaum shalihin. Tapi penolakan itu niscaya kamu dapatkan bila kamu ditakdirkan dekat dengan mereka namun kamu tidak bertatakrama kepada mereka.”

Andai kita tidak memiliki atau jarang berkesempatan berada di dekat orang-orang saleh, maka berhati-hatilah, jangan sampai kita terjerumus ke dalam pergaulan yang salah, yakni berkumpul dengan orang-orang yang lalai dan fasik. Kembalilah mengenang sejarah hidup kaum shalihin berikut kondisi dan amal-amal mereka. Bacalah kitab-kitab dan wasiat-wasiat mereka, juga kasidah-kasidah dan hikayat tentang perilaku zuhud, wara’, qana’ah, khumul (menjauhi ketenaran) yang mereka terapkan, serta ibadah dan akhlak mereka yang luar-biasa.

Dengan mengenang mereka, maka rahmat Allah SWT akan mengalir deras kepada kita. “Bila dirimu tak berkesempatan menjumpai mereka, maka di dalam kalam mereka terkandung sinar yang mampu menghidupkan hati dan sanubari,” begitulah kata sebagian orang bijak.

Sayangnya, yang begitu dominan di zaman kita sekarang ini adalah cerita tentang kekejian dan para pelakunya. Saat ini orang lebih asyik menyimak omong kosong, gosip murahan, adu domba, berita kriminal dan asusila. Mereka tak lagi tertarik pada kisah orang-orang saleh dan ilmu-ilmu yang bermanfaat. Bahkan, mereka enggan untuk sekadar bertanya mengenai urusan agama mereka kepada ulama.

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul dan Wahdatul Wujud

Ahlussunnah dan Para Sufi Menentang Paham Hulul 

dan Wahdatul Wujud

Ahlussunnah Wal Jama'ah mengatakan: "Sesungguhnya Allah tidaklah bertempat pada sesuatu, tidak terpecah dari-Nya sesuatu dan tidak menyatu dengan-Nya sesuatu, Allah tidak serupa dengan sesuatupun dari makhluk-Nya".
Syekh Abd al Ghani an-Nabulsi -semoga Allah merahmatinya dalam kitabnya al Faidl ar-Rabbani berkata:"Barangsiapa yang mengatakan bahwa Allah terpisah dari-Nya sesuatu, Allah menempati sesuatu, maka dia telah kafir".

Al Imam al Junayd al Baghdadi (W. 297 H) penghulu kaum sufi pada masanya berkata: "Seandainya aku adalah seorang penguasa niscaya aku penggal setiap orang yang mengatakan tidak ada yang maujud (ada) kecuali Allah". (dinukil oleh Syekh Abd al Wahhab asy-Sya'rani dalam kitabnya al Yawaqit Wal Jawahir).


Al Imam Ar-Rifa'i -semoga Allah meridlainya- berkata: "Ada dua perkataan (yang diucapkan dengan lisan meskipun tidak diyakini dalam hati) yang bisa merusak agama: perkataan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya (Wahdat al Wujud) dan berlebih-lebihan dalam mengagungkan para Nabi dan para wali, yakni melampaui batas yang disyariatkan Allah dalam mengagungkan mereka
Beliau juga mengatakan: "Jauhilah perkataan Wahdat al Wujud yang banyak diucapkan oleh orang-orang yang mengaku sufi dan jauhilah sikap berlebih-lebihan dalam agama karena sesungguhnya melakukan dosa itu lebih ringan dari pada terjatuh dalam kekufuran

"Sesungguhnya Allah tidaklah mengampuni orang yang mati dalam keadaan syirik atau kufur sedangkan orang yang mati dalam keadaan muslim tetapi ia melakukan dosa-dosa di bawah kekufuran maka ia tergantung kepada kehendak Allah, jika Allah menghendaki Ia akan menyiksa orang yang Ia kehendaki dan jika Allah berkehendak, Ia akan
mengampuni orang yang Ia kehendaki".
Dua perkataan al Imam Ahmad ar-Rifa'i tersebut dinukil oleh al Imam ar-Rafi'i asy-Syafi'i dalam kitabnya Sawad al 'Aynayn fi Manaqib Abi al 'Alamain.
Salah seorang khalifah Syekh Ahmad ar-Rifa'i (dalam Thariqah ar-Rifa'iyyah) pada abad XIII H, Syekh al 'Alim Abu al Huda ash- Shayyadi -semoga Allah merahmatinya- dalam kitabnya at-Thariqah ar- Rifa'iyyah berkata: "Sesungguhnya mengatakan Wahdah al Wujud (Allah menyatu dengan makhluk-Nya) dan Hulul (Allah menempati makhluk-Nya)
menyebabkan kekufuran dan sikap berlebih-lebihan dalam agama menyebabkan fitnah dan akan menggelincirkan seseorang ke neraka, karenanya wajib dijauhi".

Syekh al 'Alim Abu al Huda ash-Shayyadi –semoga Allah merahmatinya- juga mengatakan dalam kitabnya al Kawkab ad-Durriy:
"Barangsiapa mengatakan saya adalah Allah dan tidak ada yang mawjud (ada) kecuali Allah atau dia adalah keseluruhan alam ini, jika ia dalam keadaan berakal (sadar) maka dia dihukumi murtad (kafir)".
Al Imam Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi mengatakan: "Tidak akan meyakini Wahdah al Wujud kecuali para mulhid (atheis) dan barangsiapa yang meyakini Hulul maka agamanya rusak (Ma'lul)".
Sedangkan perkataan-perkataan yang terdapat dalam kitab Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi yang mengandung aqidah Hulul dan Wahdah al Wujud itu adalah sisipan dan dusta yang dinisbatkan kepadanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdul Wahhab asy-Sya'rani dalam kitabnya Lathaif al Minan Wa al Akhlaq menukil dari para ulama. Demikian juga dijelaskan oleh ulama-ulama lain. 

Tabaruk (1)

 Tabaruk (1)


Mengambil berkah / Tabaruk adalah salah satu yang menjadi pertannyaan belakangan ini.. bolehkah mengambil berkah dari bekas-bekas para solihin .. ?

Tabaruk adalah mengambil berkah, dari benda, baju, debu, air liur, airmata, keringat, atau apa saja dari tubuh shalihin atau benda yg disentuh oleh mereka.
Secara harfiah, tabarruk berarti mencari keberkahan dari sesuatu {atsr: benda-benda peninggalan) yang pernah dimiiiki atau disentuh oleh orang suci. Allah sendiri menganjurkan tabaruk dengan menyebutkan beberapa contoh tabaruk yang dilakukan para nabi-Nya. Misalnya, Dia menyebutkan tabaruk Nabi Yakub melalui benda peninggalan putranya, Yusuf a.s., dan tabaruk Bani Israil melalui benda-benda peninggalan keluarga Musa dan Harun a.s. Kita juga mendapati banyak dalil tentang tabaruk para sahabat dan tabiin melalui Nabi saw. dan orang-orang saleh.
Allah berfirman:
Pergilah kamu dengan membawa gamisku ini, lalu letakkanlah ke wajah ayahku, nanti ia akan melihat kcmbali; dan bawa-lah keluargamu scmuanya kepadaku." Talkala kafilah itu lelah keluar, ayah mereka berkata: "Sesungguhnya aku mencium bau Yusuf .... Talkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, diletakkannya baju gamis itu ke wajah Yakub, lalu ia dapat melihat kembali.
Berkata Yakub: "Tidakkah kukatakan kepadamu bahwa aku mengetahui dan Allah apa yang tidak kamu kelahui. (Q.S. Yusuf [12): 93-96).

Dan, dalam surah al-Baqarah ayal 248, Dia berfirman:
Dan Nabi mereka mengalakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja adalah kembalinya labul kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dart Tuhanmu dan sisa pe-ninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh malaikal. Sesungguhnya pada yang demikian itu lerdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman"

Sementara dalam Islam, kita mengenal tradisi tabaruk melalui benda-benda peninggalan pribadi Nabi saw. Berikut ini beberapa riwayat tentang tabaruk dengan atsar Nabi saw.

I. Tabaruk dengan rambut dan kuku Nabi saw.
Mengenai hal ini kita menemukan banyak riwayat, misalnya yang diriwayatkan oleh al-Bukhari:
Utsman ibn Abdullah ibn Mawhab berkata, "keluargaku menyuruhku menemui Ummu Salamah membawa segelas air. Ummu Salamah mengeluarkan sebuah botol perak berisi beberapa helai rambut Nabi saw., yang ia pergunakan ketika ada seseorang yang berada di bawah pengaruh jahat atau sakit. Biasanya mereka mengirimkan segelas air yang kemudian ke dalamnya dicelupkan rambut ini {untuk diminum). Kami biasa melihat botol perak itu; aku melihat di dalamnya beberapa helai rambut pirang.
Masih menurut al-Bukhari, Anas berkata, "Ketika Nabi saw. mencukur rambutnya (setelah ibadah haji), Abu Thalhah menjadi orang pertama yang mengambil rambutnya."
Sementara dari riwayat Muslim, Anas berkata, "Nabi saw. melempar batu dalam jumrah, kemudian menyembelih hewan korban, lalu memerintahkan tukang cukur untuk mencukur
rambutnya pada bagian kanan terlebih dahulu, kemudian beliau mulai memberikan rambut itu kepada umat."

Anas berkata, "Thalhahlah yang membagi-bagi rambut itu"
Dan menurut Ahmad, Thalhah berkata, "Ketika Nabi saw. mencukur rambutnya di Mina, beliau memberiku rambut itu dari bagian kepala sebelah kanan seraya bersabda: 'Anas, bawalah rambut ini ke Ummu Sulaym (ibunda Anas). Ketika para sahabat melihat apa yang diberikan Nabi saw. kepadaku, mereka mulai berebut mengambil rambut itu dari bagian kiri kepala, dan setiap orang mendapatkan bagiannya."
Ibn al-Sakan meriwayatkan melalui Shafwan ibn Hubairah dari ayahnya, dari Tsabit al-Bunani bahwa Anas ibn Malik ber¬kata kepadanya (menjelang kematiannya), "Inilah sehelai rambut Rasulullah saw. Aku ingin kau meletakkannya di bawah lidahku (setelah aku mati)." Tsabit melanjutkan, "Aku meletakkannya di bawah lidahnya, dan ia dimakamkan bersama rambut itu."

Abu Bakar berkata, "Aku melihat Khalid (ibn al-Walid) meminta gombak Nabi saw. dan mendapatkannya. Ia pernah meletakkannya di dekat matanya dan kemudian menciumnya." Dikisahkan bahwa ia meletakkannya dalam qalansuwah (penutup kepala yang diikat serban)-nya dan setiap kali berperang ia selalu memenangkannya. Diriwayatkan oleh Ibn Hajar dalam karyanya, Ishabah: Ibn Abi Zaid al-Qairawani meriwayatkan bahwa Imam Malik berkata, "Khalid ibn al-Walid memiliki sebuah qalansuwah yang di dalamnya disimpan beberapa helai rambut Nabi saw., dan itulah yang dipakainya dalam Perang Yarmuk."

Ibn Sirin (seorang tabiin) berkata, "Sehelai rambut Nabi saw. yang kumiliki jauh lebih berharga daripada perak dan emas dan dari dunia beserta segata isinya." (diriwayatkan oleh al-Bukhari, al-Baihaqi).

Dari Anas RA bahwa Ummu Sulaim membuka kotak kecilnya, lantas mengelap keringat Nabi SAW ke dalamnya, kemudian memerasnya ke dalam botol-botolnya.
Nabi SAW bertanya,."Apa yang kamu lakukan, hai Ummu Sulaim?"
Ummu Sulaim menjawab, "WahaiRasulullah, kami mengharapkan keberkahannya bagi anak-anak kecil kami." HR Muslim (2331)

Dinyataan dalam rlwayat bahwa ketika Anas menghadap kematian, dia berwasiat agar keringat itu dicampur dengan hanuth (jenis minyak wangi untuk jenazah). Dan begitu dia wafat minyak wangi itu pun diberi keringat beliau tersebut - HR Al-Bukhari (5992)

Anas mengatakan, "Aku melihat Rasulullah SAW dan tukang cukur rambut yang sedang mencukur beliau, sernentara sahabat-sahabat beliau mengelilingi beliau. Mereka tidak menghendaki ada sehelai rambut pun yang jatuh kecuali di tangan seseorang." - HR Muslim (2325).
Para sahabat RA senantiasa menjaga rambut Nabi SAW untuk keperluan tabaruk dan permohonan syafa'at.

Dari Abu Juhaifah RA, ia mengata¬kan, "Aku menemui Nabi SAW yang saat itu sedang berada di Kubah Merah yang terbuat dari kulit. Aku melihat Bilal mengambilkan air wudhu Nabi SAW semen tara orang-orang dengan sigap menadahi air wudhu Itu. Orang yang mendapatkan tadahan air wudhu membasuhkannya pada dirinya. Sedangkan orang yang tidak mendapatkan tadahan air wudhu mengambil dari basahan air wu-dhu yang didapatkan oleh sahabatnya. Maksudnya untuk mendapatkan keberkahan dan syafa'at."

Abu Musa Al-Asy'ari mengatakan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Juhaifah RA darinya, Nabi SAW meminta diambilkan secawan air lantas membasuh kedua tangan dan wajah beliau dengan air tersebut lalu menuangkannya. Kemudian beliau bersabda kepada Abu Musa RA dan Abu Juhaifah RA, "Minumlah kalian berdua darinya, dan tuangkanlah pada wajah dan leher kalian berdua." - HR Al-Bukhari (185). Ini adalah perintah dari Rasulullah SAW agar melakukan tabaruk pada bekas-bekas beliau.

Dari Ja'far bin Muhammad RA, ia mengatakan, "Saat mereka memandikan jenazah Nabi SAW setelah beliau wafat, ada air yang terhimpun di kelopak mata beliau. Ketika itu All RA mengisap nya sedikit demi sedikit." - HR Ahmad (1:267). Maksudnya, ia mengisap air itu lantaran keberkahan-keberkahan Nabi SAW.

Diriwayatkan, Muawiyah memiliki beberapa potongan kuku Nabi SAW. Ketika menghadapi kematian, ia berwasiat agar kuku-kuku itu ditumbuk sampai halus lantas diletakkan di mata dan mulutnya. Muawiyah berkata kepada para sahabat, "Lakukanlah itu kepadaku, dan biarkan-lah antara aku dan Allah Arhamurrahi-min. -Tahdzib aLAsma' wa al-Lughat, karya An-Nawawi (2: 407).

Diriwayatkan, Anas berwasiat agar di bawah lidahnya diberi sehelai rambut Rasulullah SAW. Wasiatnya ini pun di-lakukan - Al-lshabah ft Tamyiz ash-Shahabah, karya Ibnu Hajar (1:127).

Hikmah bertabaruk dengan bekas orang-orang shalih
Seorang bijak menyebutkan, hikmah tabaruk dengan bekas orang-orang shalih dan tempat-tempat mereka serta apa-apa yang berhubungan dengan me¬reka adalah lantaran tempat-tempat me¬reka berkaitan dengan pakaian mereka, pakaian mereka mencakup badan me¬reka, badan mereka mencakup hati me¬reka, dan hati mereka berada dalam ke-hadiran Tuhan mereka.

Jika Allah melimpahkan berbagai curahan anugerah ketuhanan ke dalam hati mereka, keberkahannya menjalar kepada apa-apa yang berkaitan dengan-nya dan kepada apa-apa yang berada di sekitamya. Seperti dinyatakan dalam firman Allah SWT, "(Samiri berkata) lalu aku mengambil segenggam dari bekas utusan itu." - QS Thaha (20): 96. Mak¬sudnya, dari bekas telapak kaki kuda utusan itu (malaikat) sebagaimana yang dipaparkan dalam sejumlah tafsir - Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an, karya Al-Qurthubi (7:251), dan Tafsir Ibnu Katsir (3: 220).

Tabaruk adalah Tawasul
Tabaruk dengan bekas orang-orang shalih adalah hakikat tawasul dengan diri, dan ini dibolehkan, bahkan dianjurkan dalam syari'at. Sebab, ini berarti seorang hamba menggapai wasilah atau perantara kepada Allah untuk mencapai tujuan-tujuannya. Tentu saja, dengan demikian, perantara itu sesuatu atau seseorang yang telah ditetapkan memiliki keutamaan di sisi-Nya.

Mengapa tabaruk dibolehkan, bahkan dianjurkan dalam syari'at?
Dinyatakan boleh dan dianjurkan, karena bertabaruknya mereka, yaitu para sahabat, pada seluruh aktivitas me¬reka itu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Adapun pernyataan bah-wa tabaruk ini merupakan perbuatan yang sia-sia tanpa makna, tidak pula berfaedah bagi mereka yang melaku-kannya, sungguh jauh kemungkinannya para sahabat melakukan perbuatan yang tiada arti sama sekali, dan jauh kemungkinannya Rasulullah SAW me-netapkan perbuatan yang tiada arti itu. Jadi, pasti mereka mempunyai tujuan yang benar dan maksud yang mereka kehendaki, yaitu menggapai berkah, syafa'at, dan rahmat dari Allah SWT lan¬taran keutamaan bekas-bekas yang mulia itu di sisi-Nya.
IY,

Adab Bagi Yang Tersingkapkan Alam Ghaib

Adab Bagi Yang Tersingkapkan Alam Ghaib


"Kadang-kadang Allah Swt memperlihatkan padamu alam Malakutnya yang ghaib, dan (namun) Allah Swt menutup dirimu dari melihat rahasia-rahasia hambaNya."

Diantara kasih sayang Allah Swt pada hamba-hambaNya, terkadang, Allah Swt membuka rahasia-rahasia alam malakut pada si hamba itu, berupa rahasia ilmu pengetahuan dan detail kema’rifatan, sampai nyata betul, bahkan anda pun meraih apa yang tak bisa dibayangkan oleh mata, tak pernah terdengar telinga dan tak pernah muncul dalam intuisi sekali pun. Namun pada saat yang sama, Allah Swt, justru menutup rahasia-rahasia yang ada pada hamba-hambaNya, karena rahmat dan cintaNya kepadaMu agar kalian tidak terpedaya oleh pandangan meneliti rahasia para makhlukNya dan hamba-hambaNya. Allah Swt sedang memberikan pelajaran mulia kepadamu dengan cara menghindarkan dirimu memandang rahasia makhluk lain.
“Barang siapa yang dibukakan Allah Swt rahasia-rahasia hambaNya, namun orang itu tidak berakhlak dengan Rahmat Ilahiyah, maka wujud penglihatan rahasia itu justru akan menjadi fitnah (cobaan) bagi dirinya sendiri, dan menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya cobaan bencana baginya.”

Banyak orang yang dibukakan oleh Allah Swt, tentang rahasia-rahasia hambaNya, namun betapa orang itu malah mendapat cobaan yang serius, hanya karena ia sendiri tidak menerapkan Akhlaq Rahmat Ilahiyah. Diantara cobaan yang muncul adalah tragedi ruhaninya sendiri berupa kesombongan, kekaguman pada diri sendiri, dan memanfaatkan nya untuk kepentingan duniawinya.

Padahal rahasia Allah itu ditampakkan padanya, agar ia menjalankan fungsi Rahmatan Lil’alamin melalui akhlak Rahmat Ilahiyahnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary.

Orang yang berakhlak dengan Rahmat Ilahiyah adalah orang yang memiliki keluasan kasih sayang terhadap hamba-hamba Allah Ta’ala, dan manusia merasakan hamparan kasih sayangnya dan perilaku akhlaknya. Ia telah menjadi bapak bagi mereka. Inilah yang diteladankan Nabi Saw, dalam Al-Qur’an, “Dan ia penuh kasih sayang kepada kaum beriman.” (Q.s. Al-Ahzaab:43)

Sang Nabi Saw, memaafkan orang-orang yang berbuat salah dan dosa, menyayangi dan mengasihi orang miskin, dan menjabat tangan orang-orang yang bodoh serta berbuat baik pada orang-orang yang berbuat buruk.

Sebab sebagaimana dikatakan oleh Ummul Mu’minin, ra, “Akhlaknya adalah Al-Qur’an”, dan beliau membaca ayat, “Ambillah maaf, dan perintahlah dengan baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (Q.s. Al-A’raaf:7).

Orang yang berakhlak demikian, berarti ketersingkapannnya merupakan kemuliaan baginya dan rahmat bagi hamba-hambaNya.

Jika tidak, maka ia akan teruji oleh fitnah dalam dirinya seketika dan di akhirat kelak:
Pertama, ia merasa lebih hebat dan lebih bersih dibanding yang lain dengan kelebihan-kelebihannya.
Kedua, ia telah mempersempit rahmat dan kasih sayang Allah pada hamba-hambaNya.
Ketiga, ia telah menyakiti hamba-hamba Allah dengan membuka rahasia-rahasia kelemahannya, dan inilah awal bencana.
Maka penyair Sufi mengatakan:
Tebarlah kasih sayang, wahai anakku
Pada semuanya, dan lihatlah
Pada mereka dengan mata kinasih yang lembut
Hormati yang tua, kasihi yang muda
Jagalah hak akhlak pada setiap makhluk.

Inisiasi Spiritual (Tahbis)

Inisiasi Spiritual (Tahbis)


Inisiasi spiritual atau penasbihan adalah pelantikan atau peresmian seseorang yang sungguh-sungguh ingin mencari pengetahuan (makrifat) Allah SWT oleh seorang pembimbing (mursyid, khalifah, syekh). Dalam beberapa tarekat, inisiasi ini biasa diistilahkan dengan baiat atau talqin. Kegiatan seperti ini sering dihubungkan dengan pengangkatan sumpah para sahabat Nabi saat Perjanjian Hudai-biyah yang berlangsung di bawah pohon.
Intinya, pernyataan janji setia mereka untuk mengabdi kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad dalam kondisi apa pun. Peristiwa ini dilukiskan di dalam Alquran,, >"Orang-orang yang berjanji setia kepadamu, mereka itu sesungguh-nya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka. Barang siapa yang melanggar janji itu maka akibatnya, niscaya akibatnya akan menimpa dirinya sendiri. Dan, barang siapa yang menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar. *' (Q.S. al-Fath [48:] 10).

Upacara pelantikan ini biasa¬nya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di dalam masing-masing tarekat. Ada yang menetapkan sejumlah syarat yang harus dipenuhi sebelum diinisiasi, bergantung standar operasional prosedur (SOP) masing-masing tarekat. Di antara standar tersebut ialah menjabat tangan (mushafahai) dengan syekh atau mursyid. Biasanya ada tarekat mengganti nama atau menaambahkan laqab (julukan) murid yang mengikuti inisiasi tersebut. Itu semua dilakukan sebagi simbol "kelahiran kembali" kedunia rohani.

inisiasi tersebut biasanya di-tandai dengan penyerahan kain serban (khirqah) yang dipasangkan di pundak murid oleh syekh atau mursyid. Biasa juga pemberian tasbih, ijazah, atau benda-benda upacara lainnya. Proses inisiasi biasanya dilakukan seusai shalat berjamaah dan disaksikan oleh murid-murid lainnya.

Inisiasi ini bertingkat-tingkat. Ada tingkat paling awal yang diinisiasi sebagai anggota baru tarekat. Inisiasi lainnya dilakukan lebih khusus untuk murid-murid 'yang sudah mencapai tingkatan tertentu dan baginya sudah layak untuk dilantik sebagai mursyid pembantu. Perbedaan antara mursyid pembantu dan mursyid senior ditentukan oleh tradisi tarekat.
Setelah inisiasi maka murid atau mursyid maka murid itu, berlakulah ketentuan pada diri¬nya sendiri dan wajib dijalani. Misalnya, ia harus berani berubah secara drastis, seperti berani un¬tuk menggunting dosa-dosa lang-ganannya sejak dahulu, meninggalkan makanan, minuman, dan perbuatan, serta keputusan-keputusan syubhat, apalagi yang haram. Murid dituntut tegas berani hijrah dari kondisi batin yang menyatu ke kecenderungan batin yang condong antara hak dan batil. Laksana menyatunya air dan teh. Bila telah terpisah, akan berbentuk laiknya pemisahan antara air dan minyak.

Inisiasi sesungguhnya lebih merupakan terapi kaget (shock therapy) untuk hijrah ke dalam suasana batin yang baru. Ikrar atau baiat yang baru saja dijalani-nya luei upakan peristiwa simbolis untuk lahir kembaii dari gelapnya lumuran dosa dan maksiat. Kini, ia merasa terlahir kembali, seperti bayi yang tanpa beban, bersih, ringan, putih, pasrah, tenang, damai, indah, bahagia, cerah, dan bebas dari beban masa lampau.

Dua kalimat sakral yang baru diucapkan itu memang didasari oleh jaminan Nabi, "Perbaruilah keimanan kalian dengan bersahadat ulang." Allah juga menjamin pengampunan dosa secara total (fagfir al-dzunuuba jami'an) bagi orang yang telah menjalani pertobatan khusus {taubatan na-shuha). Sebesar apa pun dosa se-belumnya, ia merasa plong de¬ngan inisiasi yang baru saja dilakukannya dengan penuh keterharuan, yang biasanya disertai dengan linangan air mata. Mereka merasa optimistis dengan menatap ke depan, karena hadis nabi, "Air mata tobat menghapuskan api neraka" dan "Jeritan tobat-nya para pendosa lebih disukai Tuhan ketimbang gemuruh tas-bihnya para ulama."

Kini, ia semakin sadar dan sen-sitif serta sudah mampu mendeteksi perbedaan antara kecen¬derungan yang hak atau batil dan antara bisikan iblis dan bisikan malaikat. Sebelumnya, ia masih sulit membedakan mana kecenderungan hak mana yang batil, mana bisikan iblis dan mana bi¬sikan malaikat, karena keduanya larut di dalam dirinya bagaikan air dengan teh. Setelah menjalani tradisi baru, ia merasakan lembaran baru dalam kehidupannya. Antara hak dan batil dan bisikan iblis dan bisikan malaikat dirasakannya sudah jelas, seperti jelas-nya perbedaan antara air dan minyak. Keduanya tidak lagi menyatu secara utuh di dalam dirinya.

Sikap dan persepsinya ter-hadap Tuhan juga sudah jauh berubah. Sebelumnya, ia terbebani dengan doa. Doa-doa yang tidak dikabulkan menjadi beban batin baginya karena seringkali dihubungkan dengan pertanyaan nakal dalam jiwanya tentang keberadaan Tuhan. Mengapa iayang berdoa kepada-Nya, tetapi dijawab dengan kekecewaan. Sementara itu, orang yang tidak pernah berdoa, bahkan bergelimang dosa, tetapi hidupnya melimpah dan berkecukupan.

Kini, ia semakin sadar dengan sabda Nabi, "Doa adalah jantung-nya ibadah". Ia tidak lagi salah paham terhadap doa-doanya yang tertolak. Ia bahkan sangat sadar bahwa penerimaan doa bisa berarti penerimaan baginya, dan penerimaan doa berarti penolakan baginya. Ia lebih takut kalau daftar panjang doa-doanya dikabulkan justru akan melahirkan penolakan dirinya, karena perhatian tidak lagi tertuju pada Tuhan, tetapi habis waktu mengonsumsi hasil-hasil doanya. Ia bersyukur jika doa-doanya ditolak karena yakin pasti itu akan membahayakan kelanggengan hubungan mesra dengan Tuhannya.

Akhirnya, doa baginya sudah semakin pendek karena ditenggelamkan oleh munajatnya. Ia lebih sibuk naik ke atas ketimbang memohon rahmat lebih banyak turun ke bawah. Untuk apa rahmat lebih banyak turun dari-Nya, jika ia sendiri tidak bisa naik karena rahmat itu. Ia lebih memilih untuk naik ke atas ketimbang rahmat-Nya turun ke bawah.
Lambat laun, yang bersangkutan tidak lagi rida dengan surga dan tidak juga takut dengan neraka. Masihkah seseorang butuh surga atau takut neraka jika seseorang sudah menyatu dengan Pencipta surga dan neraka itu. Mungkin ia akan berteriak ambillah surga itu, aku cukup dengan Tuhanku.

Haruskah Salik Menjalani Baiat?

Haruskah Salik Menjalani Baiat?

Janji setia dari calon murid atau salik kepada mursyid biasa disebut baiat atau talqin. Dalam suatu tarekat, baiat adalah sesuatu yang lazim. Biasanya yang melakukan proses baiat ialah mursyid kepada salik. Sebelum ke proses pembaiatan, umumnya diawali perkenalan dan penjelasan langkah-langkah yang harus ditempuh jika kelak resmi menjadi murid.

Seorang calon salik diperkenalkan berbagai syarat dan ketentuan internal tarekat, misalnya kesediaan murid menyempurnakan ibadah syariah, patuh kepada mursyid, aktif dan telaten melakukan riyadhah, serta berusaha meninggalkan rutinitas duniawi, lalu memasuki wilayah tasawuf dengan menginternalisasikan sifat-sifat utama seperti sabar, tawakal, qanaah, dan syukur.

Ia secara perlahan-lahan dibimbing untuk meninggalkan dominasi eksoterisme dan memasuki wilayah esoterisme dalam beribadah. Ia dituntut berkontemplasi guna lebih banyak mengenal alam rohani, dan pada akhirnya salik berusaha respek dan mencintai mursyidnya. Bagaikan sahabat yang mencintai rasulnya.

Sang calon salik juga berlatih menumbuhkan rasa cinta (mahabbah) dan harapan besar [raja). Jika dia diyakini memiliki kemampuan untuk lanjut sebagai salik, mursyid akan membaiatnya. Prosesnya, ada yang sederhana ada juga yang lebih rumit. Ini semua bergantung pada ketentuan yang berlaku dalam sebuah tarekat.

Terkadang ada yang berbulan-bulan atau tahunan tetapi belum dibaiat. Sementara ada yang hanya beberapa hari tinggal bersama langsung dibaiat. Bergantung intensitas dan kesiapan calon murid menempa diri. Dasar hukum pelaksanaan baiat ini dihubungkan dengan surah al-Fath ayat 10.

Ayat tersebut berbunyi "Orang-orang yang berjanji setia kepadamu, sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Tuhan di atas tangan mereka. Barang siapa melanggar janjinya, niscaya akibat dia melanggar janji itu akan menimpa dirinya. Dan barang siapa menetapi janjinya kepada Allah, Allah akan memberinya pahala yang besar."

Idealnya, baiat itu mengikat, apalagi komitmen ini bertujuan positif sebagaimana ditegaskan Allah SWT, "Tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kalian berjanji, dan janganlah kalian membatalkan sumpah-sumpah kalian". (QS al-Nahl [16] 91). "Dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti akan diminta pertanggungjawabannya". (QS al-Isra [17] 34).

Di dalam hadis ditemukan sejumlah riwayat yang mengajarkan konsep baiat bagi mereka yang akan menjadi pengikut khusus Rasulullah. Seperti hadis riwayat Bukhari dari Ubaidah bin Samit. Rasulullah bersabda, "Berjanjilah kalian kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu,tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak membuat kebohongan di antara tangan dan kaki kalian, dan tidak mendurhakai aku dalam kebaikan. Barang siapa di antara kalian menepati janji ini, dia akan mendapatkan pahala dari Allah. Barang siapa yang melanggar sebagian darinya lalu Allah menutupinya, hukumannya bergantung pada Allah. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengam-puninya. Dan jika tidak. Dia akan menghukumnya". Maka kami pun membaiat beliau dengan hal itu. (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim).

Bentuk baiat dan lafal yang pernah dilakukan Rasulullah kepada para sahabatnya berbeda-beda. Baiat secara kolektif dan individu pernah dilakukan Rasul. Contoh baiat kolektif dilakukan beliau kepada beberapa sahabatnya diungkapkan oleh Syadad bin Aus.

"Pada suatu hari, pernah ada beberapa orang berada di hadapan Rasulullah. Saat itu Rasul bertanya, apakah di antara kalian ada orang asing-maksudnya ahli kitab. Kami jawab tidak ada. Lalu, beliau menyuruh kami menutup pintu dan berucap, angkatlah tangan kalian dan ucapkan La Haha illallah (Tiada Tuhan selain Allah). Kemudian, Rasulullah bersabda, Segala puji hanya bagi Allah. Ya Allah, sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini. Engkau menyuruhku untuk mengamalkan-nya. Dan Engkau menjanjikan surga kepadaku dengannya. Ketahuilah bahwa aku membawa kabar gembira untuk kalian. Sesungguhnya Engkau tidak akan menyalahi janji. Lalu beliau bersabda, Ketahuilah bahwa aku membawa kabar gembira untuk kalian. Sesungguhnya Allah telah memberi ampunan kepada kalian." (Hadis riwayat Ahmad).

Sedangkan, contoh baiat secara individu terungkap melalui hadis yang diriwayatkan Thabrani. Baiat ini terjadi ketika Ali bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku jalan yang paling dekat menuju Allah, yang paling mudah untuk beribadah kepada-Nya dan paling utama di sisi-Nya."

Lalu, Rasulullah menjawab agar Ali melanggengkan zikir kepada Allah secara rahasia dan terang-terangan. Ali meresponsnya dengan mengatakan bahwa semua orang melakukan zikir dan ia berharap diberi zikir khusus. "Hal paling utama dari apa yang aku ucapkan dan para nabi sebelum aku adalah kalimat La Haha illallah," demikian jawaban Rasulullah.

Seandainya langit dan kalimat ini ditimbang, kata Rasul, maka kalimat ini lebih berat daripada langit. Kiamat tidak terjadi selama di bumi masih ada orang yang mengucapkan kalimat itu. Ali bertanya kembali, bagaimana cara mengucapkannya. Rasul menjawab, " Pejamkanlah kedua matamu dan dengarkanlah aku La Haha illallah, diucapkan tiga kali. Ucapkanlah tiga kali kalimat itu dan aku mendengarkannya." Ali mengucapkannya dengan keras.

Ditemukan banyak lagi hadis yang menerangkan cara pembaiatan kepada orang dan kelompok. Setelah Rasulullah wafat, pembaiatan terus dilakukan oleh para sahabat. Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali pernah membaiat orang dan kelompok. Tradisi itu dilanjutkan oleh para praktisi tarekat sampai saat ini.

Baiat di sini bukan baiat politik seperti Baiatul Aqabah kaum Anshar atau baiat sebagai tanda pengakuan kekuasaan terhadap seorang pemimpin. Ini adalah baiat spiritual yang dimana seseorang atau kelom-pok orang menyatakan janji suci kepada Allah untuk hidup sebagai orang yang saleh/salehah di depan mursyidnya.

Pertanyaan yang mendasar tentang baiat ini, mestikah seseorang dibaiat? Bagaimana dengan orang-orang yang memilih hidup di luar tarekat, yang di sana tidak umum dikenal ada baiat atau talqin? Apakah keislaman tidak sempurna tanpa baiat atau talqin? Tidak ada kesepahaman para ulama tentang wajibnya baiat.

Baiat di dunia tarekat bisa diperbarui seandainya seseorang memerlukan pengisian kembali (recharging) energi spiritual dari mursyid. Namun perlu ditegaskan sekali lagi, bahwa mursyid bukan santo atau lembaga pastoral yang dapat atas nama Tuhan memberikan pengampunan dosa terhadap jamaah.

Fungsi mursyid sebagaimana telah diuraikan dalam artikel terdahulu hanya berfungsi sebagai motivator dan tutor yang dipercaya! salik. Banyak cara orang untuk memperoleh ketenangan dan sekaligus motivasi untuk menggapai rasa kedekatan diri dengan Tuhan. Salah satu di antaranya ialah menyatakan komitmen spiritual kepada Tuhan di depan atau melalui mursyid yang dipilih.

Jika pada suatu saat mengalami krisis spiritual, ia merasa sangat terbantu oleh kehadiran sahabat spiritual yag berfungsi sebagai konsultan spiritualnya. Tentu, sekali lagi bukan memitoskan atau mengultuskan seseorang. Tetapi secara psikologis, setiap orang pada dasarnya membutuhkan referensi personal untuk mengatasi kelabilan hidupnya.

Ini bukan bidah karena memiliki dasar yang kuat dalam Alquran dan hadis. Namun tidak berarti bagi mereka yang tidak pernah menjalani baiat, keislamannya bermasalah, sebab baiat bukan sesuatu yang wajib.

Apa itu Insan Kamil?

Apa itu Insan Kamil?

Insan kamil atau manusia paripurna dibahas secara khusus oleh para sufi, khususnya Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili. Pengertian insan kamil tidak sesederhana seperti yang selama ini dipahami kalangan ulama, yaitu manusia teladan dengan menunjuk pada figur Nabi Muhammad SAW.

Bagi para sufi, insan kamil adalah lokus penampakan (madzhar) diri Tuhan paling sempurna, meliputi nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allah SWT memilih manusia sebagai makhluk yang memiliki keunggulan (tafadhul) atau ahsani taqwim (ciptaan paling sempurna) menurut istilah Alquran.

Disebut demikian karena di antara seluruh makhluk Tuhan manusialah yang paling siap menerima nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Makhluk lainnya hanya bisa menampakkan bagian-bagian tertentu. Bandingkan dengan mineral, tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan malaikat tidak mampu mewadahi semua nama dan sifat-Nya.

Itulah sebabnya mengapa manusia oleh Seyyed Hossein Nasr disebut sebagai satu-satunya makhluk teomorfis dan eksistensialis, seperti dijelaskan pada artikel yang lalu. Lagi pula, unsur semua makhluk makrokosmos dan makhluk spiritual tersimpul dalam diri manusia. Ada unsur mineral, tumbuh-tumbuhan, dan binatang sebagai makhluk fisik.

Ada juga unsur spiritualnya yang non-fisik, yakni roh. Tegasnya, manusia sempurna secara kosmik-universal dan sempurna pula pada tingkat lokal-individual. Itu pula sebabnya manusia sering disebut miniatur makhluk makrokosmos (mukhtasar al-‘alam) atau mikrokosmos (al-insan al-kabir).

Keparipurnaan manusia diungkapkan pula dalam ayat dan hadis. Dalam Alquran disebutkan, manusia diciptakan paling sempurna (QS. At-Tin: 4) dan satu-satunya makhluk yang diciptakan dengan “dua tangan” Tuhan (QS. Shad: 75), dan diajari langsung oleh Allah semua nama-nama (QS. Al-Baqarah: 31).

Dalam hadis-hadis tasawuf, banyak dijelaskan keunggulan manusia, seperti, Innallaha khalaqa ‘Adam ‘ala shuratih (Allah menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya). Oleh kalangan sufi, ayat dan hadis itu dinilai bukan saja menunjukkan manusia sebagai lokus penjelmaan (tajalli) Tuhan paling sempurna, melainkan juga seolah menjadi nuskhah atau salinan. Menurut istilah Ibnu Arabi disebut as-shurah al-kamilah.

Manusialah satu-satunya makhluk yang mampu mengejawantahkan nama dan sifat Allah baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan Allah. Malaikat tidak mungkin mengejawantahkan sifat Allah Yang Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat karena malaikat tidak pernah berdosa.

Tuhan tidak bisa disebut Maha Pengampun, Maha Pemaaf, dan Maha Penerima Taubat tanpa ada makhluk dan hambanya yang berdosa, sementara malaikat tidak pernah berdosa. Demikian pula makhluk-makhluk Allah lain yang hanya mampu mengejawantahkan sebagian nama dan sifat Allah. Dari sinilah sesungguhnya manusia disebut insan kamil.

Kesempurnaan lain manusia menurut Ibnu Arabi adalah diri manusia mempunyai perpaduan dua unsur penting, yaitu aspek lahir dan batin.

Aspek lahir baharu (hadis) dan aspek batin yang tidak baharu. Seperti disimpulkan Dr Kautsar Azhari Noer dalam disertasinya, “Aspek lahir manusia adalah makhluk dan aspek batinnya adalah Tuhan.”

Kepaduan dan kesempurnaan manusia inilah yang melahirkan konsep khalifah dan ketundukan alam semesta (taskhir). Atas dasar ini maka dapat dipahami mengapa para malaikat sujud kepada Adam dan alam semesta tunduk kepada anak manusia.

Namun, perlu diketahui, konsep insan kamil menurut Ibnu Arabi maupun Al-Jili menyatakan tidak semua manusia berhak menyandang gelar ini. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesejatiannya seperti manusia yang didikte hawa nafsunya sehingga meninggalkan keluhuran dirinya, kata Ibnu Arabi, tidak layak disebut insan kamil.

Hanyalah mereka yang telah menyempurnakan syariat dan makrifatnya benar yang layak disebut insan kamil. Manusia yang tidak mencapai tingkat kesempurnaan lebih tepat disebut binatang menyerupai manusia dan tidak layak memperoleh tugas kekhalifahan.

Perlu ditegaskan kembali, kesempurnaan manusia bukan terletak pada kekuatan akal dan pikiran (an-nuthq) yang dimilikinya, melainkan pada kesempurnaan dirinya sebagai lokus penjelmaan diri (tajalli) Tuhan. Manusia menjadi khalifah bukan karena kapasitas akal dan pikiran yang dimilikinya.

Alam raya tunduk kepada manusia bukan pula karena kehebatan akal pikirannya, tetapi lebih pada kemampuan manusia mengaktualisasikan dirinya sebagai insan kamil. Kemampuan aktualisasi diri ini bukan kerja akal, melainkan kerja batin, yakni kemampuan intuitif manusia menyingkap tabir yang menutupi dirinya dari Tuhan.

Kekuatan intuitif (kasyf) dan rasa (dzauq) jauh lebih dahsyat daripada akal pikiran. Tidak semua manusia secara otomatis mampu menjadi insan kamil. Ia memerlukan perjuangan dan mungkin perjalanan panjang. Tidak cukup bermodal kecerdasan logika dan intelektual. Yang lebih penting adalah kecerdasan emosional-spiritual.

Modal utama menjadi khalifah di bumi pun tidak cukup dengan kecerdasan logika dan intelektual, tetapi diperlukan juga kualitas insan kamil. Saat alam dikelola manusia yang tidak berkualitas insan kamil, selain menimbulkan ancaman yang dikhawatirkan malaikat, yaitu kerusakan alam dan pertumpahan darah (QS. Al-Baqarah: 30), alam juga belum tentu mau tunduk kepada manusia.

Banyak contoh alam membangkang kepada manusia sebagaimana diperlihatkan di dalam kisah-kisah umat terdahulu di dalam Alquran.

Umat Nuh yang keras kepala (QS. 53: 52) ditimpa bencana banjir (QS. 11: 40). Umat Syu’aib yang korup (QS. 7: 85, 11: 84-85) ditimpa gempa mematikan (QS 11: 94).

Umat Saleh yang hedonistik (QS. 26: 146-149) ditimpa keganasan virus dan gempa bumi (QS. 11: 67-68). Umat Luth yang dilanda penyimpangan seksual (QS. 11: 78-79) ditimpa gempa dahsyat (QS. 11: 82). Penguasa Yaman, Raja Abrahah, yang ambisius ingin mengambil alih Ka’bah dihancurkan oleh burung/virus (QS. 105: 1-5).

Hujan tadinya menjadi sumber air bersih dan pembawa rahmat (QS. 6: 99), tiba-tiba menjadi sumber malapetaka. Banjir memusnahkan areal kehidupan manusia (QS. 2: 59). Gunung-gunung tadinya sebagai patok bumi (QS. 30: 7) tiba-tiba memuntahkan lahar panas dan gas beracun (QS. 77: 10).

Angin yang tadinya berfungsi dalam proses penyerbukan tumbuh-tumbuhan (QS. 18: 45) dan mendistribusikan awan (QS. 2: 164) tiba-tiba tampil ganas meluluhlantakkan segala sesuatu yang dilewatinya (QS. 41: 16). Lautan tadinya jinak melayani mobilitas manusia (QS. 22: 65) tiba-tiba mengamuk dan menggulung apa saja yang dilaluinya (QS. 81: 6).

Tadinya, malam membawa kesejukan dan ketenangan (QS. 27: 86) tiba-tiba menampilkan ketakutan yang mencekam dan mematikan (QS. 11: 81). Siang tadinya menjadi hari-hari menjanjikan (QS. 73: 7) seketika berubah menjadi hari-hari menyesakkan dan menyedot energi positif (QS. 46: 35).

Kilat dan guntur sebelumnya menjalankan fungsi positifnya dalam proses nitrifikasi untuk kehidupan makhluk biologis di bumi (QS. 13: 12) tiba-tiba menonjolkan fungsi negatifnya, menetaskan larva-larva (telur hama) betina, yang memusnahkan berbagai tanaman para petani (QS. 13: 12).

Disparitas flora dan fauna tadinya tumbuh seimbang mengikuti hukum-hukum ekosistem (QS. 13: 4) tiba-tiba berkembang menyalahi pertumbuhan deret ukur kebutuhan manusia sehingga kesulitan memenuhi komposisi kebutuhan karbohidrat dan proteinnya secara seimbang (QS. 7: 132).

Manakala manusia kehilangan jati dirinya sebagai insan kamil, pertanda berbagai krisis akan muncul. Sebaliknya, selama masih ditemukan kualitas insan kamil di muka bumi, sepanjang itu kiamat belum akan terjadi.

Relasi Guru-Murid

Relasi Guru-Murid

Ketika Nabi Musa berjumpa dengan guru yang dicarinya dan memohon kepadanya agar diterima menjadi murid, persyaratan yang diminta gurunya ialah kesabaran untuk menjaga tata krama seorang guru, yakni bersabar menanti tahapan pelajaran tanpa mendesak atau mempertanyakan sesuatu yang belum dibahas, tidak menentang, dan tidak memprotes gurunya.

Dalam Alquran dibahasakan Nabi Musa menaruh harapan besar untuk diterima menjadi murid, Musa berkata kepada Khidir, “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. Al-Kahfi: 66).

Lalu sang guru menjawab, “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.” (QS. Al-Kahfi: 67).

Musa agak tercengang sejenak sambil berpikir bagaimana mungkin calon guru yang baru dijumpainya mengerti kalau dia tidak sanggup untuk bersabar. Musa kembali menjawab, “Insya Allah, kamu akan mendapati aku sebagai seorang yang sabar dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun.” (QS. Al-Kahfi: 69).

Akhirnya Musa diterima sebagai murid, namun ketentuan pertama yang harus dipenuhi Musa dari gurunya ialah “Jika kamu mengikutiku, janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” (QS. Al-Kahfi: 70).

Keduanya berangkat ke sebuah tempat yang tidak jelas, dan keduanya tiba di sebuah tempat di pinggir pantai. Di pantai sang guru melakukan sesuatu yang sangat aneh bagi Musa, yaitu melubangi perahu-perahu nelayan miskin di tempat itu. Musa spontan menyatakan keberatannya, “Mengapa kamu melobangi perahu itu, yang akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.” (QS. Al-Kahfi: 71).

Pertanyaan Musa yang walaupun diyakini secara akal normal tidak ada yang salah, namun sang guru menganggap sikap batin yang mendorong Musa mengeluarkan pertanyaan dan tanggapan belumlah mencerminkan murid yang pantas untuk memperoleh ilmu ladunni (QS. Al-Kahfi: 65), lalu gurunya memberikan teguran, “Bukankah aku telah berkata, ‘Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku.” (QS. Al-Kahfi: 72).

Menyadari kekeliruan dengan kelancangannya mempertanyakan kebijakan sang guru, Musa memohon maaf kepada gurunya, “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku, dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku.” (QS. Al-Kahfi: 73).

Apa yang dialami Musa mengingatkan kita kepada sikap malaikat yang mempertanyakan kebijakan Tuhan untuk menciptakan pendatang baru yang bernama Adam dari jenis manusia.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (QS. Al-Baqarah: 30).

Menanggapi tanggapan balik Allah di ujung ayat tersebut, malaikat juga memohon ampun terhadap kelancangannya. “Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 32).

Seandainya Musa menyadari dan belajar apa ending dari cerita malaikat ini tentu tidak akan terjadi teguran dari gurunya. Seperti kita ketahui, pada akhirnya malaikat memahami rahasia besar yang terkandung di dalam diri manusia mengapa ia diciptakan (lihat artikel penciptaan mikrokosmos edisi lalu).

Permohonan sang murid diterima, dan keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Ujian kedua terjadi bagi Musa ketika keduanya menjumpai kerumunan anak-anak kecil sedang bermain dan gurunya tiba-tiba dengan membunuh salah seorang di antaranya.

Alangkah kagetnya Musa dan spontan memprotes dan menyatakan penyesalan perbuatan gurunya dengan mengatakan, “Mengapa kamu bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar.” (QS. Al-Kahfi: 74).

Gurunya dengan tenang menegur muridnya dengan bahasa yang sama, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?” (QS. Al-Kahfi: 75).

Musa berusaha untuk bersabar dan meminta maaf kepada gurunya. Ia meyakinkan gurunya dengan mengatakan, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu. Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku.” (QS. Al-Kahfi: 75). Akhirnya, sang guru mengizinkan Musa mengikutinya.

Perjalanan keduanya dilanjutkan ke suatu arah yang tidak jelas. Musa mulai melihat keraguan di dalam dirinya terhadap keabsahan gurunya. Seolah-olah ia ragu apakah ia tidak salah pilih guru.

Keduanya akhirnya berhenti di sebuah reruntuhan bangunan tua. Sang guru memintanya untuk membangun reruntuhan gedung ini. Musa dengan penuh semangat mengerjakannya dengan harapan mungkin di gedung inilah nanti akan mulai diajar, setelah sekian lama Musa belum pernah merasa diajar dari gurunya.

Alangkah kagetnya Musa setelah bangunan tua ini selesai dipugar lantainya, sang guru memintanya untuk meninggalkan tempat itu. Musa akhirnya bertanya untuk apa kita menghabiskan waktu dan energi membangun bangunan ini setelah selesai lalu ditinggalkan begitu saja.

Mendengarkan pertanyaan yang bernada protes ini, sang guru akan meninggalkan muridnya. Musa pun kelihatannya tidak keberatan karena yang diperoleh selama sekian lama hanyalah berbagai keanehan yang kontroversial.

Namun sebelum keduanya berpisah, sang guru sejenak memberikan penjelasan kepada muridnya. “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.” (QS. Al-Kahfi: 79).

Sedangkan, pembunuhan anak kecil dijelaskan. “Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu, dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (QS. Al-Kahfi: 81).

Penjelasan terakhir mengenai pemugaran bangunan tua itu. “Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. Al-Kahfi: 82).

Nabi Musa hanya bisa tercengang sesaat setelah gurunya meninggalkannya. Akhirnya Nabi Musa sadar bahwa pelajaran tidak mesti harus di dalam sebuah ruangan yang dilakukan dengan cara-cara pengajaran konvensional.

Belajar kearifan ternyata tidak mesti membutuhkan media yang lengkap. Pelajaran kearifan itu melekat di dalam pengalaman setiap derap langkah dan turun naiknya napas seorang anak manusia. Pengalaman hidup adalah guru kearifan paling sejati. Selamat belajar.

Khirqah

Khirqah

Sebagai kata, khirqah berarti pakaian, kain, atau Sobekan kain baju. Sedangkan sebagai istilah, khirqah adalah cenderamata sebagai bentuk pensanadan dan pengijazahan dalam tarekat kesufian. Kesufian atau tasawuf tidak berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, yang memiliki sanad yang tersambung hingga Rasulullah SAW.

 Adanya sanad dapat mempertanggungjawabkan kebenaran tasawuf ini. Dan keberadaan sanad ini sekaligus sebaagi bantahan terhadap pembenci praktek tasawuf. Dengan demikian pendapat sebagian orang yang mengatakan tasawuf adalah sesuatu yang baru dan bidah adalah pendapat yang tidak memiliki dasar sama sekali.

Penggunaan istilah dengan penyebutan sesuatu yang berbentuk fisik semacam ini hanya sebagai ungkapan lambang, simbolisasi, dari tradisi ilmu-ilmu sufi yang berkembang dikalangan sufi, yang hal tersebut terjadis ecara turun menurun dari guru ke murid sebagai sanad.

Selain kata al khirqah, istilah-istilah lain yang biasa digunakan dikalangan sufi adalah ar-rayah (bendera), al-hizam (sabuk), al-ilbas (pengenaan surban, jubah, peci, dan lainnya). Benda-benda fisik ini, sekalipun benar adanya sebagai sesuatu yang turun-temurun sebagai sanad dari guru ke murid, yang menjadi tolak ukur dalam ajaran tasawuf ini bukan semata benda-benda simbolis tersebut, melainkan kandungan atau nilai-nilai yang dibawa dan tersirat dari itu semua, yaitu ajaran tasawuf itu sendiri.

Al-lmam Al-Hafizh As-Sayyid Ahmad bin Ash-Shiddiq Al-Ghumari, mengutip perkataan AI-'Allamah Al-Amir dalam Fahrasat-nya, mengatakan, khirqah, rayah, hizim dan ilbas dalam dunia tasawuf bukan merupakan tujuan utama. Karena benda-benda tersebut hanya benda zhahir. Adapun yang menjadi tujuan utama dalam jalan tasawuf adalah memerangi nafsu, mujahadah an-nafs dan menuntun umat untuk berpegang teguh pada ketentuan syari'at dan sunnah-sunnah Rasulullah, baik secara zhahir maupun secara bathin. Karena itu, dalam muqadimah risalah Ibn 'Arabi yang berjudul Nasab al-Khirqah, yang ditulis Al-Hafizh Al-Ghumari, ia mengutip perkataan imam Malik saat ditanya penger-tian ilmu bathin, “ilm al-bathin, "Kerjakanlah olehmu ilmu-ilmu zhahir, maka Allah akan mewariskan kepadamu akan ilmu-ilmu bathin."

Namun demikian, lambang-lambang fisik di atas menjadi tradisi turun-temurun sebagai sanad. yang hal tersebut beberapa di antaranya bersambung hingga Rasulullah. Seperti sanad dalam memakai al-'immah as-sauda', kain atau surban hitam yang dililit di atas kepala. secara turun-temurun di kaiangan pengikut tarekat Ar-Rifa'iyyah, baik warna kain maupun tata cara memakainya, yang hal tersebut secara turun-temurun berasal dari Rasulullah.

Lambang-lambang berupa fisik tersebut, selain memiliki makna yang cukup penting dalam kaitannya dengan ajaran-ajaran yang terkandung di balik benda-benda itu sendiri, juga menjadi semacam identitas yang khas di kaiangan kaum sufi. Al-khirqah, walau sebagai kata berarti hanya "sebuah pakaian", bahan yang dipergunakan, cara pemakaian, dan lain-lainnya, memiliki kekhususan tersendiri. Contoh lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh saat berdzikir. Gerakan-gerakan ini memiliki kekhususan tersendiri yang menjadi identitas atau ciri khas mereka, yang hal tersebut telah menjadi turun-temurun sebagai sanad. Kemudian para ulama juga telah sepakat bahwa ajaran tasawuf menjadi sebuah disiplin ilmu atau sebagai madzhab yang dirintis dan diformulasikan pertama-tama oleh seorang imam agung, sufi besar, AI-'Arif Billah Al-lmam Al-Junaid Al-Baghdadi. Di atas jalan yang beliau rumuskan inilah di kemudian hari para kaum sufi menginjakan kaki-kaki mereka. Karena itu Al-lmam Al-Junaid Al-Baghdadi disebut sebagai pimpinan kaum sufi dan pemuka mereka, Sayyid ath-Tha-ifah ash-Shufiyah.

Seperti halnya dalam fiqih, ajaran-ajaran di dalamnya diintisarikan, diistinbathkan, oleh para ulama mujtahid dari Al-Qur'an dan hadits. Artinya, yang menjadi sandaran utama dalam hal ini adalah ajaran Rasulullah, dengan segala apa yang dibawa oleh beliau. Demikian pula dengan landasan tasawuf, pokok yang menjadi fondasinya adalah Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasulullah. Al-lmam Al-Junaid Al-Baghdadi memiliki sanad dalam tasawuf, labs al-khirqah, yang bersambung hingga sampai kepada Imam Al-Hasan Al-Bashri, yang diambil dari Amir Al- Muminin Imam AM bin AbiThalib KWH, yang secara langsung didapatkan dari Rasulullah SAW.

Lengkapnya sanad tersebut sebagai berikut: Al-Junaid Al-Baghdadi mendapatkan sanad khirqah kaum sufi dari pamannya sendiri, Imam As-Sirri As-Saqthi, kemudian dari Imam Ma'ruf AI-Karkhi, dari Imam Dawud Ath-Tha'i, dari Imam Habib AI-'Ajami, dari Imam Al-Hasan Al-Bashri, dari Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, dan terakhir dari Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Sanad tasawuf ini disepakati kebenarannya di kalangan ulama Ahlus-sunnah wal Jama'ah.

Selain sanad di atas, terdapat juga sanad lain yang memperkuat kebenaran mata rantai Imam Al-Junaid Al-Baghdadi dari pamannya, Imam As-Sirri As-Saqti. Yaitu dari Imam Ma'ruf Al-Karkhi dari Imam Ali Ar-Ridha, dari ayahnya sendiri, Imam Musa Al-Kazhim, dari ayahnya sendiri, Imam Ja'far Ash-Shadiq, dari ayahnya sendiri, Imam Muhammad Al-Baqir, dari ayahnya sendiri, Imam Ali Zainal Abidin, dari ayahnya sendiri, Imam Al-Husain, dari ayahnya sendiri, Imam Ali bin Abi Thalib, dan terakhir dari Rasulullah SAW.

Sanad yang kedua ini sangat kuat. Orang-orang shalih yang teriibat dalam rangkaian sanad ini tidak diragukan lagi keagungan derajat mereka. Sanad kedua ini, di samping sebagai penguat bagi sanad pertama, sekaligus juga sebagai bantahan kepada mereka yang mengingkari sanad pertama. Karena sebagian orang anti tasawuf biasanya mempermasalahkan sanad pertama di atas dengan mempersoalkan pertemuan, al-mu'asharah wa al-tiqa', antara Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Imam Ali ibn Abi Thalib. Walau demikian, tentang sanad pertama, mayoritas ulama sepakat menetapkan adanya al-mu'asharah wa ahliqi'antara Imam Al-Hasan Al-Bashri dan Imam 'Ali Ibn Abi Thalib. Dl antara yang menetapkan hal tersebut adalah Imam AI-'Allamah Dliya'uddTn Ahmad Al-Witri Asy-Syafl'i Al-Baghdadi dalam kitabnya Raudlah an-Nidlirfn. Imam Al-Witri mengutlp perkataan Imam Sufyan Ats-Tsauri bahwa Sufyan Ats-Tsauri berkata, "Al-Hasan Al-Bashri adalah orang yang paling utama di antara yang mengambil pelajaran dari Ali bin Abi Thalib RA." Kemudian Imam Al-Witri berkata bahwa, saat terbunuhnya KhaKfah Utsman bin Affan, Imam Al-Hasan Al-Bashri berada di tempat kejadian. Al-Hasan Al-Bashri saat itu adalah seorang anak yang masih berumur empat belas tahun, yang kemudian tumbuh remaja di bawah bimbingan sahabat 'Ali ibn Abi Thalib.

As-Sayyid As'ad (w. 1016 H/1607 M), seorang mufti di Madinah, membuat risalah pendek berjudul At-Tasyarruf bi DzikrAhl ath-Tashawwuf, tentang sanad ajaran kaum sufi dan sanad khirqah mereka. Kesimpulan tulisannya adalah, sekalipun ada beberapa penghafal hadits, huffazh al-hadits, mengingkari pertemuan antara Al-Hasan Al-Bashri dan Ali bin Abi Thalib, pendapat yang kuat menetapkan bahwa telah terjadi pertemuan kedua orang tersebut Pendapat ini didasarkan pada pernyataan huffazh al-hadits lainnya yang telah menetapkan keberadaan pertemuan tersebut Dan pendapat huffazh al-hadits yang menetapkan keberadaannya didahulukan atas pendapat yang menafikannya, Al-mutsbit muqaddam 'ali an-nifi sebagaimana hal ini telah diketahui dalam kaidah-kaidah ilmu hadits.

Masih menurut Sayyid As'ad, nasab al-khirqah memiliki dasar yang berasal dari Rasulullah sendiri. Dalam menetapkan pendapat ini sebagian ulama mengambil pendekatan dengan hadits Ummu Khalid. Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah membawa sebuah baju hitam dengan pernik-pernik berwama kuning dan merah ke hadapan para sahabat-nya, lalu Rasulullah berkata, "Siapakah menurut kalian orang yang hendak aku pakaikan baju ini padanya?"
Semua sahabat terdiam sambil berharap mendapatkan baju tersebut
Kemudian Rasulullah berkata, "Pang-gillah Ummu Khalid."
Setelah Ummu Khalid datang, Rasulullah memakaikan baju tersebut kepada nya seraya berkata, "Pakailah, semoga banyak memberikan manfaat bagimu." Setelah memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khalid lalu melihat pada pernik-pernik wama kuning dan wama merah pada baju sersebut, Rasulullah berkata, "Wahai Ummu Khalid, ini adalah pakaian yang indah."

Termasuk yang dapat dijadikan pendekatan tentang keberadaan nasab al-khlrqah Ini adaiah riwayat yang telah disebutkan oleh banyak ulama bahwa sahabat Aii bin Abi Thalib dan sahabat Umar bin Al-Khaththab memakaikan khirqah kepada Uwais Ai-Qarni. Sebagaimana dikatakan Imam Asy-Sya'rani berikut ini, "Uwais Al-Qarni telah memakai pakaian (ats-tsaub) dari sahabat Umar bin Al-Khaththab dan memakai selendang (ar-rida) dari sahabat All bin Abi Thalib."

Kesimpuian dari ini semua, khirqah kaum sufi memiliki dasar yang tsabit, kuat, daiam hadits. Para pengemban riwayat sanad al-khirqah adalah para imam yang agung dari umat ini. Adapun bahwa beberapa huffizh al-hadits mengingkari nasab al-khirqah, yang dimaksud adalah terbatas pada sanad pengijaza-an jubah (al-jubbah) dan peci (ath-thiqiyah). Benar, dua benda ini sangat erat kaitannya dengan kaum sufi, namun makna al-khirqah secara luas tidak terbatas pada dua benda tersebut Seperti khirqah kaum Tarekat Ar-Rifa'iyyah, yang hal tersebut tidak dapat diingkarf kebenaran sanadnya. Khirqah kaum Ar-Rifa'iyyah rtu adalah imamah, kain atau surban yang dililitkan pada kepala, yang berwama hitam, af-'imamah af-sauda', yang bersambung hingga Rasulullah SAW.

Suatu ketika Rasulullah memakaikan al immh as-sauda' ini kepada Imam 'Ali bin Abi Thalib, sebagaimana hal ini telah ditetapkan dalam krtab-kitab shahih, lalu Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya, "Pakailah oleh kalian 'imamah seperti ini." Kemudian tidak ada perselisihan di antara kaum sufi bahwa sanad tasawuf adalah lewat jalur Al-Junaid dari As-Sirri dari Al-Karkhi dan seterusnya hingga Ali bin Abi Thalib RA. Adapun dasar khirqah kaum Tarekat Rifa'lyyah yang berupa al-'imimah as-sauda' secara jelas disebutkan dalam banyak hadits Rasulullah, seperti dalam riwayat Imam Muslim, Imam Ath-Thabarani, dan lainnya. Di antaranya sebuah hadits dari sahabat Ali bin Abi Thalib, "Pada hari ghadir Khum Rasulullah memakaikan 'imamah hitam kepadaku dengan mengulurkannya sedikit ke bagian belakangku, seraya bersabda:

'Sesungguhnya Allah memberiku pertoiongan di hari Perang Badar dan Perang Hunain dengan serombongan malaikat yang mereka semua mengenakan 'imamah semacam ini.' (Kemudian Rasulullah juga bersabda) 'Sesungguhnya Imamah adalah pembatas antara kekufuran dan keimanan*." (HR Abu Musa Ai-Madani dalam kitab as-Sunnah Fi Sadi al-'imamah dan oleh lainnya).